e-preneur.co epreneurship online magazine
Related Articles
Tony Wijaya
(Pemilik My Salon dan T-Salon)
Mungkinkah membangun bisnis dengan modal cekak? Sangat mungkin! Hal itu, setidaknya telah dibuktikan oleh Tony Wijaya. Meski, untuk itu, ia harus mengorbankan masa muda dan juga pendidikannya, serta terpuruk hingga titik nadir. Namun, kemudian, ia bukan cuma bangun, melainkan bangkit dengan prinsip “dalam berbisnis harus bersungguh-sungguh dan segera take action”. Imbasnya, ia menjadi hairdresser, pebisnis salon, motivator, dan juga beauty consultant dalam usia terbilang masih sangat muda
e-preneur.co. Dahlan Iskan pernah mengatakan bahwa bisnis itu bukan ilmu, yang akan menempatkan pelakunya langsung ke level kesuksesan. Dalam arti, ada tahapan kegagalan sebagai investasi yang harus dibayar terlebih dulu.
Seperti langkah kecil Tony Wijaya—dalam melewati segala rintangan yang menjadi penghambat keinginannya berbisnis—yang menjadi rangkaian cerita yang kemudian membuatnya semakin dewasa dalam bertindak. Saat masih duduk di bangku SMA (Sekolah Menengah Atas), ia memilih mundur dan masuk ke dalam dunia kerja.
“Awalnya, aku sering duduk di depan sebuah salon yang berada di sebuah mal di Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat. Melihat para hair stylist sedang menata rambut konsumen,” kisah hairdresser, pebisnis salon, motivator, dan juga beauty consultant ini.
Mungkin, karena terlalu sering “mengintip” mereka, ia disuruh masuk oleh hair stylist salon tersebut. “Antara takut dan ragu, aku masuk. Eh, waktu di dalam, aku malah diajari cara blow dan cutting oleh hair stylist tersebut,” lanjutnya.
Saat itu juga, Tony memantapkan diri melangkah ke bisnis kecantikan. Sebuah bisnis yang juga membesarkan nama Mamanya. Selanjutnya, selain belajar secara otodidak, ia memutuskan untuk belajar di Sekolah Kecantikan Johnny Danuarta pada tahun 2002.
“Waktu itu, aku mengambil kelas basic, lalu aku kembangin sendiri skill tata rambut. Aku yakin, aku punya talenta. Buktinya, dengan sedikit ilmu, aku bisa mengembangkan sendiri ilmu tersebut,” tutur Tony, yang memilih kelas basic lantaran paling murah biayanya atau sebanding dengan dananya yang sangat minim.
Sebaik apa pun skill kita, tapi bila komunikasi dan koneksi buruk, kita bisa terpuruk
Meski sudah belajar di sekolah kecantikan, tidak membuat semangat Tony belajar menjadi hair stylist surut. Menurutnya, praktik langsung merupakan ilmu berharga jika dibanding teori di kelas.
Ia masih sering mencuri kesempatan untuk belajar di salon, yang kebetulan berada di samping sekolah kecantikan itu. Menurutnya, belajar cara cutting di patung, belum bisa membuatnya puas. Ia justru lebih tertarik melihat sambil belajar bagaimana para senior hairdresser itu bekerja.
Mengapa memilih dunia kecantikan sebagai pondasi bisnis? “Semua itu kebetulan dan ternyata talenta yang saya miliki berada di dunia kecantikan,” jelas Tony, yang setelah tamat belajar di Sekolah Kecantikan Johnny Danuarta, lalu belajar dan mencari pengalaman di Wanny Salon sepanjang tahun 2004−2008.
Selanjutnya, membuka salon merupakan langkah paling logis yang mampu diwujudkan Tony saat itu. Berbekal jaringan yang cukup luas, meski modal awalnya terbatas, ia mencari partner untuk bersama-sama membangun salon.
Tahun 2010, Asian Style Salon yang terletak di Pademangan, Jakarta Utara, pun berdiri. “Aku banyak belajar ketika membuka salonku yang pertama ini. Satu hal yang aku pelajari yaitu komunikasi dan jaringan. Karena, sebaik apa pun skill kita, tapi kalau komunikasi dan koneksi buruk, kita bisa terpuruk,” tegas kelahiran 29 November 1986 ini.
Dalam perjalanannya, konflik antara Tony dengan sang partner mengenai visi perusahaan, membuatnya mengalah dan memilih hengkang. Lantas, ia hijrah ke Malaysia dan melanjutkan studi kecantikan di Hair & Business Salon Limkokwing, pada tahun 2011.
“Saat di Malaysia, aku terpuruk, benar-benar jatuh. Tapi tidak butuh waktu lama, aku menemukan kembali semangatku dan juga teman bisnis yang akhirnya menjadi partner dalam membuka salon di sana. Beliau memberiku kesempatan membuka salon dengan nama My Salon,” ujarnya.
Dari jatuh bangunnya membangun bisnis, Tony yang kemudian juga membuka salon baru yang dinamai T-Salon memetik banyak pelajaran yaitu bahwa dalam berbisnis, kita harus bersungguh-sungguh dan harus ada aksi. Salah satu aksi kecil yang bisa dilakukan yakni keluar rumah, mencari teman untuk sharing dan berdiskusi, dan sebagainya. Tapi, setelah itu jangan berhenti, harus ada follow up nya.
“Saat membuka bisnis di Malaysia, ada satu pelajaran lagi yang kudapat yaitu kita tidak boleh serakah. Dalam arti, jangan mengambil untung terlalu banyak dan jadilah pribadi yang low profile,” pungkas pria, yang pernah menjadi Top 5 ajang International Hairdresser Award yang diadakan di Malaysia pada tahun 2011 ini.
