Home / Senggang / Jalan-Jalan / Meneruskan Tradisi Masa Lalu

Meneruskan Tradisi Masa Lalu

Grebeg Sudiro

Semula hanya sebuah acara di sebuah kampung. Namun, karena dinilai unik dan mampu menyedot wisatawan, Pemerintah Kota Solo pun menjadikan acara yang pernah diadakan pada masa pemerintahan Kanjeng Susuhunan Pakubuwono X ini sebagai agenda tahunan pariwisata kota ini. Itulah, Grebeg Sudiro

e-preneur.co. Grebeg Sudiro berasal dari dua kata yaitu grebeg yang berarti perkumpulan dan Sudiro yang mengacu pada tempat diadakannya acara itu untuk pertama kalinya yaitu Kampung Sudiroprajan (baca: Sudiroprajan, red.). Sementara perintis Grebeg Sudiro, menurut Neliti.com, yakni Oei Bengki, Sarjono Lelono Putro, dan Kamajaya.

Pada tahun 2007 itu, ketiga warga Sudiroprajan tersebut berkumpul di Pasar Gede (artikel tentang Pasar Gede dapat dilihat di edisi sebelumnya, red.) dan secara tidak sengaja memunculkan ide untuk membuat Grebeg Sudiro. Tujuannya yaitu cuma mengangkat nama Sudiroprajan agar dikenal masyarakat luas.

Sekadar informasi, berbeda dengan kampung-kampung lain di Solo, Sudiroprajan pada masa pemerintahan Kanjeng Susuhunan Pakubuwono X (1893‒1939) merupakan kampung yang dihuni oleh masyarakat dari etnis Tionghoa dan Jawa. Mereka hidup rukun dan membaur.

Usulan mereka memperoleh persetujuan Kepala Desa Sudiroprajan. Selain itu, para tokoh masyarakat dan budayawan juga mendukung. Sehingga, setiap kali “tradisi” ini diselenggarakan selalu berjalan lancar.

Sekadar informasi, sebelum tahun 2007, perayaan serupa sebenarnya pernah diadakan yakni pada masa pemerintahan Kanjeng Susuhunan Pakubuwono X. Waktu itu, dikenal dengan istilah Buk Teko dan diselenggarakan tujuh hari sebelum imlek.

Menurut Sarjono Lelono Putro, Buk Teko di sini mengacu pada kata buk yakni tempat duduk yang terbuat dari semen yang biasanya terletak di tepi jembatan atau depan rumah. Sedangkan teko adalah tempat minuman.

Istilah Buk Teko muncul berawal dari kisah tutup teko milik Raja Surakarta tersebut, yang jatuh di sekitar jembatan Sudiroprajan. Ketika dicari, teko itu tidak pernah ditemukan. Dalam perjalanannya, jembatan yang berada di timur Kampung Sudiroprajan itu dinamakan Buk Teko.

Selain memperkenalkan harmonisasi budaya Tionghoa dan Jawa, juga mampu menarik wisatawan

Kirab Grebeg Sudiro pertama kali dilaksanakan pada tahun 2008 dengan warga Sudiroprajan dari etnis Jawa sebagai pesertanya. Setahun kemudian, warga Sudiroprajan dari etnis Tionghoa bergabung dalam kirab tersebut. Tahun 2010, Pemerintah Kota Solo menetapkan Grebeg Sudiro sebagai acara tahunan dengan Pasar Gede sebagai pusat acara. Lantaran, beranggapan Grebeg Sudiro memperkenalkan budaya yang unik antara etnis Tionghoa dengan Jawa.

Selain itu, ternyata, kehadiran “tradisi” ini mampu menarik wisatawan untuk mengunjungi Sudiroprajan, khususnya, yang sebagian besar warganya berprofesi sebagai entrepreneur yang inovatif dan kreatif.

Kirab Grebeg Sudiro dimulai dari ritual sedekah bumi berupa arak-arakan menyusuri kampung-kampung di Solo, dengan iringan musik dan tarian tradisional. Lalu, acara yang berlangsung pada malam hari itu diakhiri dengan doa dan makan bersama.

Pada hari berikutnya, puncak acara pun digelar dengan kirab budaya kesenian tradisional yang mengiringi arak-arakan gunungan kue keranjang. “Tradisi” ini pun diakhiri dengan rebutan kue khas dalam setiap perayaan imlek itu oleh mereka yang menyangsikan Grebeg Sudiro. Sebab, kue ini dipercaya membawa keberkahan.

Tahun ini, Grebeg Sudiro digelar lagi setelah sempat terhenti karena pandemi Covid-19. Masyarakat dari berbagai daerah, termasuk e-preneur.co, antusias melihat acara yang dilaksanakan di Pasar Gede itu (dari berbagai sumber).

Check Also

Ketika Para Perantau Kangen dengan Kampung Halamannya

Bubur Samin Bubur Samin bukanlah makanan tradisional Solo, tapi menjadi menu takjil yang ikonik di …