Home / Kiat / “Tidak Harus Selalu Business Oriented”

“Tidak Harus Selalu Business Oriented”

Agustinus Priyanto (Kreator Tempe Koro)

Mencari bidang bisnis yang klik kadangkala memerlukan waktu dan proses yang terbilang lama dan berbelit. Tapi, ketika bidang bisnis itu sudah dalam genggaman, ide-ide untuk mengembangkannya pun mengalir deras. Seperti Agus, yang setelah menemukan Tanaman Koro Pedang bukan sekadar mengolahnya menjadi Tempe Koro sebagai alternatif Tempe Kedele, melainkan berbagai produk turunannya. Dan, itu semua dilakukannya tanpa unsur bisnis

e-preneur.co. Tidak pernah sedikit pun memiliki minat bekerja (baca: kerja kantoran atau menjadi karyawan, red.). Ia hanya ingin mempunyai dan menjalankan usaha sendiri. Meski, tidak berarti menampik tawaran pekerjaan dari orang lain. Itulah, Agustinus Priyanto.

“Saya tidak pernah melamar pekerjaan. Kalau kemudian saya bekerja di perusahan ikan tuna itu, karena saya ditarik oleh mantan pimpinan saya saat kami bekerja sama di Irian (sekarang: Papua, red.),” tutur Agus, sapaan akrabnya.

Ia mengaku lebih tertarik menjadi wirausahawan. “Walau, sebagian orang masih berpikir bahwa wirausaha bukanlah pekerjaan. Berbeda, dengan ngantor,” lanjutnya.

Pola pikir semacam itu, ia menambahkan, ditanamkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda yang menyatakan bahwa jika seseorang menjadi pegawai, maka harkat dan martabatnya akan naik. Sebaliknya, dengan Bangsa Cina.

“Saya pribadi tidak terpengaruh oleh apa pun, melainkan sekadar naluri, cuma ingin, suka melakukan yang berbeda. Karena itu, apa yang saya lakukan selalu hal baru,” ujarnya.

Kelahiran Yogyakarta, 17 Juni 1955 ini, memang pernah bekerja pada sebuah perusahaan perikanan di Pelabuhan Muara Baru, Jakarta Utara, dengan jabatan terakhir kordinator lapangan. Ia berhenti bekerja lantaran perusahaan tersebut tutup, pada sekitar tahun 2000 atau saat umurnya 45 tahun.

“Ketika perusahaan sedang vakum, saya belajar berwirausaha berupa berjualan ikan. Saya selalu melakukan hal-hal yang belum pernah dilakukan orang lain. Jadi, waktu itu, saya mendatangkan Ikan Layang dari Sulawesi,” kisahnya.

Kala itu, ia menambahkan, Ikan Layang belum dimanfaatkan secara optimal. Sehingga, tidak mudah saat ia berusaha “mengenalkan” ikan itu ke pasar.

Setelah mereka merasa kalau rasanya enak dan bisa diterima, barulah ikan tersebut diburu. “Jadi, meski ini hal baru tidak berarti gampang,” ucapnya.

Namun, kemudian muncul “masalah” baru yaitu munculnya banyak follower, yang pada akhirnya menimbulkan persaingan tidak sehat. “Saya tidak menyukai ‘kekerasan’ semacam itu. Di sisi lain, saya merasa di luar sana masih banyak peluang lain yang siap untuk dikembangkan,” kata Agus, yang bertahan di usaha ini sekitar lima tahun.

Berikutnya, Agus melakukan banyak trial & error (tapi, menurutnya, lebih banyak error-nya). Hingga, pada tahun 2005, pria yang mengaku cenderung lebih mengandalkan intuisi ini memperoleh kesempatan melakukan survai bersama sebuah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) Jepang bekerja sama dengan BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) di laut dalam, selama tiga bulan.

Tiga tahun kemudian, ia bergabung dengan sebuah LSM yang lain untuk mendampingi masyarakat korban konflik di Aceh Tengah, selama enam bulan. Dari situlah, titik tolaknya.

“Pada dasarnya, saya menyukai dunia tanaman. Tapi, belum mendarah daging. Namun, di tahun itulah, saya menemukan klik bisnis yang akan saya jalani,” tutur lulusan sebuah SMA (Sekolah Menengah Atas) ini.

Tahun 2010, “bertemulah” Agus dengan Tanaman Koro Pedang. Awalnya, hanya pendampingan terhadap para petani untuk mengembangkan suatu jenis tanaman.

Namun, ketika ia memutuskan koro sebagai bisnisnya, ternyata ia harus berhadapan dengan mengembalikan kepercayaan atau menghilangkan trauma petani. Mengingat, tanaman ini sebenarnya sudah pernah dikembangkan di suatu wilayah di Jawa Barat, tapi hanya berakhir sebagai proyek.

“Ini sungguh tidak mudah. Saya berharap, ini bisa menjadi stimulus usaha masyarakat setempat yaitu di lahan Perhutani Majalengka. Apalagi, di sana, banyak janda atau istri yang ditinggalkan suami mereka bekerja di luar wilayah mereka. Sehingga, jika hal ini dikembangkan menjadi usaha mereka ‘kan bagus,” paparnya.

Hanya ingin membangkitkan kekuatan dari dalam diri mereka sendiri

Tapi, ia melanjutkan, jika kita masuk ke dalam suatu wilayah dan melakukan pendampingan pasti masyarakat akan bertanya ada duitnya atau tidak. Sementara, Agus tidak membawa duit dari pihak mana pun. Kecuali, modal pribadi.

Koro menjadi pilihan bisnisnya. Karena, Agus prihatin terhadap impor kedele yang sangat tinggi yang dilakukan pemerintah. Kedua, koro mempunyai kandungan yang mirip dengan kedele. Tapi, dalam pengembangan produk turunannya, ia membiarkan petani yang melakukan.

“Singkat kata, saya hanya membantu mereka agar mendapat penghasilan tambahan atau setidaknya mandiri, membangkitkan kekuatan dari dalam diri mereka sendiri. Jadi, tidak ada unsur bisnis di sini. Apa yang saya lakukan bukan business oriented,” tegasnya.

Kalau pada akhirnya muncul Tempe Koro (setelah melalui pendampingan selama 1,5 tahun), ia melanjutkan, itu karena ia penasaran dan lalu secara iseng membuat tempe. Hasilnya, gagal!

Namun, dengan bangga ia meng-upload-nya di facebook dengan status: pertama kali membuat tempe dan gagal. “Ternyata, dari situ, banyak komentar berupa masukan. Semua masukan saya jalankan. Saya membuat lagi. Hasilnya, rasanya pahit atau baunya langu hingga menghabiskan 50 kg bahan mentah atau tempo 2–3 bulan,” kisahnya.

Memasuki Oktober 2012, seorang teman mengajaknya mengikuti sebuah ekspo. Teman itu menyuruhnya nekad saja berjualan Tempe Koro.

Maka, sebelum hari H, ia terus-menerus memperbaiki Tempe Koro itu. Dan, pada hari H, Tempe Koro itu pun berani tampil di ekspo dengan penampilan yang menurutnya sudah layak.

Selanjutnya, melalui learning by doing, ia berusaha menyempurnakan. Misalnya, demi kualitas, ia tidak lagi menggunakan pembungkus dari plastik sepenuhnya tapi mengombinasikannya dengan daun.

Dalam perkembangannya, diketahui bahwa dari Tempe Koro saja dapat dibuat macam-macam. Seperti, Keripik Tempe Koro dan Tepung Tempe Koro.

“Saya tertarik membuat Tepung Tempe Koro, karena banyak orang di daerah-daerah lain yang kekurangan gizi. Sementara tepung ini dapat ditaburkan dalam makanan yang mereka konsumsi, untuk tambahan nutrisi,” lanjut pria, yang dijuluki Agus Tempe ini.

Selanjutnya, Agus yang memproduksi Agus Tempe Koro (begitu ia menamai hasil karyanya, red.) di kediamannya yang berlokasi di Pondok Gede, Bekasi, mengemaskan dengan bobot 250 gr. Sementara untuk pemasarannya dilakukan melalui komunitas yang ia ikuti, di kalangan Ibu Rumah Tangga yang sadar kesehatan, dan lain-lain. Atau, menerima pemesanan melalui berbagai media sosial.

Berbicara tentang prospeknya, pria yang juga memberi pelatihan pembuatan Tempe Koro ini menyatakan bahwa prospek Tempe Koro bagus. Mengingat, masyarakat zaman sekarang cenderung ingin hidup lebih sehat lagi. Dan, koro hanyalah salah satu jalan keluarnya, sekaligus sebagai substitusi kedele.

Check Also

“Naik Kelas” dengan Mengganti Gerobak Dorong dengan Outlet Permanen Berkonsep Restoran

Bakmi Gila Usaha kakilima banyak diminati para pelaku usaha. Selain itu, konsep PKL mempunyai potensi …