Home / Inovasi / Dari Limbah Menjadi Rupiah

Dari Limbah Menjadi Rupiah

Handicraft dari Bonggol Jagung

 

Sampah, limbah, atau apa pun istilahnya, selama ini keberadaannya selalu disepelekan. Padahal, bukan tidak mungkin dari barang yang bau dan kotor itu bisa dihasilkan produk fungsional, bernilai jual terbilang tinggi, dan digemari masyarakat mancanegara. Seperti, handicraft dari bonggol jagung yang dibuat Edi Juandie ini

 

[su_pullquote]Bonggol jagung dapat dibentuk menjadi apa saja[/su_pullquote]

e-preneur.co. Bogor, kini bukan hanya dikenal sebagai Kota Hujan, melainkan juga Kota Asinan. Karena itu, setiap kali berkunjung ke kota ini, para wisatawan selalu mencari makanan yang lebih dikenal dengan istilah asinan jagung itu. Berkaitan dengan itu, tidak mengherankan jika di Bogor juga banyak dijumpai limbah bonggol jagung.

Di sisi lain, suatu ketika, Edie Juandie dan teman-temannya yang kebetulan para sarjana desain produk kongko-kongko sambil makan jagung di Lembang. “Waktu itu, sambil memegang dan menatap bonggol jagung, aku iseng bertanya kepada teman-temanku: enaknya dibikin apa ya bonggol jagung ini? Mereka serentak menjawab: dibikin apa saja. Unlimited!” kisah Edie.

Dari situ, Edie yang semula bergerak dalam usaha handicraft berbahan dasar kayu, mengalihkannya ke bonggol jagung. “Usaha ini, kalau dibilang tidak ada modalnya ya memang tidak ada. Sebab, untuk memperoleh limbah bonggol jagung, aku mencarinya sendiri di pasar-pasar alias gratis. Tapi, itu bonggol jagung yang basah. Sedangkan untuk yang kering, ada yang menjualnya dengan harga Rp10 ribu−Rp25 ribu per karung berbobot 50 kg. Sementara untuk jagungnya, aku tidak punya kriteria khusus, meski menurut aku yang bagus itu yang kecil atau baby corn (Jawa: janten, red.),” tutur alumnus Institut Teknologi Nasional, Bandung, ini.

Namun, ia menambahkan, kalau dibilang sama sekali tanpa modal ya tidak juga. “Karena, sebelum produknya dimunculkan ke masyarakat, aku mengadakan penelitian dengan mengundang para sarjana dari Institut Pertanian Bogor dan membeli berbagai buku untuk menambah pengetahuan tentang bonggol jagung,” imbuhnya.

Penelitian yang memakan waktu lama dan menelan biaya (secara bertahap) sekitar Rp100 juta itu, juga dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana caranya mengawetkan bonggol jagung. Mengingat, jagung berasal dari alam dan suatu saat akan kembali ke alam lagi. Untuk itu, harus digunakan bahan pengawet yang bisa memperpanjang “masa hidupnya”.

“Untuk mengawetkan bonggol jagung, aku menggunakan dua cara perendaman. Pertama, setelah dibersihkan dari berbagai kotoran, bonggol jagung itu aku rendam dalam berbagai bahan kimia untuk mematikan berbagai bakteri atau organisme, yang kemungkinan ada dalam bonggol jagung dan bisa mempercepat kehancurannya. Kemudian, aku jemur sampai kering. Kedua, setelah kering, aku rendam secara alamiah untuk membuang racun-racun yang kemungkinan ada dan membahayakan entah itu bonggol jagungnya entah itu orang-orang yang memiliki kerajinan dari bonggol jagung ini,” paparnya.

Proses ini, berlanjut ke proses melubangi bonggol jagungnya. “Bonggol jagung itu sebenarnya rapuh. Sehingga, tidak masalah jika proses melubanginya dilakukan secara handmade. Tapi, karena aku ingin proses ini berjalan dengan cepat, maka aku menggunakan mesin bor. Di sisi lain, aku juga menemukan fakta-fakta yang menakjubkan dari bonggol jagung di mana salah satunya yaitu ia berbentuk serat, tapi dapat dipadatkan dan dibentuk menjadi apa saja,” ungkap kelahiran Jakarta, 5 Juli ini.

Semua proses tersebut di atas, ia melanjutkan, membutuhkan waktu 2 bulan−3 bulan, tergantung cuaca. Sementara untuk produk yang dihasilkan—seperti sudah dikatakan di atas yaitu bisa berbentuk apa saja—di antaranya aneka lampu, sketsel atau penyekat ruangan, barang-barang yang berhubungan dengan fesyen, carano (tempat sirih dalam upacara adat masyarakat Minangkabau, red.), dan bahkan casing Ipad.

Dalam perkembangannya, usaha yang dimulai tahun 2009 ini telah menghasilkan kurang lebih 50 item yang dipasarkan made by order dan by online. Mereka yang berminat bisa datang ke workshop, sekaligus kediamannya di kawasan Kedung Halang, Bogor.

“Aku tidak menerima pesanan satuan. Aku hanya menerima pesanan untuk mengisi satu kafe, satu hotel, dan lain-lain. Aku juga tidak mau ada pesanan rutin dan lebih suka memberi pelatihan,” katanya, tanpa bermaksud sombong. Kendati begitu, produk ini telah “terbang” ke Belanda dan Jepang, serta menyumbangkan pemasukan rata-rata Rp20 juta−Rp50 juta per sekali order.

Pelatihan tersebut, pria yang menamai usahanya Dipar Craft ini melanjutkan, berlangsung selama lima hari. Untuk satu kali periode pelatihan, ia hanya mau melatih 20−30 orang.

“Ujung-ujungnya, mereka yang menghasilkan produk sesuai dengan kriteriaku, aku jadikan plasmaku. Dalam arti, hasil karya mereka kubeli kalau aku memperoleh pesanan,” pungkas Edie, yang saat ini telah memiliki enam kelompok plasma di Bogor, selain yang tersebar di Aceh, Kebumen, Gorontalo, Kalimantan, dan lain-lain.

 

Check Also

Cucian Bersih, Ekosistem Terjaga

Deterjen Minim Busa Isu ramah lingkungan membuat para pelaku usaha terus menggali ide untuk menciptakan …