Gerabah
(Kampung Wisata Gerabah Gebangsari)
Perkakas dapur yang terbuat dari plastik dan logam, kini menguasai pasar. Tapi, tidak berarti yang terbuat dari tanah liat atau yang dikenal dengan istilah gerabah tersingkirkan. Karena, faktanya, sampai sekarang masih banyak gerabah yang dibuat untuk dipasok ke toko-toko tertentu guna memenuhi permintaan pelanggan, di samping untuk memenuhi pesanan. Seperti, yang dilakukan para warga Kampung Wisata Gerabah Gebangsari
e-preneur.co. Gerabah adalah peralatan rumah tangga—terutama yang berhubungan dengan urusan dapur—yang terbuat dari tanah liat. Diperkirakan, gerabah telah ada sejak zaman pra sejarah. Tepatnya, ketika manusia mulai menetap dan hidup dari bercocok tanam
Dan, bila berbicara tentang gerabah, maka yang terlintas dalam benak yakni Kasongan. Mengingat, salah satu daerah tujuan wisata di Bantul, Yogyakarta, itu memang terkenal kerajinan gerabahnya.
Namun, bukan cuma Kasongan yang memiliki kerajinan gerabah, melainkan juga Gebangsari yang terletak di Klirong, Kebumen. Pembuatan gerabah di Kampung Wisata Gerabah Gebangsari, begitu namanya kini, sudah berlangsung sejak ratusan tahun silam dan dilakukan secara turun-temurun.
Adalah Sarmo, yang entah keturunan ke berapa dari pengrajin gerabah di Gebangsari, menekuni usaha pembuatan gerabah pada tahun 1988. “Saat membangun usaha ini, saya hanya berpikir barang-barang ini sudah langka. Padahal, peninggalan nenek moyang. Jadi, harus saya teruskan usaha pembuatan gerabah ini agar nantinya tidak punah,” tuturnya.
Namun, diakuinya, jika dibandingkan dengan gerabah Kasongan, khususnya, gerabah di Gebangsari pada umumnya dan juga buatannya masih kasar, tapi keras dan tebal. “Sehingga, lebih awet bila digunakan untuk masak-memasak. Tapi, itu yang mengatakan para pelanggan kami yang pernah memakai gerabah ini,” lanjutnya.
Saat ini, ia telah membuat sekitar 50 item gerabah (di luar pesanan yang biasanya disesuaikan dengan permintaan konsumen, red.), seperti wajan, dandang, keren (semacam anglo/tungku untuk memasak), padasan (tempayan yang diberi lubang pancuran, biasanya sebagai tempat air wudu), layah (cobek), ciri (ulekan), mendheng (alas gerabah yang masih panas), pengaron (tempayan besar untuk tempat air), genuk (tempayan kecil), pot, kendil (periuk), kendi, poci, dan lain-lain. Barang-barang ini, ia setorkan ke toko-toko di sekitar Kebumen (termasuk Gombong, red.). Mengingat, toko-toko itu sudah mempunyai pelanggan tetap.
Pembuatan gerabah tidak akan pernah hilang. Sebab, gerabah bagian dari kerajinan
Ia belum dapat menyetor peralatan rumah tangga ini ke luar Kebumen. Karena, masih terbatasi oleh banyak hal. Seperti, tenaga kerja yang membuatnya di mana hanya ia kerjakan bersama istri dan salah seorang anaknya, di samping waktu pembuatannya yang lama dan tidak bisa diburu-buru lantaran masih manual.
“Kami bukan tidak mau mencari karyawan. Tapi, pada satu sisi karyawan yang bekerja pada kami lebih sering keluar masuk dan di sisi lain kami belum mampu membayar secara layak. Sementara dalam pembuatannya, lebih banyak mengandalkan cuaca untuk proses akhir,” jelasnya.
Ya, sebenarnya proses pembuatan gerabah relatif cepat. Tergantung pada faktor ukuran barang dan jumlah barang yang dipesan. Tapi, proses akhirnya yakni pengeringan yang cuma dapat dilakukan dengan bantuan sinar matahari, yang membuatnya lama. Sehingga, Sarmo tidak bisa menentukan kapan pastinya.
“Dijemur pun sebenarnya kurang bagus. Cukup diangin-anginkan. Jadi, proses penjemuran sebetulnya tidak membutuhkan waktu yang lama. Asalkan, matahari bersinar penuh,” lanjutnya.
e-preneur.co sedang berada di lokasi, saat matahari bersinar terang pada sekitar jam 13.00−14.00. Sarmo beserta istri dan anak gadisnya bergerak cepat melakukan penjemuran, yang berlangsung selama 30 menit−1 jam. Mereka juga membolak-balik puluhan gerabah agar pengeringan merata.
Selanjutnya dilakukan pembakaran, dengan sebelumnya menutupi gerabah tersebut dengan jerami kering, daun kelapa kering, dan batok kelapa kering. Proses ini berlangsung relatif sangat cepat dan sangat panas. Setelah gerabah dingin, dilakukan pembakaran kedua untuk menyempurnakan.
“Total waktu yang dibutuhkan 2 minggu−1 bulan. Untungnya, konsumen kami sabar menunggu,” ujarnya. Para konsumen selain membeli gerabah, ada juga yang memesan untuk dibuatkan pot untuk bonsai atau anggrek, tempat sayur, dan lain-lain. “Anak saya berinisiatif membuat celengan berbentuk binatang dengan menggunakan cetakan. Dan, ini menambah pemasukan kami,” tambah pria, yang menyebutkan pemasukan yang diterimanya cukuplah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan untuk membayar cicilan.
Sementara untuk bahan baku yakni tanah liat, menurut Sarmo, dapat diambil di sawah tanpa batas. Kebetulan, dari sisi kualitas, untuk kawasan Gebangsari, tanah liatnya termasuk paling bagus.
Sarmo yang menjual gerabahnya dengan harga Rp1.500,- sampai ratusan ribu rupiah ini, juga menambah penghasilan dengan membuka pelatihan bagi anak-anak sekolah (dan masyarakat umum yang berminat). Untuk itu, per anak dibebankan biaya Rp15 ribu-Rp20 ribu, proses pelatihan dilakukan sampai selesai, dan hasilnya bisa mereka bawa pulang.
“Setelah dibantu oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kebumen untuk magang di Kasongan, saya terinspirasi untuk memberi pelatihan pembuatan gerabah seperti yang dilakukan para pengrajin gerabah di sana. Pelatihan ini saya lakukan pada tahun 2017. Saat ini, mereka yang sudah mengikuti pelatihan ini sudah sampai ribuan anak. Meski, masih di sekitar Kebumen,” ungkapnya.
Prospeknya? “Bagi saya pekerjaan ini menguntungkan sekali. Karena, saya bebas bekerja dan hasilnya bisa untuk mencukupi kebutuhan. Di satu sisi, pembuatan gerabah tidak akan pernah hilang. Sebab, gerabah bagian dari kerajinan. Di sisi lain, adanya pengakuan lokasi ini sebagai Kampung Wisata Gerabah membuat banyak orang dari luar kota berdatangan,” pungkasnya.
Saat ini, di Kampung Wisata Gerabah Gebangsari terdapat sekitar 30 keluarga yang menjadi pengrajin gerabah. Masing-masing tidak bersaing, bahkan saling mendukung.