Home / Kiat / Memberdayakan Sampah yang Sangat Sulit Dihancurkan

Memberdayakan Sampah yang Sangat Sulit Dihancurkan

Limbah Plastik Multilayer

 

Menembus pasar luar negeri, tidak harus selalu menggunakan bahan baku yang ramah lingkungan. Hal itu sudah dibuktikan Aswin Aditya, dengan mengekspor produknya yang berbahan baku merusak lingkungan yakni limbah plastik mulitilayer

 

Hasil karya ini diterima dengan baik oleh masyarakat Amerika, Australia, Belanda, Inggris, dan Singapura, serta negara-negara Nordik

 

e-preneur.co. Ibarat makan buah simalakama. Begitulah, kondisi sampah plastik multilayer.

Sebab, jika dibuang, dibutuhkan waktu ratusan, ribuan, atau bahkan jutaan tahun untuk membuatnya hancur dan menyatu dengan tanah. Tapi, bila dipungut dan dikumpulkan oleh para pemulung, sampah-sampah ini ditolak oleh para pengepul. Karena, tidak memiliki nilai jual.

Namun, seperti kata orang bijak bahwa tidak pernah ada masalah, tanpa jalan keluar. Demikian pula, dengan sampah multilayer.

Karena, di tangan-tangan trampil dan pemilik ide cemerlang—salah satunya Aswin Aditya—limbah bekas kemasan cairan pembersih rumah, peralatan rumah tangga, baju, dan lain-lain ini dapat berubah menjadi produk-produk yang tidak kalah bergunanya.

Plastik multilayer adalah plastik yang terdiri dari beberapa lapisan plastik lain, yang fungsinya untuk membentuk warna-warni pada kemasan plastik ini. Sampah semacam ini, sangat sulit dihancurkan.

“Karena itu, lebih baik saya berdayakan menjadi barang-barang yang memiliki nilai ekonomi yang sangat bagus,” kata Aswin Aditya, pengrajin reusing sampah plastik multilayer.

Aswin memulai usaha ini pada tahun 2006. Ia memperoleh bahan bakunya dari para pemulung, yang mengumpulkannya dari tempat pembuangan sampah akhir di Tangerang dan sekitarnya.

“Saat itu, mereka menjualnya dengan harga Rp500,- per kilogram. Tapi, saya justru membelinya dengan harga Rp4.000,- per kilogram. Harapan saya, dengan awal yang baik akan menghasilkan kelanjutan yang baik pula. Dalam arti, dengan harga yang saya berikan, mereka merasa senang dan lebih bersemangat mengumpulkannya. Sedangkan saya menjadi lebih mudah menjalankan usaha ini,” ungkap sarjana tenik industri dari Institut Teknologi Indonesia, Serpong, Tangerang, ini.

Sampah-sampah ini, ia melanjutkan, ditolak oleh para pemilik lapak/pengepul. Karena, tidak memiliki nilai jual. “Dengan demikian, tidak terjadi ‘konflik’ antara saya dengan para pengepul itu. Selain itu, secara tidak langsung, saya menciptakan pendapatan tambahan bagi para pemulung saya,” kata pria, yang dalam bisnis ini berhubungan dengan 30−40 pemulung.

Masing-masing pemulung, secara bergelombang, menyerahkan sampah plastik ini kepadanya minimal sebanyak 10 kg. “Total, saya menerima sekitar 400 kg sampah per minggu atau 1,6 ton/bulan,” imbuhnya.

Pada awalnya, ia menambahkan, tidak ada kriteria khusus untuk setiap sampah plastik multilayer yang mereka serahkan. “Tapi, itu hanya terjadi pada bulan pertama. Dalam perkembangannya, saya memberi pembelajaran kepada mereka tentang mana yang boleh diambil dan mana yang tidak boleh,” jelas kelahiran Jakarta ini.

Contoh, ia menambahkan, untuk kemasan yang sudah terpotong atau bolong-bolong dan bekas bungkus mi, sebaiknya tidak diambil. Begitu juga dengan bekas kemasan minyak. Karena, untuk membersihkannya dibutuhkan cairan kimia khusus, yang dapat menimbulkan alergi.

Selanjutnya, sampah-sampah itu diolahnya menjadi 30 item produk, di antaranya sandal, aneka tas, aneka dompet, tempat sampah, payung, celemek, agenda, dan tirai mandi. Dalam kondisi normal, dari home industry-nya yang terletak di Karang Tengah, Cileduk, Tangerang, dapat dihasilkan 500−2.000 pieces multiple item setiap bulannya di mana 90% nya langsung diserap pasar dan menghasilkan omset lebih dari AS$10.000.

“Usaha ini, saya bangun dengan modal awal Rp80 juta. Karena, dalam tiga bulan pertama, saya hanya bisa membuat dummy, membayar upah karyawan, dan overhead. Tapi, pada bulan keempat, saya memperoleh pesanan dalam jumlah besar. Sehingga, modal itu pun cuma terpakai setengahnya dan langsung BEP (Break Even Point). Untuk pemula, dengan modal awal Rp1 juta pun mereka sudah dapat memulai usaha seperti ini. Sebab, mereka tidak perlu membuat dummy,” ujar mantan karyawan sebuah perusahaan swasta asing ini.

Sayang, hasil karyanya belum terlalu diminati pasar dalam negeri. Alasannya, pertama, bagaimana pun produk ini berasal dari sampah. Kedua, harganya mahal alias harga ekspor.

“Saya kurang setuju dengan alasan-alasan itu. Sebab, untuk produknya, bukan masalah bagi kalangan pecinta lingkungan hidup. Dalam perkembangannya, mereka yang berada di luar kalangan itu, juga mulai memakai produk-produk saya. Meski, masih sebatas ikut tren atau biar dikira pecinta lingkungan. Sedangkan untuk harganya, harga ekspor 10%−30% lebih mahal daripada harga yang telah disebutkan di atas. Karena, ada ongkos kirim,” jelasnya.

Sebaliknya dengan masyarakat mancanegara, yang notabene sudah sejak dulu concern dengan hal-hal yang berkaitan dengan isu penyelamatan bumi. “Produk saya diterima masyarakat Amerika, yang secara rutin memesan. Sedangkan Australia, Belanda, Inggris, dan Singapura, serta negara-negara Nordik hanya memesan secara seasonal,” ujar Aswin, yang lebih fokus ke pasar ekspor. Sedangkan untuk pasar domestik, ia lebih mengandalkan pemasaran dari mulut ke mulut.

Seperti diketahui bahwa mereka yang bermain di bisnis ini sudah cukup banyak. Persaingan, peniruan, dan pengakuan atas suatu produk tidak dapat dihindari.

“Bagi saya, silahkan saja kalau ada yang mau membuat produk yang sama dengan produk-produk saya. Karena, bahan baku produk-produk ini berasal dari sampah dan sampah itu milik semua orang. Di samping itu, produk saya juga tidak bisa dipatenkan. Karena, hak patennya milik produsen kemasan-kemasan ini,” katanya.

Namun, ia menambahkan, dibandingkan dengan karya produsen lain, produknya memiliki beberapa ciri khas. Misalnya, tersusun dari potongan-potongan kecil yang rapi. Sehingga, mirip dengan seni patchwork.

Selain itu, juga terlihat dari desain, bentuk, pemakaian benang jahit khusus, dan sifatnya yang knockdown, serta after sales service-nya. “Ketika barang-barang ini mengalami kerusakan, seperti sobek, tergores, atau copot jahitannya, bawa saja ke sini. Nanti kami perbaiki,” ucapnya.

Khusus untuk tasnya, ia melanjutkan, mampu menahan beban mencapai 20 kg. Asalkan, dibawa dalam kondisi normal atau tidak sambil berlari-lari.

Pada bagian dalam tas, dilapisi dengan kain batik. Karena, pasar Amerika menyukainya. Apalagi, saat berbelanja mereka tidak pernah membeli barang yang bersifat basah. Selain batik, sebagian dari produk ini juga dilapisi kain yang diistilahkan lining atau kain antiair.

Prospeknya? “Bagus! Sebab, modalnya tidak besar, tapi mampu menghasilkan pendapatan yang sangat besar. Di samping itu, bahan baku dan pasarnya selalu ada. Tapi, agar bisnis ini nantinya berjalan mulus, sebelum memulainya, sebaiknya melakukan survai pasar. Sehingga, dapat diketahui ke mana barang ini nantinya akan ‘dilempar’,” pungkas Aswin, yang dalam berproduksi tidak menjalin kerja sama dengan corporate mana pun.

Ke depan, ia berencana menjadikan sisa-sisa potongan plastik multilayer-nya sebagai bantalan sofa. Di samping itu, juga mengembangkan diri dengan menularkan ilmunya kepada siapa pun yang membutuhkan.

Check Also

“Naik Kelas” dengan Mengganti Gerobak Dorong dengan Outlet Permanen Berkonsep Restoran

Bakmi Gila Usaha kakilima banyak diminati para pelaku usaha. Selain itu, konsep PKL mempunyai potensi …