Home / Inovasi / Limbah Daun Itu Masih Mempunyai Nilai Jual

Limbah Daun Itu Masih Mempunyai Nilai Jual

Oshibana

Daun-daun yang berguguran, bagi kebanyakan orang, cuma merusak pemandangan. Karena, membuat jalanan kotor. Tapi, bagi segelintir orang, seperti Ani, dedaunan yang sudah berakhir masa hidupnya itu dapat diubah menjadi produk yang mendatangkan pemasukan lumayan menggiurkan melalui oshibana

e-preneur.co. Mereka yang kreatif selalu mencari bahan-bahan yang dapat didaur ulang menjadi produk unik, bahkan bila mungkin diperjualbelikan. Tidak masalah, bila bahan-bahan tersebut berupa limbah botol plastik atau bekas kemasan makanan ringan. Bahkan, daun-daun yang berguguran di jalan.

Adalah Ani Ratna Sudira, yang melihat adanya peluang pada daun kering. Menurutnya, rangkaian daun press itu unik, artistik, dan bahan-bahannya mudah diperoleh.

“Negeri kita kaya dengan tumbuhan yang cantik dan itu membuat saya tergelitik untuk mengembangkannya,” tuturnya. Lalu, ia berusaha mencari tempat untuk belajar merangkai bunga atau dedaunan yang dikeringkan dengan cara ditekan itu. Atau, yang lebih dikenal dengan istilah oshibana (Jepang: oshi berarti ditekan dan bana berarti bunga, red.).

Akhirnya, ia menemukannya dalam sebuah workshop di Bandung. Usai mengikuti workshop itu, kelahiran Cirebon, 21 September 1965 ini membuka usaha kursus pembuatan oshibana.

Ia menetapkan biaya kursus terbilang besar yang digunakan untuk membeli peralatan (mesin laminating, alat pengering, plastik laminating, cetak notes, pembatas buku, alat-alat aksesoris, dan alat-alat lukis). Sementara bahan-bahan bakunya, bisa diperoleh dari alam sekitar.

Mahalnya biaya kursus, di samping belum paham tentang seni merangkai bunga ala Jepang ini, banyak orang yang berkomentar tidak mengenakan.

Banyak tumbuhan cantik di sini, yang dapat dikembangkan menjadi rangkaian daun kering yang unik

“Terkadang, mereka tidak melihat jerih payah kami dalam membuat oshibana. Mereka mengatakan jika rumput dan ilalang banyak ditemui di pinggir jalan, lalu mengapa biaya kursusnya bisa semahal itu,” ungkapnya.

Di sisi lain, ia menambahkan, untuk mendapatkan hasil yang maksimal dibutuhkan ketekunan dan jiwa seni yang tinggi. “Tidak berarti saya mengatakan kalau saya mempunyai jiwa seni yang tinggi. Tapi, membuat oshibana memang membutuhkan ketelitian. Contoh, kalau pengeleman saja tidak bagus, maka hasilnya kelihatan tidak prima,” jelasnya.

Ani juga sering kelelahan menjawab pertanyaan konsumen. Walau, pada akhirnya mereka tertarik untuk membeli. “Banyak konsumen yang minta dijelaskankan bunganya luntur atau tidak, memakai pewarna atau tidak, bisa rusak atau tidak kalau terkena air hujan,” katanya.

Ani menjual produknya di rumah dan memasarkannya dengan promosi dari mulut ke mulut dan mengikuti berbagai bazar. Sebagian besar pembelinya kalangan Ibu-ibu dan remaja putri, yang kebanyakan membeli gantungan kunci, notes, dan aksesori. “Kalau di bazar-bazar, biasanya tempat tisu seharga Rp75 ribu yang paling laris,” kata perempuan, yang mematok harga Rp5 ribu untuk gantungan kunci dan jutaan rupiah untuk lukisan ini.

Ke depannya, Ani berharap oshibana bisa menjadi salah satu suvenir yang berasal dari Bandung dan mempekerjakan masyarakat sekitar. “Setiap kota mempunyai ciri khas masing-masing. Saya ingin oshibana buatan saya bisa menjadi suvenir Bandung dan kemudian mengekpornya ke luar negeri,” pungkasnya.

Check Also

Cucian Bersih, Ekosistem Terjaga

Deterjen Minim Busa Isu ramah lingkungan membuat para pelaku usaha terus menggali ide untuk menciptakan …