e-preneur.co epreneurship online magazine
Related Articles
Tempe Zaeni
Pembuatan tempe memang hanya usaha dengan modal kecil dan bahan baku gampang. Tapi, tidak berarti cuma merasa sudah mampu membangun bisnis tempe, melainkan juga harus menyiapkan mental dan modal. Tidak hanya fokus pada produksi, tapi juga menguasai pasar
e-preneur.co. Orang bule makan tempe? Ya, makanan yang menurut sejarah berasal dari Jawa, khususnya Surakarta dan Yogyakarta, ini ternyata tidak hanya dikonsumsi masyarakat Indonesia, tapi juga masyarakat mancanegara.
Karena, lauk pauk yang kaya akan protein nabati serta serat (kalsium, vitamin B, dan zat besi) ini dapat dijadikan sebagai pengganti daging. Sehingga, sangat digemari dan dicari oleh—terutama—kaum vegetarian di seluruh dunia.
Mengetahui hal ini, sebuah perusahaan ekspor impor makanan menggandeng Zaeni, pelaku usaha tempe di kawasan Buaran, Jakarta Timur, untuk mengekspor tempe ke Australia dan Jepang pada tahun 1997. Pengapalan makanan yang terbuat dari kacang kedelai yang difermentasikan itu, dilakukan dua kali dalam setahun. Masing-masing sebanyak 5 ton kedelai atau kira-kira setara dengan 15 ribu bungkus tempe.
“Awalnya, sebuah perusahaan ekspor impor makanan ingin mengeskpor tempe. Lalu, perusahaan tersebut mencari ‘perusahaan’ tempe yang bukan cuma produknya yang memenuhi standarisasi sebuah usaha, melainkan juga tempat usahanya. Kebetulan, seorang kenalan dari Departemen (sekarang: Kementerian, red.) Perindustrian menawarkan kerja sama tersebut ke saya. Peluang itu saya ambil,” tutur Zaeni.
Sebelum tempe diekspor, Zaeni harus melakukan riset secara bertahap untuk memastikan bahwa produk tersebut aman dikonsumsi oleh masyarakat mancanegara. Selama setahun, dia harus melakukan berbagai eksperimen. Sesudah itu, baru dikirimkan ke Australia dan Jepang.
Mula-mula 5 kg/bulan untuk masing-masing negara, kemudian 10 kg/bulan, dan akhirnya 5 ton/negara setiap setengah tahun. “Proses itu terus berlanjut,” lanjutnya.
Apa sih hebatnya tempe Zaeni hingga bisa diekspor? “Saya menggunakan kedelai yang lebih berkualitas dan melalui proses seleksi yang ketat. Hanya kedelai yang berwarna putih bersih yang saya gunakan. Karena itu, tempe saya mampu bertahan selama setahun, sedangkan yang untuk pasar lokal hanya bertahan 2‒3 hari. Selain itu, tentu saja harganya lebih mahal, dua kali lipat daripada yang untuk konsumsi setempat,” ungkapnya.
Pasar untuk tempe selalu ada
Di samping membuat tempe, Zaeni yang membangun usahanya sejak tahun 1978 juga membuat susu kedele sebagai alternatif susu untuk bayi. Ia juga menjalin kerja sama dengan sebuah perusahaan, untuk memproduksi dan mengembangkan kerupuk tempe untuk dipasarkan ke luar negeri.
“Sebenarnya, apa yang saya lakukan itu hanyalah bagian dari percobaan-percobaan untuk membuktikan bahwa tempe bukan cuma bisa dikonsumsi dengan cara yang begitu-begitu thok, melainkan juga dapat dikembangkan sama halnya dengan terigu. Sehingga, orang tidak jenuh makan tempe,” jelasnya.
Zaeni juga optimistis pasar tempe masih terbuka luas. Apalagi, kalau mau terus menekuni dan belajar. Ide-ide baru terus dicoba.
“Saya yakin pasar untuk tempe selalu ada. Karena, sama halnya dengan bisnis-bisnis pada umumnya, dalam bisnis tempe, tidak cukup sekadar mengetahui bagaimana caranya membuat tempe, melainkan juga segala tetek bengek bisnis ‘pertempean’. Seperti, bagaimana caranya membuat konsumen tidak membeli tempe sekali saja dan dalam jumlah sedikit, tapi berkali-kali dan dalam jumlah banyak,” ujarnya.
Selain itu, ia menambahkan, jangan cuma merasa sudah mampu membangun bisnis tempe, melainkan juga harus siap mental dan modal. Bukan hanya fokus pada produksi, tapi juga menguasai pasar. “Sebab, semua itu juga bagian dari pemasaran,” tegasnya.
Di satu sisi, ia melanjutkan, usaha tempe juga sangat menolong mereka yang putus sekolah dan tidak berpeluang menjadi karyawan. Sebab, tempe merupakan bisnis dengan modal kecil dan bahan baku gampang.
Di sisi lain, merajalelanya penyakit-penyakit yang ditimbulkan oleh daging, bisa mendongkrak penjualan tempe hingga 10%. “Jika dalam satu pasar terdapat kira-kira 40 pengusaha tempe dan masing-masing memproduksi 100 kg kedelai/hari, maka total produksi per hari 4 ton kedelai. Dengan adanya kenaikan penjualan 10%, berarti terjadi kenaikan produksi 400 kg kedelai/hari. Sebuah bisnis yang murah meriah, bukan?” paparnya.
Zaeni yang membangun usahanya dengan modal Rp1 juta—dengan dibantu para karyawannya—setiap hari berproduksi. “Tidak ada istilah libur di sini. Karena, orang juga tidak pernah libur makan tempe, bukan?” pungkas Zaeni, yang mengembangkan usaha tempenya di home industry sekaligus rumah tinggalnya seluas 225 m².
Selanjutnya, tempe-tempe itu dibawa ke pasar. Di samping menjual eceran untuk konsumen, tempe itu juga dijual secara grosiran atau memasok ke para tukang sayur yang dianggapnya sebagai agen. Kepada para “agen” itu, ia menjualnya lebih murah sekitar 40%.
Kedepannya, Zaeni berencana mengembangkan pasar tempenya lebih luas lagi. Selain pasar domestik, dia masih mencari peluang pasar mancanegara lainnya, di luar Jepang dan Australia. Ibarat plesetan jargon sebuah media, tempe (memang) enak dimakan dan perlu, menjanjikan omset menggiurkan pula.
