Home / Inovasi / Meski Tiruan, Tapi Banyak Nilai Tambahnya

Meski Tiruan, Tapi Banyak Nilai Tambahnya

Beras Analog

Tampangnya bluwek, rasanya plain, dan tidak wangi. Namun, beras analog aman dikonsumsi bagi para penderita diabetes. Lebih dari semuanya, masyarakat kalangan menengah atas menyukainya. Mengingat, mereka tahu betapa banyaknya nilai tambah beras yang dibuat dari umbi-umbian, biji-bijian, dan sebagainya ini

e-preneur.co. Masyarakat Indonesia merupakan konsumen beras terbesar di dunia. Imbasnya, berapa pun banyaknya padi yang ditanam, berapa pun besarnya hasil panen, tidak bakal mampu mengisi perut seluruh rakyat negeri ini. Imbas lebih lanjut, Indonesia menjadi salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia.

Pada tahun 1970-an, untuk mengatasi kondisi ini, dibuatlah beras tiruan yang dinamai Beras TEKAD. Sesuai, dengan kependekan bahan baku yang digunakan yaitu keTEla, KAcang, dan Djagung. Saat diperkenalkan kepada masyarakat, ternyata beras ini tidak memperoleh sambutan.

Maklum, TEKAD ditujukan kepada masyarakat menengah bawah di mana bagi mereka mengonsumsi beras itu berkaitan dengan status sosial. Maksudnya, bila kita terbiasa makan nasi dari beras, lalu kita diminta makan bukan nasi dari beras, melainkan nasi jagung atau singkong, misalnya, maka kita merasa telah mengalami penurunan pangkat kehidupan.

Namun, tidak berarti upaya menghasilkan beras tiruan berhenti sampai di situ. Tahun 2011, dengan dana dari Kementerian Riset dan Teknologi, lahirlah beras analog.

Sebagai penerima dana yang bertanggung jawab di bidang pengolahan, Slamet Budijanto menggunakan sorgum, jagung, kedele, dan padi. “Awalnya, saya bingung mau diapakan mereka,” kisah pria, yang waktu itu menjabat Direktur F-Technopark, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, itu.

Akhirnya, ia mengusung nilai tambah yang mereka miliki. Misalnya padi, nilai tambahnya ada di bekatul. Sementara jagung, kedele, dan sorgum, hanya ia olah menjadi sereal dan beras analog.

Beras analog, menurut Slamet, adalah beras yang tidak dibuat dari padi atau pun tepung terigu, tapi dibuat dari tepung lokal yang diolah dari umbi-umbian (ubi kayu, ubi jalar, dan lain-lain), biji-bijian (jagung, sorgum, dan sebagainya), sagu, sukun, dan segala sesuatu yang secara ekonomi dapat diproduksi. “Sementara bentuknya, mirip dengan beras,” katanya.

Bisa dibuat berdasarkan pesanan

Bentuknya yang mirip dengan beras itulah, ia melanjutkan, yang membuatnya dinamai beras analog di mana kata analog merupakan modifikasi dari kata analogi. Di sisi lain, pemberian nama ini juga berkaitan dengan unsur komersial.

“Di luar negeri, beras semacam ini dinamai artificial rice atau beras tiruan. Jika istilah ini digunakan di Indonesia, sudah dapat dipastikan tidak seorang pun mau membelinya,” ungkap sarjana S-3 di bidang kimia pangan dari Tohoku University, Jepang, ini.

Tapi, ia menambahkan, meski mirip dengan beras, cara memasak beras analog agak berbeda dengan beras asli. Sebab, jika beras pada umumnya dimasukkan ke dalam rice cooker bersama dengan airnya, maka beras analog baru dimasukkan setelah air dalam rice cooker mendidih, dengan takaran 2 air:1 beras. Hasil akhirnya, berupa “nasi” setengah matang dan proses ini lebih cepat ketimbang menanak nasi pada umumnya.

Sementara dalam pemasarannya, belajar dari pengalaman di masa lalu, beras analog dipasarkan ke kalangan masyarakat menengah atas. Sehingga, terciptalah good image.

Sebab, bagi masyarakat di kelas ini, rupa suatu produk, dalam hal ini beras, tidaklah penting. Mereka cenderung memilih nilai fungsionalnya. Contoh, beras merah, beras pecah kulit, dan lain-lain di mana beras-beras ini mahal harganya tapi tetap laku. Mengingat, mereka memiliki added value.

Demikian pula dengan beras analog yang tampangnya bluwek, rasanya plain, dan tidak wangi ini. Namun, beras yang terbuat dari campuran jagung, sorgum, dan sagu ini aman dikonsumsi bagi para penderita diabetes, antioksidan dan seratnya tinggi, dan sebagainya.

Dalam perkembangannya, Slamet dan timnya juga membuat beras analog yang terbuat dari campuran sorgum, jagung, dan sagu. Selain itu, juga beras analog dari campuran sagu dan jagung, sesuai pesanan khusus dari Pemerintah Kota Depok.

Ya, beras analog juga dapat dikategorikan customized rice atau designed rice. Dalam arti, bisa dibuat berdasarkan pesanan, misalnya dibuat guna mengatasi penyakit-penyakit degeneratif atau lebih tepatnya penyakit yang ditimbulkan oleh penyimpangan metabolisme.

Namun, meski masih terhalang oleh supply chain, di samping negara kita ini tidak memiliki industri tepung lokal, tapi beras analog sangat prospektif. Karena, sudah “dipegang” food industry besar (sebuah perusahaan besar di Jawa Timur telah memproduksi beras ini tahun 2012 lalu, red.). “Hanya masalah waktu!” tegas kelahiran Madiun, 2 Mei 1961 ini.

Check Also

Mengecoh Penjahat dengan Tas Kamuflase

Tas Laptop (Hirakedre) Tampilannya mirip tas anak-anak. Tapi, siapa sangka jika isi di dalamnya berupa …