Home / Liputan Utama / Tempat Tidur pun Menjadi Arena Mencari Solusi Bisnis

Tempat Tidur pun Menjadi Arena Mencari Solusi Bisnis

Yudiono & Siti Aisah Farida

(CV Hanimo)

Ber-partner dalam bisnis dengan pasangan hidup lebih menyenangkan ketimbang dengan orang lain. Itu yang dirasakan oleh Yudi dan Ida dalam menjalankan CV Hanimo. Sebab, selain beban lebih ringan, juga bisa menjadikan tempat tidur sebagai ajang bisik-bisik untuk menyelesaikan masalah

[su_pullquote align=”right”]Tidak ada pemisahan status baik sebagai partner bisnis maupun pasangan suami istri. Termasuk, masalah keuangan dan pengelolaan bisnis[/su_pullquote]

e-preneur.co. Hanimo, perusahaan yang bergerak di bidang alat peraga dan perlengkapan sekolah anak-anak TK (Taman Kanak-kanak), sebenarnya merupakan perpanjangan tangan dari CV Mataram Indah yang berlokasi di Yogyakarta. Karena satu dan lain sebab, ketika bisnis keluarga yang dirintis oleh orangtua Siti Aisah Farida ini dikembangkan di Jakarta pada tahun 1995, perusahaan ini tidak boleh menggunakan nama yang sama. Sehingga, berubahlah namanya menjadi CV Hanimo.

hanimo-4“Saya membuka showroom (sekaligus tempat tinggal, red.) di Ciputat. Daripada mempekerjakan orang lain, saya meminta suami untuk memanajeri bisnis ini, dengan dibantu oleh adik dan dua keponakan saya. Untuk lebih serius, suami saya yang sales mobil memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya pada tahun 1998,” kisah Ida, sapaan akrab wanita berkerudung ini.

Ketika bisnis berkembang dan jumlah karyawan meningkat dari dua menjadi 50 orang, Ida yang waktu itu bekerja sebagai dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Terbuka di kawasan Pondok Cabe, memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan bergabung dengan suaminya.

Dalam bisnis ini, meski Ida merupakan pencetus ide dan pembangun bisnis, tidak pernah terlintas sebersit pun dalam benaknya untuk menempatkan dirinya sebagai pimpinan perusahaan. “Saya pikir, setiap orang memiliki kelemahan dan kelebihan. Saya melihat Bapak (demikian Ida memanggil sang suami, red.) lebih baik pada pendekatan personal dan pemasaran. Sedangkan saya, lebih pada penyedia barang dan pembuat konsep,” kata perempuan, yang pada awalnya lebih banyak berada “di belakang layar”, dengan pertimbangan saat itu anak-anak masih kecil dan membutuhkan perhatian lebih.

“Saya juga tidak mempermasalahkan siapa pimpinan dan siapa bawahan di bisnis ini. Karena dia yang mempunyai ‘ilmu’, jadi nggak masalah kalau saya yang menjalankan konsepnya,” Yudiono, sang suami, menambahkan.

Ida tidak pernah pula memaksakan agar konsep atau idenya harus selalu diterima. Dia akan sounding ke semua anggota keluarga. “Jika mereka juga memiliki konsep, kami akan menjalankan konsep itu bersama-sama, untuk melihat konsep siapa yang lebih layak dipakai,” ucap Ida.

“Pokoknya, musyawarah untuk mencari mufakat,” imbuh Yudi, panggilan akrab Bapak dua anak ini. Bukan cuma itu, dalam setiap langkah yang akan diambil, mereka juga selalu “tawar-menawar”.

Tahun 2000, CV Hanimo mengalami perkembangan pesat. Kondisi ini, “memaksa” Ida muncul ke permukaan. “Sebab, perusahaan harus ada yang mengurusi kalau Bapak sedang melakukan tugas keluar,” ucap Ida.

Namun, tidak berarti kemudian terjadi pembagian tugas di mana Ida mengurusi tetek bengek di dalam perusahaan, sedangkan Yudi mengurusi urusan di luar perusahaan. “Dalam kondisi tertentu, misalnya ketika ada pertemuan dengan para pengurus IWAPI (Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia) atau para pejabat deperindag (sekarang, kementerian perindustrian dan perdagangan) di mana seharusnya Bapak yang keluar tapi karena satu dan lain hal Bapak berhalangan, ya saya yang mewakili. Pokoknya, siapa saja yang lagi senggang ya itu yang jalan. Nggak kakulah,” lanjutnya.

Ketiadaan pemisahan juga terjadi dalam status mereka baik sebagai partner bisnis maupun pasangan suami istri (pasutri). Termasuk, masalah keuangan dan pengelolaannya. Tapi, laiknya pasutri, mereka tidak dapat menghindari munculnya konflik atau sekadar gesekan.

“Ketika terjadi konflik, kami tidak membawanya ke dalam urusan bisnis. Kami selesaikan masalah malam itu juga. Bila harus pakai acara menangis, ya menangis saja sampai puas malam itu juga. Sehingga, pagi sebelum bertemu dengan para karyawan, semuanya sudah clear,” katanya.

Bila masalah yang dihadapi semakin rumit, mereka mendiskusikannya dengan anak-anak dan para keponakan yang kebetulan tinggal dengan mereka. “Kami meminta masukan dari mereka dan bersama-sama kami mencari kata sepakat. Ketika kata sepakat sudah diambil, tidak boleh lagi ada yang ngegrundel di belakang. Kalau memang harus meminta dan memberi maaf, kami akan melakukannya. Sesudahnya, segalanya selesai begitu saja,” tegasnya.

hanimo-3Di sisi lain, Yudi menambahkan, mereka juga berusaha keras menghindari adanya gesekan. Karena, imbasnya akan merembet ke bisnis. “Misalnya, sehabis bertengkar saya ngambek, risikonya pasti ke karyawan. Jadi kalau mau marahan, kami segera ingat nasib para karyawan kami. Ibaratnya, kami ini kan momong orang banyak. Kalau kami ngotot-ngototan, momongan kami pasti terbengkalai. Apalagi, secara tidak langsung merekalah yang selama ini makin mendekatkan dan menghindarkan kami dari berbagai gesekan,” ucapnya, bijak.

Situasi ini pulalah, yang menyadarkan mereka bahwa berbisnis dengan pasangan hidup, lebih menyenangkan daripada dengan orang lain. Sebab, sebagai pengelola sekaligus tenaga pemasaran dalam bisnis yang berlokasi di (mengutip istilah Yudi) “liang semut” ini, Yudi merasa bebannya lebih ringan kala meninggalkan toko. “Kan toko ada yang mengurusi sekaligus mengawasi kerja karyawan,” katanya, sambil melirik mesra sang istri.

Di sisi lain, ketika mereka harus membicarakan masalah yang dianggap berat, mereka beranggapan tempat tidur merupakan ajang bisik-bisik untuk mencari solusi yang paling jitu. “Biasanya, cara ini lebih mengena. Dan, tentunya, itu hanya bisa dilakukan bila kami suami istri,” tambah Ida, dengan senyum dikulum.

Tahun 2003, bisnis yang modalnya meminjam dari saudara ini dipindahkan ke kawasan Sawangan, Depok. Dan, sama halnya di Ciputat, setiap ruangan di rumah ini pun dipenuhi aneka barang dagangan. “Boleh dikata, hanya kamar mandi yang bebas dari barang dagangan,” ujar Ida.

Untungnya, anak-anak mereka―yang dilibatkan dalam bisnis ini sebagai bendahara dan sekretaris―tidak pernah mengeluh. “Kan sejak lahir mereka sudah akrab dengan barang-barang dagangan ini. Sehingga, mereka tidak pernah tahu bagaimana sih seharusnya sebuah rumah. Walau, pernah sekali mereka membandingkan kondisi rumah mereka dengan rumah teman-teman mereka yang ‘normal’,” pungkas mereka, hampir bersamaan.

Check Also

Harus Pandai Membaca Karakter Orang

Fairuz (Redline Bags)   Membangun bisnis di dalam bisnis dan satu sama lain berhubungan itu …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *