Ta B’nana
Bermain di bisnis makanan yang “sepele” membutuhkan banyak kiat, agar dapat terus bertahan dan berkembang. Dan, Ta B’nana pun survive dengan melakukan berbagai modifikasi dan inovasi produk
e-preneur.co. Beberapa tahun lalu, Jakarta pernah diserbu oleh bisnis pisang goreng. Tapi, bukan sembarang pisang yang digoreng seperti yang biasa kita jumpai di pedagang gorengan pinggir jalan. Melainkan, pisang goreng berukuran besar, berwarna cokelat kekuningan, dan berbalut tepung yang cukup tebal.
Dari segi harga pun, jauh lebih mahal yaitu Rp1.800,- sampai Rp3.000,- per buah. Padahal, pisang goreng pinggir jalan hanya Rp250,-per buah.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu, pisang goreng “elit” tersebut ditinggalkan konsumennya. Selanjutnya yang tertinggal (berdasarkan pengamatan sekilas), tidak lebih dari lima “merek”. Salah satunya, Ta B’nana.
“Bukan perkara mudah untuk bertahan dalam bisnis pisang goreng,” kata Ery Ashok, kreator Ta B’nana. Tapi, faktanya, Ta B’nana mengalami perkembangan, meski terkesan pelan.
Dimulai dari perkembangan gerai yang semula di pinggir Jalan Kelapa Gading Permai, Jakarta Utara. Lantas, pindah ke sebuah kios lumayan besar tidak jauh dari lokasi awal. Dan, kemudian, pindah lagi ke sebuah kios di Jalan Boulevard Raya, Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Sebelumnya, tahun 2007, Ta B’nana memperoleh Rekor MURI (Musium Rekor Indonesia) sebagai usaha yang memiliki gerai terbanyak. “Tahun 2008, Ta B’nana merambah segmen anak muda. Dengan demikian, produknya pun harus berubah trendy dan gaul,” ujarnya.
Untuk itu, Ta B’nana melakukan modifikasi produk yaitu Banana Sticks yang di atasnya diberi topping bubuk atau cair rasa cokelat, keju, stroberi, balado, mayonaise, barbeque, dan blueberry. “Konsumen menanggapinya dengan baik. Kami menjadi lebih bersemangat lagi untuk menciptakan model baru lagi hingga lahirlah Banana Balls, Banana Chips, Banana Strips, Banana Pops, Banana Rings, dan Banana Ribbons,” lanjutnya.
Harus banyak melakukan modifikasi produk
Semua produk tersebut di atas, dirangkum dengan nama Banana Pop dengan harga Rp6.000,- untuk satu topping dan Rp6.500,- untuk dua topping. Dan, untuk melengkapi camilan lezat ini, disediakan berbagai minuman yang juga disukai anak muda seperti ice blended, milkshake, dan juice dengan harga Rp8.000,- per gelas.
Perubahan segmen itu diikuti dengan perubahan konsep kemitraan yang ditawarkan, yang semula kios menjadi booth. “Alasannya, selain karena tren pasar, juga modalnya lebih kecil,” ucap Ery, yang memiliki 10 mitra berbentuk kios dan 10 mitra berbentuk booth.
Akhir tahun 2009, Ta B’nana masih terus melakukan modifikasi produk. Mengingat, pisang merupakan makanan yang sehat, mampu dikreasikan menjadi berbagai makanan lain, dan mempunyai tampilan yang unik.
Berkaitan dengan itu, lahirlah Risoles Pisang (yang di dalamnya berisi cokelat atau keju) dan Banana Pau (modifikasi dari bakpau). “Saya juga berpikir, jika di beberapa rumah makan atau resto selalu tersedia french fries, lalu mengapa tidak ada Banana Fries. Padahal, sama halnya dengan kentang, pisang pun dapat diiris-iris tipis. Sementara, di mal pun reputasi frech fries beku sangat tinggi. Terbukti, ia dikemas dengan bagus dan dihargai tinggi,” ujarnya.
Termotivasi oleh hal itu, pada tahun 2010, ia membuat Banana Fries yang dikemas cantik dan dibekukan (frozen). Banana Fries ini terdiri dari dua kemasan yang masing-masing dipasarkan ke pasar-pasar umum dan pasar-pasar moderen.
“Untuk produk ini, saya menawarkan kepada mereka yang mau menjadi retailer,” pungkasnya. Setelah itu, Ery meluncurkan Bananamia, sebuah packaging frozen food yang high quality dan berkualitas ekspor.
Catatan
Ta B’nana, kini, sudah tidak ada lagi seiring perubahan tren pasar. Namun, semangatnya untuk terus bertahan dengan melakukan berbagai modifikasi patut ditiru.