Home / Liputan Utama / Harus Dipersiapkan Sebelum Pensiun

Harus Dipersiapkan Sebelum Pensiun

Retty Soeryo Soedibyo (Mantan Kepala Sub Dinas Pelayanan Kesehatan Keahlian Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta)

IMG_0216Maksud hati ingin bersantai-santai menekuni hobinya melukis hingga memutuskan pensiun dini sebagai pegawai negeri, Rettry justru berubah menjadi entrepreneur. Karena, hobi itu berkembang menjadi bisnis baju lukis di bawah label Tangan Peri. Tapi, ia mensyukurinya, sebab ternyata pensiun tidak berarti berhenti beraktivitas dan masih bisa terus bermanfaat

e-preneur.co. Merasa sudah lelah dan jenuh dengan pekerjaan atau tempat kerja mereka, kadangkala membuat orang-orang memutuskan mengundurkan diri atau pensiun dini. Seperti yang dilakukan oleh Retty Soeryo Soedibyo, yang memilih pensiun dinipada tahun 2001 atau tepatnya dua tahun sebelum masa pensiunnya sebagai pegawai negeri tiba.

Meski, keputusan mantan Kepala Sub Dinas Pelayanan Kesehatan Keahlian Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta ini disesalkan sang suami,apalagi Retty masih memiliki semangat kerja yang menggebu-gebu, tapi hal itu tetap tidak menghalangi keinginannya untuk beristirahat sambil kembali fokus pada hobinya melukis.

Namun, walau merasa sudah memenangkan “pertarungan” batin, ternyata “masalah” belum selesai. Alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung, ini hanya sempat menikmati masa istirahatnya selama beberapa bulan. Sebuah tawaran untuk menjadi direktur sebuah rumah sakit, “memaksanya” untuk keluar dari zona nyaman.

“Saya merasa dilematis. Tapi, akhirnya, tawaran itu saya terima. Karena, saya merasa mungkin ada manfaatnya,” tutur perempuan, yang juga bergelar Magister Administrasi Rumah Sakit dari Universitas Indonesia, Jakarta, ini.

IMG_0209Sekitar tahun 2005−2006, Retty mengundurkan diri sebagai direktur rumah sakit tersebut. Kali ini, ia benar-benar kembali ke rumah yang berarti pula kembali menekuni hobinya. Bukan cuma itu, ia juga mendapat dukungan penuh suami dan anak-anaknya. Selain itu, dalam perkembangannya, ia mengubah hobi itu menjadi sebuah usaha yang diberi nama Tangan Peri.

“Nama yang ear catching ini pemberian anak saya, Adra Gesza. Maksudnya, usaha ini dimulai dari melukis di atas semua benda berbahan gelas/kaca. Termasuk botol-botol bekas yang tentu saja penampilannya sudah jelek. Tapi, ibarat peri yang tangannya memegang tongkat sihir, saya mengubahnya—dengan melukisi botol-botol tersebut dengan aneka bentuk dan warna-warni cerah—menjadi botol-botol yang indah,” jelas kelahiran Ciamis, 17 Juni 1948 ini.

Lantas, seiring dengan berjalannya waktu, Retty yang dulu sering memajang lukisan hasil karyanya di kantor, melebarkan media yang dilukisnya dari kain kanvas dan barang-barang berbahan gelas/kaca ke busana berbahan sutra. Hal itu ia lakukan, karena ia merasa jika lukisan dalam kain kanvas itu memakan tempat dan turn over-nya lama. Sedangkan jika lukisan itu dituangkan dalam busana, maka semua orang bisa melihatnya saat busana itu dipakai dan turn over-nya cepat.

Di sisi lain, dalam pameran, semula gelas lukis yang selalu tampil. Sedangkan baju lukis, masih sekadar produk pendamping. “Tapi, lama-kelamaan saya merasa gelas-gelas itu berat dan susah kalau dibawa ke pameran. Kadangkala, ada yang pecah. Untuk mengatasi hal ini, porsi gelas lukis saya kurangi dan porsi baju lukis saya tambah hingga akhirnya baju lukis lebih banyak ketimbang gelas lukis. Apalagi, dalam penjualan, baju lukis menguasai 95%. Mengingat, orang (baca: perempuan, red.) tentu lebih memilih membeli baju daripada hiasan rumah, kan?” kata Retty, yang menjual baju-baju lukisnya dengan harga ratusan hingga jutaan rupiah.

Dalam pengerjaan dan penjualan baju lukisnya, Retty dibantu beberapa karyawan. Karena, ia merasa sudah tidak sanggup bila harus mengerjakannya sendiri. “Untuk satu baju, kadangkala dibutuhkan waktu sampai berhari-hari. Padahal, kalau sedang pameran, dibutuhkan minimal 150 baju. Di sisi lain, untuk mengatasi ‘masalah’ ini, saya sering mengombinasikan antara bahan yang sudah dilukis dengan yang polos,” tuturnya.

Imbasnya, ia melanjutkan, beberapa konsumen batal membeli karena mereka menginginkan baju yang fulllukisan. Selain itu, ia juga harus menghadapi konsumen yang “rewel” soal warna di mana yang satu menginginkan warna-warna yang cenderung ngejreng, sedangkan yang lain menginginkan warna-warna soft. Atau, menginginkan model-model tertentu yang sebenarnya sudah tidak dibuat lagi. “Pada dasarnya, sebagai manusia, kita harus mau menerima omongan orang lain. Lalu, kita kembalikan ke diri kita sendiri apakah akan menganggapnya sebagai kritikan atau masukan,” imbuhnya, bijak.

Sikap bijak ini, juga muncul ketika ia merasa fase-fase hidupnya berubah secara mengejutkan. “Dari fase orang yang bekerja menjadi fase orang yang ‘cuma’ di rumah, sambil menekuni hobi. Lalu, dari fase pensiunan pegawai negeri menjadi fase pegawai swasta dan akhirnya pensiunan pegawai swasta. Dan, kini, sebagai pedagang pakaian dari satu pameran ke pameran, yang harus bertemu dengan penawar yang menyebalkan atau sebaliknya konsumen yang menghargai karya saya. Inilah hidup!” tegas Retty, yang mengaku pernah mengalami post power syndrome.

Masalah lain yang juga harus ia hadapi yaitu masalah pegawai. Pada mulanya, ia harus mengajari mereka melukis atau setidaknya menjadikan kain sutra polos yang menjadi medianya menjadi kain sutra yang bergambar. Hasilnya, ada yang mengerjakannya dengan cepat. Sebaliknya, ada pula yang mengerjakan secara lambat. Karena itu, setiap bulan, rata-rata cuma bisa dihasilkan 50 baju. Di sisi lain, ketika para pegawai harus pulang kampung saat puasa dan lebaran, otomatis penjualan pun akan menurun.

“Apalagi, saat puasa dan lebaran juga tidak banyak pameran. Padahal, penjualan saya dari satu pameran ke pameran berikutnya, selain melalui outlet,” ujar Retty, yang membuka butik Tangan Peri di kediamannya di kawasan Karang Tengah, Lebak Bulus, Jakarta Selatan.

Sementara untuk promosinya, Retty yang pada awalnya memodali sendiri usahanya tapi dalam perkembangannya dibantu sang suami, menghubungi para konsumen setianya melalui pesan singkat atau jejaring sosial, setiap kali akan mengikuti pameran. Adakalanya, sang putri, Adra, menjadi manekin berjalan dengan memakai baju buatan Ibunya saat berjalan-jalan menghabiskan akhir pekan. Adra yang sesekali menyumbangkan ide untuk desain dan model baju-baju di Tangan Peri, juga mempromosikannya melalui sebuah blog.

“Bantuan” yang Adra dan saudara-saudaranya lakukan saat pameran, membuat Retty menarik pelajaran hidup bahwa meski umur sudah tidak muda lagi, tapi harus masih bisa bermanfaat. Di sisi lain, pensiun merupakan sesuatu yang natural, yang akan dialami oleh setiap pegawai dan harus siap menghadapinya. Kendati, tidak semua orang merasa siap. Bahkan, menyadarinya pun tidak.

“Termasuk saya. Rasanya kok tiba-tiba saya sudah mau pensiun. Saya sempat kaget.Sebab, dalam pemikiran saya, kalau sudah pensiun berarti sudah sangat tua. Sehingga, saya tidak melakukan persiapan apa pun. Padahal,seandainya usaha ini dipersiapkan sebelum pensiun, saya yakin hasilnya lebih baik lagi,” ujar perempuan, yang di-branding sebagai dokter yang melukis ini. Untuk tetap produktif, tidak tergantung umur. Jadi, manfaatkan saja sisa umur yang ada untuk mengerjakan hal-hal yang disukai.Demikian saran bijak Retty.

Check Also

Harus Pandai Membaca Karakter Orang

Fairuz (Redline Bags)   Membangun bisnis di dalam bisnis dan satu sama lain berhubungan itu …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *