Onny Hendro Adhiaksono (PT Trimatra Group)
Dalam bisnis, selain modal, jaringan dan skill mempunyai peran yang tidak kalah penting. Dan, Onny berhasil membangun kerajaan bisnisnya tidak lepas dari ketelatenannya merangkai jaringan (networking)
e-preneur.co. Tahun 1995 menjadi tahun yang tidak akan pernah dilupakan Onny Hendro Adhiaksono sepanjang hidupnya. Kecelakaan tragis yang terjadi di Tol Cikampek itu nyaris merenggut nyawanya. Ia terluka parah dan terbaring koma selama 30 hari!
Keajaiban terjadi. Ia sadar dari koma dan perlahan kesehatannya pulih seperti sediakala. Satu hal yang Onny syukuri, ia diberi kesempatan melihat “film” kejadian masa lalunya. Terutama, kejadian yang menyakitkan semenjak kecil hingga dewasa. Kelak, pengalaman spiritual ini membawa perubahan dalam menjalani kehidupan selanjutnya.
“Saya seperti mendapat kesempatan menjalani kehidupan kedua. Tidak setiap orang bisa mendapatkan kesempatan seperti ini,” ujarnya.
Onny juga tetap bersyukur, kendati semua yang ia miliki habis. Mobil baru, uang sejumlah AS$20 ribu yang ada di dalam mobil, arloji, cincin, handphone semuanya raib. Bahkan, tabungan milik istrinya pun ludes untuk berobat selama ia terbaring koma di rumah sakit.
Ia nyaris tidak memiliki apa-apa lagi. Bahkan, untuk mengembalikan semua yang hilang tadi butuh waktu yang tidak singkat.
Orang boleh saja berhitung secara matematis, tapi untuk urusan rezeki cuma Tuhan yang Maha Mengerti. Buktinya, hanya butuh waktu enam bulan, semua harta benda yang sempat terenggut dikembalikan. Bahkan, dalam jumlah yang berlimpah.
“Setelah kecelakaan tragis itu hidup saya berubah total. Dulu, saya kerja pagi‒siang‒malam tanpa henti dengan harapan bisa mendapat hasil yang banyak. Kini, saya bekerja seperti menjalankan kewajiban dan tanggung jawab. Selebihnya, biar Tuhan yang menilai,” ucap pria, yang kondang dengan julukan Kaji Edan (Haji Gila, red.) ini.
Justru, dengan sikap seperti itu, Onny merasa dimudahkan dalam segala urusan bisnisnya. Pelan tapi pasti, aset dan perusahaannya terus bertambah.
Kini, ia memiliki belasan perusahaan yang berada dalam naungan PT Trimitra Group. Di antaranya, PT Pasific Geo Energy (geothermal), PT Prama Bina Wisesa (SPBE), PT SIA Mitra Mandiri (batubara), dan PT Secure Data Solusindo (IT). Uniknya, semua perusahaan dikelola orang lain, tanpa satu pun yang melibatkan namanya.
Setiap orang mempunyai peran dan keahlian sendiri. Jadi, biarkan masing-masing memberikan kemampuan terbaiknya
“Mungkin, kelihatannya aneh. Tapi, begitulah cara saya mengelola perusahaan. Saya melakukan deal bisnis di awal, setelah mendapatkannya, saya serahkan pengelolaannya ke orang lain (orang-orang kepercayaannya, red.),” ungkapnya.
Ia mengibaratkan sebuah tim dalam permainan sepakbola. Masing-masing mempunyai posisi dan keahlian sendiri.
“Seorang striker, misalnya, ia tidak akan berdaya ketika dipaksakan posisinya sebagai keeper. Begitu juga sebaliknya. Saya pun demikian. Saya mempunyai kemampuan melakukan deal-deal bisnis. Tapi, saya tidak tahu teknis pengelolaanya. Jadi, meski saya bos perusahaan batubara, tapi saya tidak tahu bagaimana mengurusnya di lapangan,” katanya, jujur.
Di satu sisi, sikap terlalu percaya pada orang lain memang berisiko. Pasalnya, tidak setiap orang mempunyai niat yang tulus.
Alumnus Teknik Sipil, Universitas Gadjah Mada, ini pun merasakan imbasnya. Ketika itu, Onny tengah merintis perusahaan otobus Tunggal Daya jurusan Lebak Bulus‒Bekasi dan Kowanbisata jurusan Depok‒Ciputat‒Pulogadung dengan seorang rekan bisnisnya.
Ketika bisnis mulai berjalan, rekan bisnisnya meributkan perjanjian kerja sama yang telah disepakati. Onny yang sengaja tidak dimunculkan memilih menyerahkan semua kepemilikan saham, termasuk modal awal yang digelontorkan sebesar Rp500 juta lebih, tanpa kompensasi apa pun. “Jika dikalkulasi secara bisnis, dengan jumlah armada bus sebanyak 48 unit, pendapatan tiap hari diperkirakan mencapai Rp10 juta atau Rp300 juta per bulan,” tuturnya, memberi ilustrasi.
Tidak ada sedikit pun penyesalan. Bahkan, ia mengaku justru diberi keluasan jalan mendapatkan proyek bisnis yang lebih besar. Semisal, ia berhasil menjual tambang emas milik salah seorang temannya di Rumpang, Sumbawa, kepada seorang konglomerat ternama di republik ini. Kompensasinya, Onny mendapat saham perusahaan sebesar 10%.
Kelahiran 1 Februari 1969 ini tidak menampik bahwa keberhasilan yang diperoleh selama ini merupakan buah dari ketelatenannya membangun jaringan bisnis. Dan, itu dilakukan sejak tahun 1989, tepatnya ketika Onny diminta membantu menangani bisnis milik Koes Hendratmo, yang tak lain adalah pamannya sendiri.
Onny yang ketika itu masih berstatus mahasiswa semeter III memutuskan hijrah dari Yogyakarta ke Jakarta. Kuliah terpaksa ditinggalkan dan ia pulang hanya saat mengikuti ujian.
Saat itu, Koes Hendratmo meminta Onny menangani perusahaan miliknya yang sedang dalam kondisi kritis. Dari 12 perusahaan yang ada, di antaranya bergerak di bidang perkapalan, periklanan, dan supplier Pertamina, semuanya terbelit hutang. Tidak ada jalan lain, selain menutup seluruh perusahaan tersebut.
“Tentu, tidak gampang memberi penjelasan kepada Om Koes (begitu ia memanggil Koes Hendratmo, red.) mengenai langkah ini. Tapi, ini langkah terbaik ketimbang meneruskan perusahaan yang isinya pepesan kosong,” tegasnya.
Alhasil, dari penutupan itu, perusahaaan mesti menanggung hutang yang mencapai Rp6,3 miliar. Angka yang sangat besar untuk ukuran tahun itu.
Onny yang kemudian didapuk sebagai manajer Om Koes bertanggung jawab mengatur keuangan dari hasil menyanyi, termasuk untuk mencicil hutang tersebut. Dari sinilah, ia mulai akrab dengan debt collector yang membuatnya piawai menerapkan trik-trik menghidar dari para penagih hutang.
“Hampir setiap hari debt collector datang, tidak hanya ke rumah, melainkan juga kerap menyambangi kantor,” tuturnya. Aksi kucing-kucingan ini berlangsung cukup lama.
Pria humoris ini mau tidak mau harus memutar otak agar bisa segera melunasi hutang-hutang itu. Caranya, dengan mengagunkan sertifikat rumah ke bank. Ketika tidak mampu melunasi cicilan ke bank, ia pindah ke bank lain dengan plafon yang lebih besar. Begitu seterusnya.
Rupanya aksi penyelamatan karena faktor kepepet ini, kini menjadi tren di kalangan pengusaha untuk mencari modal ke bank tanpa harus mengeluarkan uang tunai. Trik ini juga kerap diajarkan oleh para konsultan bisnis.
Selain mencarikan pinjaman ke bank, Onny mendirikan event organizer (EO) Koes Hendratmo Production. “Ketika itu hanya ada empat EO di Indonesia. Kami tidak hanya mengatur jadwal menyanyi Om Koes, tapi juga dekorasi panggung, backdrop, maupun hotelnya,” paparnya.
Ada hal positif yang menurut Onny bisa dimanfaatkan dengan posisinya sebagai manajer Om Koes, yang notabene penyanyi papan atas. Yakni, relationship yang begitu luas dan melibatkan orang-orang kalangan atas.
“Saya bisa mempunyai kenalan pengusaha, pejabat negara, maupun orang-orang penting lainnya,” ujarnya. Dalam bisnis, selain modal, jaringan dan skill mempunyai peran yang tidak kalah penting.
Onny berupaya me-maintenance dengan baik. Sementara dengan pembawaan yang luwes, memungkinkannya masuk ke semua kalangan.
Kepiawaiannya dalam bernegosiasi serta jaringan yang luas inilah yang membuatnya mendapatkan proyek-proyek kakap. Beberapa tambang batubara di Kalimantan berhasil dimiliki. Meski begitu, ia tetap kuat memegang prinsipnya: setiap orang mempunyai peran dan keahlian sendiri. Jadi, biarkan masing-masing memberikan kemampuan terbaiknya.