Home / Senggang / Resto Area / Untuk yang Peduli Kesehatan

Untuk yang Peduli Kesehatan

Bumbu Nasi Goreng Jawa Mas Pur

 

Nasi goreng dapat dijumpai di mana-mana baik yang dijual dari kakilima hingga rumah makan mentereng, maupun dari yang dibuat sendiri sampai bumbu instan. Tapi, Mas Pur menjual nasi gorengnya dengan sedikit berbeda yaitu dengan sekaligus menawarkan bumbu nasi goreng yang sehat, yang dibuatnya sendiri

 

[su_pullquote]Bumbu nasi goreng ini bukan hanya sehat, melainkan juga pas di lidah[/su_pullquote]

e-preneur.co. Nasi goreng, dapat dijumpai dari tingkat kakilima hingga restoran, yang tentu saja dengan rasa dan harga masing-masing. Uniknya, sebanyak apa pun mereka yang menjual masakan asli Indonesia yang kelezatannya sudah diakui dunia ini, tidak ada persaingan di antara mereka. Semuanya laku, semuanya mempunyai konsumen.

Demikian pula dengan Purnomo Aji, yang membuka warung nasi goreng di garasi rumah Ibunya di Solo, pada pertengahan tahun 2013. Ia menyasar para mahasiswa, mengingat lokasi warungnya dekat dengan UMS (Universitas Muhammadiyah Surakarta). Dan, responnya bagus. Apalagi, ketika masyarakat sekitar kampus juga membeli nasi gorengnya.

Apa pasal? Ternyata, itu karena bumbu nasi gorengnya berupa bumbu matang alias bukan bumbu yang baru saja dibuat. Selain itu, bumbu tersebut menggunakan terasi, serta tanpa bahan pengawet, MSG, serta perasa dan pewarna tambahan.

Imbasnya, banyak konsumen yang minta dibuatkan bumbu itu. Permintaan mereka dilayani Mas Pur, begitu ia akrab disapa, dengan seadanya. Dalam arti, bumbu itu hanya dibungkus dalam kemasan plastik biasa berukuran ¼ kg dan harga kira-kira yaitu Rp30 ribu.

Awalnya, bumbu nasi goreng yang diistilahkan Mas Pur sebagai bumbu nasi goreng sehat ini hadir, lantaran lidah Mas Pur tidak cocok dengan semua bumbu nasi goreng yang dijual di supermarket. Lalu, ia membuatnya sendiri dari bahan-bahan segar dan menurutnya lebih enak. Tapi, dengan kondisi seperti itu, bumbu nasi goreng ini cuma tahan tiga bulan dalam lemari pendingin dan satu bulan dalam suhu ruang.

Kemudian, karena satu dan lain hal, ia harus pindah ke Jakarta. Mas Pur pun terpaksa menutup warungnya. Tapi, di Jakarta, ia membuka warung nasi goreng lagi di garasi rumahnya.

“Suatu hari, saya diajak seorang teman untuk mengikuti sebuah event. Di tempat itu, saya menjual bumbu nasi goreng saya dalam botol plastik berukuran 200 gr. Bumbu itu, saya jual dengan harga Rp20 ribu. Tapi, belum ada respon yang bagus,” kisahnya.

Berbeda halnya, ketika ia mengikuti sebuah event yang diselenggarakan sebuah komunitas pada tahun 2013. Ketika itu, Mas Pur berjualan lebih serius. Dalam arti, ia memperbaiki kemasan dan labelnya. Imbasnya, laku keras.

“Waktu itu, saya menjualnya dengan harga Rp25 ribu/200 gr. Saya juga berjualan nasi gorengnya. Karena itu, dalam ekspo yang berlangsung tiga hari itu, dengan membawa lebih dari 100 botol, hampir 100% produk saya diserap konsumen,” tutur Mas Pur, yang selanjutnya, setiap minggu diajak komunitas tersebut berjualan di Pasar Organik. “Alhamdulillah laku juga,” lanjutnya.

Selain berjualan secara langsung, sarjana kehutanan dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, ini juga berjualan secara online. Seperti di kaskus, facebook, dan twitter, serta menerima pesanan melalui telepon/sms (short message service), atau konsumen bisa datang langsung saat ia sedang berjualan di rumahnya yang terletak di Perum Japos, Ciledug, Tangerang.

“Tidak ada minimal pembelian, tapi ongkos kirim ditanggung pembeli,” kata Mas Pur, yang produknya sudah tersebar ke seluruh Jawa, Bali, Batam, Bukittinggi, dan Sulawesi.

Bumbu Nasi Goreng Jawa Mas Pur, begitu nama produk yang dikemas dalam ukuran 200 gr dan bisa untuk delapan porsi itu, mempunyai tiga varian yaitu Bumbu Nasi Goreng Jawa, Bumbu Nasi Goreng Cabe Hijau, dan Bumbu Nasi Goreng Anak. “Saya membuat Bumbu Nasi Goreng Anak, karena anak-anak masih rentan dengan zat-zat kimia,” jelas Mas Pur, yang menyasar orang-orang yang peduli kesehatan.

Namun, diakuinya bahwa kapasitas produksinya masih terbatas. Karena, semuanya masih ia kerjakan sendiri. Karena itu, ia memerlukan tenaga kerja, yang susah susah gampang untuk mendapatkannya. Di sisi lain, dengan fokus pada sistem pemasaran secara langsung dan online, ia juga merasa kesulitan menembus pasar-pasar tradisional dan moderen.

Meski begitu, kelahiran Solo, 5 Juli 1974 ini yakin dengan prospek produknya. Sebab, produk ini memang berbeda, bukan hanya sehat, melainkan belum ada penjual nasi goreng yang sekaligus menjual bumbunya yang sebenarnya rahasia dapur. Dan, fakta telah menunjukkan bahwa usaha yang dibangun dengan modal Rp1,5 juta tersebut, mengalami peningkatan penjualan 100%.

Namun, Mas Pur belum mau berpuas diri. Ia juga membuat bumbu nasi goreng dalam bentuk sachet, untuk mereka yang ingin icip-icip dulu. Bumbu yang bisa untuk dua porsi nasi goreng ini, di awal pemasarannya dijual dengan harga Rp7 ribu. Sementara untuk variannya, tersedia Bumbu Nasi Goreng Jawa dan Bumbu Nasi Goreng Cabe Hijau. Tapi, yang berbentuk sachet (dan Bumbu Nasi Goreng Anak) ini cuma dapat dijumpai dalam pameran-pameran atau Pasar Organik.

 

 

Check Also

Ketika Para Perantau Kangen dengan Kampung Halamannya

Bubur Samin Bubur Samin bukanlah makanan tradisional Solo, tapi menjadi menu takjil yang ikonik di …