Home / Kiat / Tembus Pasar dengan Menyesuaikan Selera Pasar

Tembus Pasar dengan Menyesuaikan Selera Pasar

Roti John

 

Bisa menyantap makanan atau minuman dari luar negeri memang menaikkan gengsi kalangan tertentu di Indonesia. Tapi, jika produk kuliner itu tidak sesuai dengan citarasa Indonesia dan harganya tidak terjangkau, maka akan segera ditinggalkan konsumen. Belajar dari kondisi pasar yang seperti itu, Hafizh pun memunculkan Roti John yang notabene produk Singapura menjadi Roti John ala Indonesia

 

[su_pullquote]Kami menghadirkan kenikmatan Roti John dengan versi yang berbeda dengan aslinya, yang disesuaikan dengan citarasa masyarakat Indonesia[/su_pullquote]

e-preneur.co. Bisnis kuliner, mulai dari makanan berat hingga ringan, memang kagak ade matinye. Begitu, istilah orang Betawi. Ada yang dijajakan di pinggir jalan yang diistilahkan dengan warung tenda, ada juga yang dihidangkan di tempat kongko-kongko yang didesain sebagus mungkin agar pengunjung betah dan nantinya kembali lagi.

Sementara “pemainnya”, tidak kenal usia. Kalau dulu cuma orang tua yang sudah mempunyai pengalaman di bidang bisnis, maka sekarang merambah anak-anak muda. Uniknya, mereka sama-sama suksesnya. Setidaknya, begitulah yang dialami Hafizh Suradiharja.

Hafizh menjadi pelaku usaha sejak duduk di bangku kelas 3 Sekolah Dasar (SD). “Bagi saya, hari tua nanti, waktunya untuk menikmati hasil kerja kita pada waktu muda. Karena itu, sejak kelas 3 SD, saya sudah bertekad untuk menjadi pebisnis,” tegas Hafizh.

Setelah berulang kali mengalami kegagalan, pria berkacamata ini mulai lancar menjalankan pada bisnisnya yang keempat yaitu Roti John. “Dulu, partner saya sering sekali membawa Roti John. Di situ, saya berpikir mengapa tidak mencoba bisnis roti dari Singapura itu,” kisahnya.

Dengan melihat kesuksesan dan kelezatan Roti John, Hafizh dan partnernya mencoba memperkenalkan salah satu makanan cepat saji yang terkenal di Negara Singa Putih tersebut. “Dengan melakukan pengembangan dan variasi, serta dibantu oleh chef yang profesional, kami menghadirkan sisi lain kenikmatan Roti John yang berbeda dengan aslinya dan disesuaikan dengan citarasa masyarakat Indonesia,” ungkapnya.

Dengan modal sekitar Rp25 juta dan menggunakan roti tawar yang dibeli dari pabrik roti, sarjana ekonomi manajemen dari Universitas Islam Jakarta ini memulai usahanya pada tahun 2009. Tapi, sayang, para konsumennya kurang begitu suka dengan roti tawar yang diambil dari pabrik tersebut. Sementara harganya yang sekitar Rp13 ribu itu, ternyata tidak sesuai dengan lingkungan di mana Hafizh membuka outlet.

“Baru buka beberapa bulan, sudah mau bangkrut lagi. Setelah saya survei langsung di pasar, ternyata dengan harga Rp13 ribu, mereka lebih memilih nasi ayam bakar daripada hanya sepotong roti,” ujarnya.

Kelahiran Jakarta, 29 Januari 1988 ini, akhirnya memutar otak agar rotinya sesuai dengan selera masyarakat Indonesia yang selalu mencari harga murah, tapi mengenyangkan. Hafizh memutuskan membuat roti tawar sendiri, sesuai dengan permintaan pasar yang menginginkan roti yang tidak begitu keras, namun juga tidak terlalu lembut.

“Waktu itu, saya membuat roti sendiri dengan membeli mesin dan saya membuatnya di ruang tamu rumah saya. Kalau ada tamu, produksinya berhenti dulu,” tuturnya.

Awal penjualan, Hafizh hanya menjualnya dengan satu menu saja. Tapi, setelah mulai banyak pelanggannya, ia mengembangkan lagi menunya dengan  dibantu seorang chef handal, yang memang mengetahui makanan apa yang sedang tren di hotel berbintang.

“Sebulan sekali, saya dan chef saya hunting makanan apa yang sedang tren. Saya memberi idenya, chef saya yang mengembangkannya. Kami berdua berkolaborasi,” jelasnya.

Kini, setiap bulan, ia mengeluarkan dua menu baru, tapi tidak semuanya dijual di outlet-nya. “Total ada 50 menu. Namun, kami mensurvei menu mana yang paling laku dan kurang laku. Yang kurang laku, tidak saya keluarkan lagi,” ucapnya.

Anak pertama dari dua bersaudara ini, memberi nama produknya Roti John. Menurutnya, nama John lebih menjual. Ia juga membuat slogan untuk produknya: keep fresh and health. Selain itu, memberi warna pada produknya dengan warna kuning dan hijau, yang menurutnya, warna yang pas untuk mewakili slogan tersebut.

“Kalau memakai nama saya, kayaknya kurang menjual sekali. Kalau John, orang pasti berpikir itu nama chef terkenal,” kata Hafizh, yang pada awal penjualan hanya dibantu seorang karyawan. Tapi, sekarang, sudah mempunyai sembilan pegawai dan tiga outlet.

Mahasiswa S-2 Magister Management ini juga membuat perusahaan dengan nama Bali fresh, dengan tujuan agar usahanya kuat dan bisa dipatenkan. “Saya membuat CV Bali Fresh sebelum Roti John berdiri. Nama Bali Fresh saya ambil dari nama usaha es saya yang dulu pernah saya jalankan dan akhirnya gagal,” tambahnya.

Setelah dua tahun usahanya berjalan dengan lancar, Hafizh pun menawarkan franchise dengan target kalangan menengah ke atas. “Kalau para franchisee membeli dengan harga yang mahal, pasti mereka konsen sekali menjalankan usaha mereka,” jelasnya.

Sekarang, ia sudah memiliki 50 outlet franchisee yang tersebar di Jakarta, Bogor, Bandung, Solo, Wonogiri, Banjarmasin, Riau, dan Sorong. Tapi, meski Roti John dijual dengan harga Rp8 ribu–Rp13 ribu, setiap outlet di luar Jakarta boleh menjualnya dengan harga yang berbeda-beda. Tergantung, target pasar dan ongkos pengiriman.

“Saya memberi harga perusahaan. Namun, kalau mereka mau menjualnya lebih dari itu dengan alasan biaya dan target pemasaran, itu tidak masalah,” pungkas Hafizh, yang mengaku jika hasil penjualan outlet-outlet franchisee tersebut bagus.

 

Check Also

“Naik Kelas” dengan Mengganti Gerobak Dorong dengan Outlet Permanen Berkonsep Restoran

Bakmi Gila Usaha kakilima banyak diminati para pelaku usaha. Selain itu, konsep PKL mempunyai potensi …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *