Home / Inovasi / Aksesori Berunsur Kesehatan dengan Pasar yang Masih Menganga

Aksesori Berunsur Kesehatan dengan Pasar yang Masih Menganga

Aksesori Jenitri

(Hury Accessories)

 

Sejauh ini, belum banyak yang mengenal apa itu jenitri. Kalau pun ada yang mengetahuinya hanya sebatas dalam bentuk biji tasbih. Padahal, di Kebumen, daerah penghasil jenitri terbanyak dan berkualitas bagus, jenitri sudah tidak melulu dibentuk tasbih, melainkan aksesori yang mengandung unsur kesehatan dengan pasar yang masih menganga

 

e-preneur.co. Biji Buah Jenitri (jenitri, red.) di India dikenal dengan istilah rudraksha yang berarti air mata Dewa Siwa. Mengacu pada sebutan tersebut, jenitri pun lebih banyak digunakan untuk hal-hal yang berhubungan dengan Agama Hindu. Salah satunya yaitu sebagai mala (tasbih).

Konon, dibawa oleh seseorang yang berasal dari India pula Pohon Jenitri masuk ke Indonesia. Lalu, yang bersangkutan menanamnya di Kebumen, Jawa Tengah. Itu sebabnya, Jenitri Kebumen memiliki kualitas lebih baik dan nilai jual lebih tinggi ketimbang jenitri di daerah-daerah lain.

Selain itu, dengan produksi melimpah, Jenitri Kebumen menjadi penyumbang terbesar yang menyebabkan Indonesia dikenal sebagai negara pengekspor jenitri terbanyak di dunia. Sementara India, sebagai negara yang paling banyak membutuhkan jenitri, justru dikenal sebagai produsen jenitri yang paling sedikit.

Karena itulah, para pengrajin jenitri di Kebumen usai memanen jenitri, lalu memisahkan dari kulit buah, dan merangkainya, maka selanjutnya “melemparnya” ke India, Cina, dan Nepal. Berikutnya, di negara-negara yang mayoritas penduduknya menganut Agama Hindu itu, jenitri tersebut dirangkai lagi menjadi (salah satunya) mala.

Menurut Nanang Wahidin Yusuf, jenitri yang diekspor itu merupakan jenitri khusus di mana memiliki mukhi (garis belah) dari 1 sampai dengan 21. Masing-masing mukhi ini memiliki filosofi.

Selain dibedakan oleh mukhi, jenis-jenis jenitri juga dibedakan berdasarkan nama penemu atau tempat pertama kalinya ditemukan. Seperti, jenitri Kiswanto yang berwarna putih, Dulhamid (berbentuk bulat), Medana (gepeng dan ber-mukhi banyak), dan Cilacapan (lancip).

Dalam perjalanannya, semakin banyak Pohon Jenitri yang ditanam. Penanaman yang dilakukan dengan sistem okulasi itu, menghasilkan panen yang melimpah. Namun, adanya pergantian musim berimbas pada dihasilkannya jenitri dengan jumlah mukhi yang berbeda-beda.

Kedua hal ini, berpengaruh pada naik−turunnya harga. Contoh, Medana yang dulu baru ada satu atau dua pohon, dihargai Rp25 ribu/biji. Saat ini, Medana hanya dihargai Rp100,- atau Rp200,- per biji. Sedangkan mukhi 21, bisa dibanderol dengan harga Rp20 juta−Rp30 juta per biji.

Sementara panen yang melimpah, memunculkan perkembangan dalam olahan jenitri di mana tidak melulu yang berkaitan dengan ritual dalam Agama Hindu, melainkan juga dalam pembuatan aksesori. Meski, jumlahnya masih sangat sedikit (sekitar 50 pengrajin, red.).

“Jadi, di sini ada dua pasar di mana yang satu pasar religi dan yang lain pasar aksesori. Pangsa pasar religi memang sedikit dan tertentu, tapi membutuhkan bahan baku yang sangat banyak dan harganya sangat bagus. Sedangkan pangsa pasar aksesori atau modifikasi (biasanya dibarengi unsur kesehatan, red.) sangat luas—karena semua orang dapat memakainya—dan setiap jenitri dapat digunakan, meski biasanya mukhi lima yang paling banyak digunakan. Tapi, harganya standar,” ungkap pemilik usaha Hury Accessories ini.

Hury Accessories dibangun Nanang pada tahun 2014, dengan modal Rp3 juta−Rp5 juta yang digunakannya untuk membeli jenitri. “Pada mulanya, saya adalah pengrajin aksesori dari mote atau akrilik (payet, red.) yang saya jalani mulai tahun 2010. Selama kurun 2010−2014, saya mengikuti berbagai pameran di berbagai tempat,” kisahnya.

Tapi, ia melanjutkan, karena ada target khusus dari dinas perindustian dan perdagangan di mana bila mengikuti pameran atas nama kabupaten harus membawa produk asli Kebumen, maka Nanang pun berpikir apa yang bisa dikonversikan dengan aksesori buatannya. Akhirnya, ia menemukan jenitri.

Jenitri dapat dibuat apa saja, tergantung kreativitas pengrajinnya

“Mengingat Kutosari merupakan pengepul jenitri yang paling bagus, maka saya mengambil jenitri dari para tetangga saya, mencoba memadukannya dengan aksesori buatan saya, dan ternyata cocok. Dalam perjalanannya, aksesori dari akrilik tidak saya buat lagi dan hanya membuat aksesori dari jenitri,” tutur warga Gang Asem, Desa Kutosari, Kebumen ini.

Kini, ia telah memiliki pemasok dari Krakal dan Klirong. Menurutnya, jenitri dari kedua tempat itu harganya bagus dan ketersediaan barang sesuai dengan permintaannya, serta kualitasnya bagus. Selain itu, demi efisiensi waktu dan menghemat biaya, ia membelinya dalam bentuk mala.

Selanjutnya, setiap hari (25 hari kerja) ia dan para karyawannya membuat gelang dan tasbih, serta turunannya yang jumlahnya sangat banyak. Mengingat, aksesori harus selalu update. “Untuk gelang sebanyak 50−100 pieces dan untuk tasbih 30−50 pieces. Rata-rata terserap pasar 50%-60% nya dan sisanya untuk stok,” ujarnya.

Ia menjualnya dengan harga Rp10 ribu−Rp200 ribu untuk gelang, untuk tasbih Rp30 ribu−Rp125 ribu, dan untuk kalung Rp50 ribu−Rp150 ribu. Untuk itu, ia membukukan omset Rp7 juta−Rp10 juta, kadang sampai Rp12 juta, setiap bulannya.

Untuk memasarkan hasil karyanya, Nanang yang menyasar mereka yang berumur 30−45 tahun baik wanita maupun pria ini melakukannya baik secara online (melalui facebook dan instagram dengan nama Hury Accessories atau Nanang We Ye) maupun offline (melalui konsinyasi dengan beberapa outlet di Roemah Martha Tilaar−Gombong, Griya Pamer Dekranasda Kebumen, PLUT Kebumen, Taman Kupu-kupu Kebumen, serta mengikuti pameran dan penjualan langsung/reseller). Sementara untuk penjualan ke luar Kebumen, produk yang yang telah merambah Medan hingga Papua ini melakukannya melalui Dekranas Provinsi.

Namun, tidak berarti usaha ini berjalan mulus, melainkan masih terhalang oleh promo dan pengenalan tentang jenitri. “Pada awal menekuni usaha ini, hampir di setiap pameran yang saya ikuti, sembilan dari 10 pengunjung stan saya tidak mengetahui apa itu jenitri. Bahkan, dalam sebuah pameran di Purwokerto, saya harus menjelaskannya pada setiap pengunjung,” kisahnya.

Menurutnya, mungkin, saat itu yang membuat aksesori dari jenitri belum ada dan itu wajar. “Apalagi, orang-orang Kebumen juga masih banyak yang belum tahu apa itu jenitri. Mengingat, dari panen, diolah, ditumpuk, jenitri langsung dikirim ke India alias tidak melewati Kebumen. Sehingga, dengan adanya jenitri aksesori ini sekaligus memperkenalkan bahwa jenitri mempunyai manfaat lain selain religi,” lanjutnya.

Prospeknya? “Bagus banget. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya pengrajin jenitri, yang berarti mereka melihat pasarnya ada dan pasar itu masih sangat luas, jadi tidak akan ada persaingan. Di sisi lain, dengan semakin banyak yang berkecimpung dalam usaha pembuatan aksesori jenitri, maka misi mengangkat nama Kebumen akan segera terwujud. Mengingat, Kebumen merupakan penghasil jenitri paling banyak dan paling bagus,” pungkas kelahiran Kebumen, 5 Juni 1981 ini.

Ia juga berharap, ke depannya, jenitri juga akan menjadi ikon Kebumen. Sementara untuk rencana ke depan berkaitan dengan usahanya, Nanang akan mengembangkannya ke arah home décor seperti tempat tisu, hiasan dinding, tas, dan sebagainya dalam batas-batas tertentu yang tidak menyimpang dari unsur religi.

Check Also

Cucian Bersih, Ekosistem Terjaga

Deterjen Minim Busa Isu ramah lingkungan membuat para pelaku usaha terus menggali ide untuk menciptakan …