Rizky Food
Ironis, boleh dikata begitu, mengingat ikan-ikan yang berkualitas justru diekspor. Sehingga, sebagian besar masyarakat kita hanya bisa mengonsumsi ikan dengan kualitas paling rendah. Di sisi lain, produk olahan ikan yang beredar di pasaran, kebanyakan tidak aman bagi anak-anak. Prihatin dengan ini,Yudhi membuat produk olahan ikan yag memenuhi standar kesehatan dari “sisa-sisa” potongan daging ikan berkualitas ekspor
e-preneur.co. Seperti diketahui bahwa masyarakat, terutama anak-anak, cenderung lebih menyukai daging ayam dibandingkan ikan. Lantaran, unggas yang satu ini selain dapat dibeli dalam kondisi masih segar, juga dapat diolah menjadi aneka masakan. Sementara ikan, biasanya dijumpai dalam kondisi sudah dibekukan atau didinginkan dan hanya bisa diolah menjadi masakan-masakan tertentu. Bukan cuma itu, satwa air ini tidak begitu disukai, karena berbau amis dan perlu ketelitian ekstra untuk menyantapnya agar tidak tersedak durinya.
Padahal, harga ikan lebih murah ketimbang ayam. Di samping itu, ia juga mengandung sejumlah zat yang sangat berguna bagi tubuh.Misalnya, protein, omega-3 yang merupakan komponen penting dalam pembentukan otak, sertaomega-6 yang dapat menurunkan risiko serangan jantung dan stroke. Dengan demikian, menyantap ikan itu “wajib” hukumnya, apalagi bagi anak-anak.
“Ironisnya, sekarang, ikan-ikan di Indonesia justru diekspor. Sehingga, masyarakat kita hanya bisa mengonsumsi ikan dengan kualitas (yang kemungkinan besar) paling rendah. Imbasnya, kalau mereka ingin makan ikan yang masih fresh berarti harus membeli yang berkualitas ekspor, yang notabene tidak mampu mereka beli. Maklum, kakap merah saja saat itusudah dihargai Rp35 ribu−Rp40 ribu per kilogram. Ditambah lagi, produk olahan ikan yang banyak beredar di pasaran, belum tentu aman bagi anak-anak,” kata Yudhi Winarsono Basuki, produsen produk olahan ikan.
Kondisi ini, membuat Yudhi prihatin sekaligus terpicu untuk membuat produk olahan ikan, yang memenuhi standar kesehatan. “Saat saya bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang ekspor ikan, saya melihat banyak ‘sisa’ potongan-potongan daging ikan kualitas ekspor yang tidak dimanfaatkan lagi. Hal itu, memicu saya untuk membangun rumah produksi sendiri dan itu terwujud pada tahun 2005, di Sukabumi. Dua tahun kemudian, saya mendirikan rumah produksi lagi yang berlokasi di Bojong Gede dengan modal awal Rp15 juta,” kisah alumnus Sekolah Tinggi Perikanan, Jakarta, ini.
Home industry tersebut, memanfaatkan “sisa” potongan daging ikan (baca: tetelan, red.) kualitas ekspor tersebut, dengan memprosesnya menjadi pasta. Selanjutnya, diolah menjadi berbagai produk olahan ikan, seperti otak-otak, ekado, bakso, lumpia, siomay, dan lain-lain. Kini, rumah produksi ini, telah menghasilkan 24produk olahan ikan dan udang. Produk-produk itu dikemas dalam ukuran 100 gr−450 gr, dengan harga (distribusi) Rp20 ribu−Rp36 ribu.
“Awalnya, saya hanya menggunakan kakap. Sebab, ikan ini tidak mengandung histamine (zat yang menyebabkan gatal, red.), serta dagingnya putih dan rasanya legit. Lalu, konsumen meminta agar harga produk diturunkan. Padahal, harga kakap makin lama makin mahal. Untuk mengatasi hal ini, saya mengombinasikan kakap dengan ikan-ikan lain, seperti tuna, lemagang, kuniran, dan lain-lain. Imbasnya, kualitas produk saya menurun dan konsumen complain lagi,” tutur kelahiran Sidoarjo ini.
Akhirnya, di awal tahun 2009, Yudhi yang menamai produknya Rizky Food ini kembali lagi ke kakap plus udang. Sedangkan untuk produk baksonya, ia menggunakan ikan mata goyang, karena jenis ikan ini merupakan salah satu bahan baku terbaik untuk membuat bakso ikan. Hal inilah yang merupakan salah satu pembeda Rizky Food dengan produk-produk sejenis, yang biasanya menggunakan tuna.
Di samping itu, Rizky Food memiliki kandungan ikan lebih banyak yaitu 60%−70%. Di luar itu,jika pada awalnya 80% produk Rizky Food masih menggunakan MSG (penyedap rasa), meski cuma 1% atau di bawah ambang batas yang ditentukan yaitu 2%, saat ini bukan cuma tidak lagi menggunakan MSG, melainkan juga tanpa pengawet dan pewarna, serta tidak amis. Singkat kata, Rizky Food dijamin halal, aman, sehat, dan bergizi.
Sementara dalam berproduksi, Yudhi membuat aturan tersendiri di mana untuk setiap item harus tersedia 50 pack atau sekitar 1.200 pack. “Kalau jumlah, misalnya siomay atau ekado, sudah berkurang, maka kami baru akan membuat adonan lagi untuk mengisi persediaan yang berkurang itu. Kalau di dalam stock buffer masih tersedia 1.200 pack, kami tidak membuatnya lagi,” ungkapnya.
Namun, di samping itu, Yudhi dan para karyawannya terus membuat adonan untuk memenuhi pesanan rutin dari klien tetapnya dan beberapa pasar moderen (Matahari, Makro, dan Giant) di Jabodetabek, Sukabumi, dan Bandung.
Ya. Rizky Food yang secara resmi atau serius dibangun sebagai sebuah bisnis pada Maret 2008 ini, produk-produknya dapat dibeli di berbagai pasar moderen, selain melalui para agen/distributor dan dibeli langsung dengan harga yang tentu saja berbeda-beda. Bahkan, dalam perkembangannya, Rizky Food dipasarkan oleh CV Rizky Boga Niaga yang didirikan tahun 2013 di Sukabumi. Sehingga, Rizky Food bisa dijumpai secara nasional.
“Ke depannya, selain menambah jumlah item, nantinya saya juga akan menggunakan surimi dan ikan air tawar sebagai bahan baku. Bukan karena kuatir nantinya tidak mampu lagi membeli kakap, melainkan begitulah kecenderungan yang terjadi dalam masyarakat, yang mulai lebih menyukai ikan air tawar,” pungkasnya.