Home / Kiat / “Dicoba Lagi Kalau Gagal!”

“Dicoba Lagi Kalau Gagal!”

Hite Agency

Pada dasarnya, tidak pernah ada orang yang langsung berhasil dalam membangun usaha atau bisnisnya. Di sisi lain, untuk membangun usaha yang besar dibutuhkan modal yang besar pula. Dan, tidak semua orang memiliki itu. Jadi, iringi usaha itu dengan kerja keras, membangun relasi, dan dicoba lagi bila gagal. Begitu, kiat Sihite dalam membesarkan Hite Agency-nya

e-preneur.co. Mayoritas dari kita, setiap usai bangun pagi selalu sarapan sambil ditemani koran. Maklum, berita-berita di suratkabar kerap dianggap jauh lebih menarik, sekali pun kita juga dapat melongoknya melalui siaran berita di televisi (TV) atau cuplikan-cuplikan berita di internet.

Tapi, pernahkah terlintas dalam benak kita bahwa pelengkap hidup kita tersebut disumbangkan oleh para penjual koran? Jawabnya tentu tidak. Bahkan, mungkin kita memandang sebelah mata pun tidak pada profesi mereka.

Padahal, jika kita mau sedikit saja berpikir, banyak agen (majalah/koran) besar yang memulai usaha mereka dari menjadi tukang koran. Salah satunya, Abdul Sihite dengan Hite Agency-nya.

Usaha yang berlokasi di samping pintu masuk Terminal Blok M, Jakarta Selatan, itu mampu membukukan omset rata-rata sembilan digit per bulan! Bukan cuma itu, “bisnis” yang dirintis tahun 1986 ini juga “berkembang biak” menjadi tujuh ruko (rumah toko) yang berdiri di atas lahan seluas 500 m² di kawasan Ciputat, Jakarta Selatan, dan lima unit metromini dengan trayek Blok M−Bintaro.

“Hite Agency dirintis Bapak saya pada tahun 1986, ketika Bapak saya datang ke Jakarta untuk pertama kalinya. Modalnya dengkul atau istilah populernya BTL (Batak Tembak Langsung). Karena, basic-nya kan petani,” kisah Donna Sernauli Sihite, putri pasangan Abdul Sihite−Lince Manullang.

Hanya, ia melanjutkan, kebetulan, abang dari Bapaknya yang sudah lama tinggal di kota ini mempunyai usaha sebagai agen majalah. “Dan, Bapak saya melihatnya sebagai celah untuk mengubah nasib,” ujarnya.

Sihite, begitu Abdul Sihite akrab disapa, mengawali usahanya dengan menjadi karyawan abangnya. Lalu, berkembang menjadi loper koran yang mengasong dagangannya dengan naik turun bus yang melintas sepanjang Terminal Pulo Gadung−Terminal Blok M.

Semuanya harus dimulai dari bawah atau dalam kapasitas kecil terlebih dulu, misalnya dengan menjadi pedagang kakilima

Sekitar tiga tahun kemudian, ia membuka lapak mungil (lapak koran rata-rata berukuran 1 m²−1,5 m², red.) di Terminal Blok M. Pertimbangannya, ia sudah terbiasa menjajakan koran di lokasi ini, saat itu belum banyak lapak koran di sini, serta jumlah terminal baru tiga yaitu Terminal Pulo Gadung, Terminal Kampung Rambutan, dan Terminal Cililitan.

“Bapak saya pernah menjajagi Terminal Kalideres. Tapi, karena terminal ini terbilang kecil, maka kurang prospektif bagi usahanya. Akhirnya, Bapak saya memindahkan lapaknya ke Terminal Blok M,” tuturnya.

Seiring dengan perkembangan usahanya, Sihite yang semula hanya menawarkan segala macam “merek” koran, selanjutnya menambahi dagangannya dengan majalah, tabloid, dan TTS (teka-Teki Silang).

Layaknya pedagang kakilima, Sihite pun harus berurusan dengan preman, petugas satpol pp (satuan polisi pamong praja), dan berbagai “sumbangan”. “Bagi kami sih itu wajar saja. Kami sama-sama bekerja, mencari makan. Kalau sesekali muncul keributan ya biasa juga. Selalu ada solusinya yaitu membayar retribusi,” ujar sarjana ekonomi manajemen dari Universitas Trisakti, Jakarta, ini.

Selain itu, ia melanjutkan, Sihite juga menjalin hubungan baik dengan pimpinan satpol pp. Imbasnya, jika akan ada “pembersihan”, jauh-jauh hari mereka sudah memberitahu Sihite agar tidak berjualan dulu.

“Biasanya, kami menunggu di mobil. Setelah ‘pembersihan’ selesai, Bapak saya menggelar lagi dagangannya,” ucap kelahiran Sibaragas, Tapanuli Utara, 9 Februari 1977 ini.

Tapi, kadangkala, mereka ngeyel karena tuntutan perut. “Ketika kami diberitahu akan ada ‘pembersihan’, namun saat harinya tiba kami tidak melihat hal itu ya kami berjualan saja. Kalau kemudian ternyata ‘pembersihan’ terjadi, ya kami menutup dagangan kami dan pergi begitu saja. Tidak perlu pontang-panting kabur, lapak sampai dihancurkan, atau dibawa ke markas mereka. Pokoknya, enggak seekstrim seperti yang di TV. Meski, sebal juga dengan gaya arogan anak buahnya,” imbuhnya.

Tahun 2004, seiring dengan semakin berkembang usahanya, Sihite pun membangun kios di samping pintu depan Terminal Blok M. Kios yang berdiri di atas lahan seluas 225 m² itu dijalankan dengan modal nekad.

Dalam arti, kalau berhasil ya syukur, kalau gagal ya dicoba lagi. “Walau, untuk membangun kios ini dibutuhkan biaya ratusan juta rupiah,” ungkap Donna, yang kini diserahi tugas mengelola Hite Agency dengan didampingi sang Ibu. Sementara, Sihite fokus pada bisnis metromininya.

Pada dasarnya, ia menambahkan, tidak pernah ada orang yang berhasil atau langsung besar usahanya. Sekali pun anak konglomerat. Semuanya harus dimulai dari bawah atau dalam kapasitas kecil terlebih dulu. Misalnya, dengan menjadi pedagang kakilima.

Di sisi lain, untuk membentuk usaha yang besar dibutuhkan modal yang besar pula. Dan, tidak semua orang memiliki itu. “Selanjutnya, iringi usaha itu dengan kerja keras, membangun relasi, dan dicoba lagi bila gagal,” pungkas Donna, yang ke depannya berencana mengembangan usaha ini secara online.

Catatan

Lapak Hite Agency sudah tidak ada lagi. Bukan karena bangkrut, namun adanya perubahan konsep media dari hard copy (media cetak) menjadi paperless (online media).

Check Also

“Menjerat” Konsumen dengan “Memanjakannya”

Permak Blazer Banyak cara untuk bisa memenangkan persaingan, saat memasuki bisnis yang disesaki banyak pemain. …