e-preneur.co epreneurship online magazine
Related Articles
Amanah Cemilan Indonesia
Dalam dunia bisnis, kendala selalu ada baik dalam bentuk kerikil-kerikil kecil tapi tajam hingga bongkahan-bongkahan batu. Dan, itu pula yang dialami Joko. Tapi, pantang menyerah, ia terus bersiasat. Kini, produk bisnisnya telah mampu mengisi 100 outlet
[su_pullquote]Kami berusaha membuat standarisasi di setiap proses, mulai dari pemilihan bahan baku, produksi, penyimpanan, sampai pengiriman ke pelanggan[/su_pullquote]
e-preneur.co. Jatuh bangun dalam usaha, jangan dijadikan beban penghambat tumbuh kembang. Joko Sudarwanto, Owner Amanah Cemilan Indonesia, menjadikan label pernah gagal sebagai cambuk untuk terus maju.
Pilihannya menekuni usaha camilan memang penuh aral, sebelum akhirnya bisa menapaki kestabilan produksi, yang mayoritas diisi dengan beragam Keripik Singkong dan Pisang.
Joko memulai usahanya tahun 2012 di Medan Selayang, Medan. Ia memilih usaha ini, lantaran bahan bakunya mudah didapat dan pangsa pasarnya tidak pernah surut.
Sebelumnya, ia pernah sangat sukses di usaha jus buah asli dengan merk J-Qoe di beberapa lokasi di pinggir jalan, pada Maret 2011. Usahanya berkembang hingga mencapai 11 lokasi. Tapi, sayang, semakin terkenal, semakin banyak juga tantangannya.
“Setiap hari, saya harus sibuk berurusan dengan Satpol PP dan preman pasar. Secara bisnis, lumayan menjanjikan, tapi saya tidak tahan mental untuk mengurusi hal-hal yang sulit dipahami secara akal. Saya yang capek kerja, kok oknum yang dengan mudah mendapatkan hasilnya,” kenangnya.
Joko harus mengambil keputusan berat, dengan meninggalkan usaha yang sedang naik daun itu. J-Qoe dijual dan ia beralih ke usaha lain yakni camilan.
Pada awalnya, camilan itu tidak diproduksi sendiri, melainkan beli jadi dari orang lain dalam jumlah banyak, lalu dikemas dan dipasarkan ke toko dengan sistem konsinyasi. Hal ini, mendatangkan lampu hijau, dari yang laku rata-rata 2–3 kg/hari meningkat sampai lebih dari 10 kg/hari.
Namun, Joko kembali harus menerima kenyataan berhadapan dengan kendala baru yaitu kualitas produk jadi yang dibeli dari pihak lain tidak stabil. “Imbasnya, banyak pengembalian dari toko. Sehingga, saya mengalami kerugian besar dan sempat berhenti dari aktivitas jual beli,” timpalnya.
Desember 2011, Joko bangkit dan memilih mengolah sendiri mulai dari nol dengan masih memakai merek Amanah. Kualitas dibuat standar, varian rasa keripik ditambah (rasa gurih asin, balado, barbeque, dan jagung). Termasuk, menambah rasa keju bakar, cokelat, dan original pada Keripik Pisangnya.
Usahanya tidak sia-sia. Dengan harga jual konsumen Rp5 ribu dan Rp10 ribu per bungkus, penjualannya meningkat hingga 50 kg/hari. Lalu, ia mengembangkan keripik agar bisa dinikmati masyarakat luas, dengan memproduksi kemasan untuk warung dengan harga konsumen Rp500,- dan Rp1.000,- per bungkus.
Dengan ini, total penjualan terus naik dengan rata-rata per hari laku 150 kg. Lantas, dia menambah pekerja hingga 12 orang untuk proses produksi hingga pemasaran, dengan jumlah penyebaran ke outlet mencapai lebih dari 1.200-an.
April 2012, Joko menahbiskan nama usahanya Amanah Cemilan Indonesia. Sementara, untuk Keripik Singkong eceran Rp500,- diberi merek Keripik Balado, eceran Rp1.000,- (Super 5), serta eceran Rp10 ribu dan Rp20 ribu (Keripik Pedas Dua Cabe). Sedangkan Keripik Pisang yang diberi merek Cripies, dibanderol dengan varian harga Rp1.000,-, Rp10 ribu, dan Rp20 ribu.
Sejatinya, dengan meningkatnya penjualan ini, Joko bisa tenang. Faktanya, hambatan belum mau pergi. Karyawannya mulai menuntut gaji minimal UMR (Upah Minimum Regional) senilai Rp1,8 juta.
Joko tidak bisa memenuhi. Karena, perhitungan omset belum bisa menutupi tuntutan karyawan. Ditambah lagi, ada kenaikan BBM (Bahan Bakar Minyak) pada tahun 2013 yang berimbas pada naiknya bahan baku. Sehingga, menurunkan margin keuntungan.
“Pada Oktober 2013, saya memutuskan mengurangi produksi produk yang margin keuntungannya kecil yaitu eceran Rp500,- dan Rp1.00,-, serta mengurangi jumlah karyawan hingga tinggal enam orang,” ungkapnya.
Saat ini, penjualan difokuskan pada produk yang harga jualnya Rp6 ribu ke atas, serta dijual ke ritel moderen, koperasi, kantin sekolah, dan toko roti yang tinggal 100-an outlet. Sedangkan 1.200-an outlet yang berupa toko-toko tradisional yang menjual produk eceran Rp500,- dan Rp1.000,-, untuk sementara tidak dikunjungi lagi.
Joko pun lebih menekankan produk primadona konsumen yakni Keripik Pedas Dua Cabe yang warna merah, disusul Keripik Pedas Dua Cabe yang warna hijau. “Tren Cripies keju bakar juga naik, terutama yang rasa cokelat dan original,” ujarnya.
Menurutnya, meski banyak camilan sejenis, ia memastikan standarisasi yang digunakannya dalam proses produksi membantu menjaga kualitas produknya. “Kami berusaha membuat standarisasi di setiap proses. Mulai dari pemilihan bahan baku, produksi, penyimpanan, sampai pengiriman produk ke pelanggan dijaga semaksimal mungkin, mengikuti standar GMP (Good Manufacturing Practice) produk olahan,” bebernya.
Sedari usaha masih kecil, Joko berusaha menerapkan proses produksi standar tinggi. Seperti, minyak goreng yang dipakai tidak mau minyak curah, meski lebih murah.
“Kami memakai minyak bermerek dan berlabel halal. Garam pun kami pakai yang berlabel halal. Bumbu tabur baik pedas, keju, cokelat, dan yang lainnya langsung didatangkan dari produsen yang telah mempunyai sertifikat halal dan GMP/HACCP (Hazard Analysis and Critical Control),” pungkas Joko, yang mempunyai impian Amanah Cemilan Indonesia bisa menambah varian-varian baru dan menembus pasar ekspor.
