Home / Kiat / Pecel Lele Bukan Lagi Makanan Murah di Pinggir Jalan

Pecel Lele Bukan Lagi Makanan Murah di Pinggir Jalan

Pecel Lele Lela

Selama ini, Pecel Lele identik dengan warung tenda yang berlokasi di pinggir-pinggir jalan. Sementara konsumennya berasal dari kalangan rakyat jelata. Meski begitu, selalu dipenuhi konsumen. Hingga, Rangga pun tertarik untuk juga terjun ke bisnis kuliner ini. Dengan mengusung konsep mengubah citra Pecel Lele, dalam perjalanannya Pecel Lele Lela pun membukukan puluhan cabang

e-preneur.co. Pecel Lele Lela, berbeda dengan warung Pecel Lele pada umumnya yang biasanya berupa warung tenda dan berlokasi di pinggir-pinggir jalan. Pecel Lele Lela menempati bangunan permanen dengan desain outlet yang menarik dan berada di lokasi-lokasi strategis.

Sementara dari menu yang ditawarkan, bukan cuma lele goreng yang dilengkapi dengan sambal dan lalapan. Pecel Lele Lela juga menghidangkan Lele Goreng Tepung, Lele Saus Padang, Lele Fillet Lada Hitam, Lele Fillet Goreng Tepung, dan Lele Fillet Kuah Tom Yam.

“Selain menunya sama, tampilan warungnya pun nyaris seragam. Padahal, sebagai menu masakan asli Indonesia, Pecel Lele sudah begitu merakyat. Dalam arti, bisa dijumpai hampir di seluruh wilayah Nusantara,” ujar Rangga Umara, pemilik Pecel Lele Lela.

Merunut ke belakang. Pria yang ingin mengubah citra Pecel Lele sebagai makanan murah di pinggir jalan ini terjun ke bisnis kuliner berbasis lele pada tahun 2006.

Rangga membuka outlet pertamanya di kawasan Pondok Kelapa, Jakarta Timur. Di samping lele, ia menyediakan menu ayam bakar. Uniknya, ayam bakar ini justru lebih laris ketimbang lele.

Melihat kondisi ini, ia membangun komunitas pecinta lele. Sedangkan untuk memperkuat fokus usahanya, ia membuat logo Pecel Lele Lela dengan menonjolkan gambar lele.

Masalah berikutnya yaitu kesalahan dalam memilih lokasi outlet-nya. Lantaran modal cekak, Rangga memilih tempat dengan biaya sewa murah.

Semakin banyak pengusaha yang menjalankan usaha sejenis, semakin mudah mengedukasi pasar

Ternyata, tempat itu tidak banyak didatangi pengunjung. Imbasnya, tiga bulan usahanya berjalan, omset tidak kunjung naik. Bahkan, ia harus nombok untuk biaya operasional dan gaji karyawan.

Lantas, pria kelahiran 30 Januari 1979 ini mencari lokasi baru yang lebih strategis. “Saya mendapatkan tempat yang strategis, ramai, dan representatif,” tuturnya.

Namun, ternyata, di tempat ini, omset juga tidak langsung membaik. Padahal, ia sudah keluar dari pekerjaannya di sebuah perusahaan properti. Dampaknya, ia terlilit hutang pada rentenir. Meski begitu, ia tetap yakin usaha Pecel Lele masih menjanjikan.

Sementara kata “Lela” yang semula disangka konsumen sebagai nama istri atau anaknya, ternyata merupakan singkatan dari LEbih LAku. “Itu sebuah doa agar usaha yang saya jalankan ini bisa laku,” jelas lulusan Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer (STIMIK), Bandung, ini.

Doa Rangga terkabul. Aneka masakan yang ia sajikan cocok di lidah konsumen. Hingga, salah seorang konsumen tertarik untuk menjalin kerja sama.

“Yang bersangkutan mengatakan jika mempunyai tempat dengan lokasi yang strategis dan berniat membuka usaha Pecel Lele seperti ini. Setelah kami susun bentuk kerja samanya, cabang pertama pun kami buka,” kisahnya.

Pembukaan cabang pertama tersebut, membuatnya kian bersemangat mengembangkan usaha Pecel Lele Lela. Imbasnya, jumlah cabang Pecel Lele Lela terus bertambah. Apalagi, setelah Rangga secara resmi menawarkan konsep franchise pada tahun 2009.

“Dengan melihat hasil tersebut, mudah-mudahan keinginan saya untuk mengangkat citra masakan lele bisa tercapai. Saya tidak kuatir dengan semakin banyak pengusaha yang menjalankan usaha sejenis. Sebab, semakin banyak, maka akan semakin mudah mengedukasi pasar,” pungkasnya.

Check Also

“Naik Kelas” dengan Mengganti Gerobak Dorong dengan Outlet Permanen Berkonsep Restoran

Bakmi Gila Usaha kakilima banyak diminati para pelaku usaha. Selain itu, konsep PKL mempunyai potensi …