e-preneur.co epreneurship online magazine
Related Articles
Kuswandi (Pemilik Bakmi Margonda)
Mungkinkah memiliki usaha tempat makan, tapi awam dengan urusan masak-memasak dan tidak mempunyai modal? Mungkin saja. Setidaknya, hal itu, sudah dibuktikan Kuswandi dengan menjadi juragan bakmi yang sukses. Bahkan, pemilik Bakmi Margonda ini sempat mempunyai 13 cabang melalui konsep kemitraan
e-preneur.co. Keberhasilan usaha seringkali dikaitkan dengan ketersediaan modal dan keahlian. Dua faktor ini—di samping networking—dianggap mempunyai andil besar dalam meraih kesuksesan. Lantas, bagaimana jika tanpa kedua faktor tersebut?
Sebagian orang merasa pesimis, tidak percaya diri, dan akhirnya mengurungkan niat mereka terjun ke dunia usaha. Berbeda, dengan mereka yang “menganut aliran” modal nekad. Sebab, bagi orang-orang ini, semangat dan kerja keras lebih penting ketimbang duit dan skill.
“Ketika merintis Bakmi Margonda, saya dalam keadaan seperti itu alias tidak mempunyai modal dan keahlian sama sekali,” tutur Kuswandi, pemilik Bakmi Margoda.
Sebagai karyawan sebuah restoran, pendapatan yang ia terima tidak seberapa. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya saja masih pas-pasan. Padahal, saat itu, ia masih berstatus bujangan.
Maka, yang muncul dalam benaknya yakni pindah kerja ke tempat yang mampu memberi gaji tinggi atau banting setir menjadi pedagang. Ia memutuskan pilihan pertama dan gagal berulang kali.
“Beberapa kali saya melamar menjadi satpam (satuan pengamanan), tapi tidak berhasil. Lalu, saya mulai berpikir untuk berjualan saja,” kisah kelahiran Banyumas, 20 Juni 1966 ini. Namun, di sini, ia dihadapkan pada masalah serius: tidak mempunyai uang dan keahlian masak-memasak.
Sebab, dengan posisinya sebagai pelayan di tempat kerjanya, sebuah restoran bakmi yang kondang di Jakarta, ia sama sekali tidak mengetahui cara membuat bakmi dan bahan-bahan yang digunakan. Tapi, kemudian, diam-diam ia belajar mengenali bumbu-bumbu yang digunakan hingga bakmi di restoran tempatnya bekerja rasanya begitu enak.
Kuswandi juga terus mencoba membuat bakmi sendiri di tempat kosnya. Hasilnya: berantakan! Namun, setelah mencoba berulang-ulang, bakmi buatannya mulai mengalami perbaikan. Semangatnya semakin kuat.
Sementara untuk memperoleh modal, pikiran nakalnya bergerak. Sebagai karyawan, jika ia mengundurkan diri begitu saja, tentu tidak akan mendapat pesangon.
“Saya mencari akal agar dikeluarkan. Beberapa kali saya bolos kerja, lalu mendapat surat peringatan, dan akhirnya dikeluarkan. Saya mendapat pesangon Rp600 ribu. Uang inilah yang saya pakai untuk modal berdagang bakmi,” ujar lulusan sebuah Sekolah Menengah Pertama ini.
Lalu, uang tersebut digunakan untuk membuat gerobak dan membeli bahan baku untuk membuat bakmi. Tahun 1995, keinginannya memiliki usaha sendiri terwujud.
Selanjutnya, ia memilih kawasan Margonda Raya, Depok, sebagai lokasi usahanya hingga memunculkan ide untuk mengusung brand: Bakmi Margonda. Dan, pada tiga bulan pertama ia menekuni usahanya, harapannya sedikit membuncah ketika bakmi buatannya disukai pembeli.
Menjalin kerja sama dengan pihak lain dalam bentuk kemitraan, tenyata tidak gampang
Saat jumlah pelanggan terus bertambah, Kuswandi mulai berpikir untuk mengubah konsep usahanya dari gerobak dorong menjadi warung tenda. Pertimbangannya, pertama, untuk menampung lebih banyak pembeli.
Kedua, ia bisa membuat aneka makanan lain yang tidak bisa dibuat jika masih menggunakan gerobak dorong. Seperti, nasi goreng, mie goreng, pangsit goreng, dan lain-lain.
Prediksinya tidak meleset. Setelah berubah menjadi warung tenda, omset penjualannya terus meningkat. Saat itu, dalam sehari (sore hingga malam, red.), ia mampu membukukan omset hingga Rp1,4 juta. Sebuah angka yang cukup besar untuk seorang mantan pegawai kecil yang gajinya pas-pasan.
Hingga, ia sempat berangan-angan, “Jika di sepanjang Jalan Margoda saja saya bisa membukukan omset sebesar itu, bagaimana kalau seluruh Depok mengenal dan menyukai Bakmi Margonda?”
Ketika ada proyek pelebaran jalan, rintisan usaha kakilima-nya terhenti. Ia tergusur, sekaligus memaksanya menjajal model usaha dengan level yang lebih tinggi.
Kuswandi menyewa sebuah ruangan di kawasan Ramanda, Depok, sebesar Rp6,5 juta/bulan. Sayang, usahanya hanya bertahan tujuh bulan di tempat itu. Sebab, selain faktor mahalnya biaya sewa, juga omset yang terus menurun.
Dari Ramanda, ia pindah ke tempat yang kini menjadi markas usahanya. Harga sewanya Rp11 juta/tahun!
Selepas pindah ke tempat yang baru ini, ia mampu meraup omset tiga kali lipat dibandingkan omsetnya di Ramanda. Kenaikan omset itulah, yang menambah keyakinannya untuk terus mengembangkan usahanya hingga memiliki beberapa cabang.
Cabang-cabang tersebut merupakan outlet mitra. Ya, Kuswandi mulai mengenal sistem kemitraan, ketika seorang pelanggannya tertarik untuk menjalin kerja sama.
Kala itu, calon mitra itu memberinya uang Rp36 juta, dengan catatan jika dalam tempo enam bulan hasilnya tidak sesuai dengan harapan, maka Kuswandi harus mengembalikan uang itu. Tapi, baru satu bulan berjalan, “catatan” tersebut langsung dihapus. Sebab, omset yang diperoleh dari cabang yang berlokasi di Rawamangun, Jakarta Timur, itu mencapai Rp6 juta/hari.
Lain lagi dengan cabang di Pondok Gede, Bekasi. Calon mitra berani memberikan partnership fee Rp200 juta untuk kerja sama selama 5 tahun. Di tempat ini, omsetnya bahkan menembus Rp10 juta/hari.
Namun, minimnya pengetahuan tentang aturan main kemitraan membuatnya sadar bahwa menjalin kerja sama dengan pihak lain dalam bentuk kemitraan, tenyata tidak gampang. Untuk itu, perlu dibuat aturan-aturan yang lebih mengikat.
“Ketika kondisinya stabil, bahkan cenderung meningkat, tiba-tiba mitra menurunkan permintaan bahan baku. Usut punya usut, mereka membuat sendiri bahan bakunya. Terpaksa, kami mengakhiri kerja sama,” ungkapnya.
Tapi, Kuswandi tidak mempermasalahkan ketika mantan mitranya ada yang masih memajang brand Bakmi Margonda. Meski, dengan bentuk huruf berbeda.
Menurut Kuswandi, hingga saat ini, permintaan untuk menjadi mitra masih berdatangan. Namun, ia memutuskan menunda sampai menemukan formula yang tepat menyangkut persyaratan kemitraan.
Ia lebih memilih “menikmati” keberhasilan usaha yang dirintisnya dari nol, yang kemudian memberinya omset rata-rata Rp200 juta/bulan (sebelum pandemi, red.). Kuswandi juga bersyukur dapat mengembangkan usaha secara mandiri, sekaligus bisa menciptakan lapangan kerja.
