Home / Kiat / Mengubah Mindset agar Bisnis tidak Jalan di Tempat

Mengubah Mindset agar Bisnis tidak Jalan di Tempat

Yogi Tas Promosi

 

Menjadi penjual tas tidak semudah menjadi pembuat tas. Itulah, yang dialami Yogi. Ia harus jatuh bangun dulu untuk bisa mendapat pasar bagi tas-tas buatannya. Itu pun, masih tersendat-sendat. Hingga, akhirnya, ia bergabung dengan sebuah komunitas bisnis yang mengajarinya bagaimana seharusnya berbisnis. Salah satunya, harus mengubah mindset

 

e-preneur.co. Lain menjadi marketer, lain pula menjadi produsen. Yogi Alwan Fauzi tidak dilahirkan dari keluarga kaya. Bapaknya bekerja sebagai pengrajin tas. Untuk bisa mendapatkan uang saku lebih, ia harus mau ikut menjualkan tas-tas buatan Bapaknya alias menjadi marketer.

“Saya menjual tas-tas itu ke teman-teman,” kisah Yogi, yang saat itu masih berstatus mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB).

Ketika ia sedang berada di tahap penggarapan skripsi, pikirannya bercabang antara ingin menjadi karyawan kantor atau menjadi pebisnis kalau nanti sudah diwisuda. Akhirnya, ia memutuskan untuk berbisnis. Sementara modalnya, menggunakan biaya untuk membuat skripsi.

Usaha yang dibangunnya tahun 2006 itu, diberinya nama Yogi Tas Promosi. Sebenarnya, Yogi Tas Promosi merupakan kelanjutan dari usaha yang dibangun Bapaknya.

Namun, ketika membangun usaha sendiri atau menjadi produsen, ternyata usahanya tidak berjalan seperti yang diharapkan, skripsinya pun macet. “Ternyata, saya orang produksi, bukan marketing. Saya mampu membuat tas dalam jumlah banyak, tapi tidak bisa menjualnya,” lanjutnya.

Masalah lain yang menghadang yaitu keberadaan makelar. “Mereka juga membuat usaha saya tersendat-sendat,” tuturnya,

Lantaran ingin untung, mereka yang memang sudah mengetahui berapa biaya produksi untuk membuat tas, lancar saat memberi DP (uang muka), tapi pelunasannya tidak pernah dibayarkan. “Padahal, saya hanya mengambil untung sedikit,” tambahnya, tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang tahun 2006–2008 itu.

Seiring dengan diraihnya gelar sarjana agribisnis dari IPB, Yogi yang selama ini menjual produknya dengan sistem door to door, menemukan konsep penjualan yang lain. Konsep yang dimaksud yaitu ketika sebuah instansi memesan, DP yang masuk ia gunakan untuk belanja bahan baku. Setelah pesanan selesai, pembayaran langsung dilunasi. “Dari situlah, saya melihat adanya peluang,” katanya.

Setelah menemukan kiat itu, Yogi yang dalam bisnis ini “mempekerjakan” Bapaknya, mulai menemukan keberhasilan. Terbukti, ia mendapat pelanggan-pelanggan lain/baru, di samping mempertahankan pelanggan-pelanggan tetap yang dulu.

Meski begitu, karena menjalankan bisnis ini sendirian, sepanjang tahun 2009–2010, ia merasa perkembangan bisnisnya cenderung stagnant. “Akhirnya, saya berpikir bahwa saya harus bergabung dengan suatu komunitas bisnis. Saya harus bertemu dengan teman-teman yang juga berbisnis. Lalu, saya mencari dan masuk ke berbagai komunitas bisnis,” ujar kelahiran 17 November 1981 ini.

Tahun 2011, ia bergabung dengan sebuah komunitas bisnis. Tepatnya, setelah membaca blog komunitas bisnis itu yang menyatakan bahwa dalam berbisnis harus mempunyai komunitas/mentor.

Uang yang diperoleh dari pelunasan harus langsung digunakan untuk mengembangkan usaha

Di komunitas bisnis itu, ia mendapat pelajaran bahwa jika berbisnis, mindset harus berubah. Komunitas bisnis tersebut juga “mewajibkan” uang yang diperoleh dari pelunasan, langsung digunakan untuk mengembangkan usaha.

Selain itu, ia menjadi tahu penyebab usahanya lama berkembang yakni karena marketing-nya tidak agresif. “Sekali pun, dari yang selama ini saya jalankan yaitu konsep dari mulut ke mulut, sudah bisa saya nikmati hasilnya berupa repeat order,” ucapnya.

Yogi, akhirnya, juga menemukan bahwa market Yogi Tas Promosi ada pada instansi pemerintah. Karena, mereka selalu rutin membuat kegiatan.

“Sekarang, saya sudah menemukan siklus bisnis saya. Kami fokus ke berbagai instansi pemerintah dan perusahaan-perusahaan, yang memerlukan tas untuk berkegiatan,” ucap Yogi, yang kebanyakan pelanggannya dari Jakarta.

Sementara untuk jenis tasnya, tergantung pada budget konsumen. Misalnya, budget Rp10 ribu, maka tas yang disediakan berupa goody bag. Kalau budget-nya Rp30 ribu–Rp50 ribu, maka tasnya berupa tas seminar atau tas kantor. Dan, kalau budget-nya Rp65 ribu–Rp150 ribu tersedia tas ransel. Sementara untuk minimum order, goody bag 50 pieces dan ransel 30 pieces.

“Di bawah itu boleh saja, tapi dikenakan charge. Contoh, ingin memesan 20 pieces tas ransel, maka harga per piece-nya di atas harga normal,” jelas Yogi, yang mempunyai sekitar enam item tas yaitu goody bag, laptop case, tas ransel biasa, tas kantor, tas pakaian, dan tas ransel laptop yang dibuat dari berbagai bahan.

Untuk pemesanan harus dilakukan dua minggu sebelumnya. Sementara lamanya proses produksi, tergantung pada model dan kerumitan dalam membuatnya. Rata-rata 10 hari untuk ransel sebanyak 100–200 pieces dan kurang dari seminggu untuk goody bag dengan ketahanan produk lebih dari dua tahun.

“Rutinitas pemesanan dalam satu bulan 30–40 pemesan, untuk jumlah 50–2.000 pieces. Produk-produk ini, langsung diserap pasar karena made by order. Klien yang tercatat lebih dari 100,” ungkap Yogi, yang di workshop-nya dibantu lebih dari 30 orang.

Prospeknya? “Bagus. Selama negara ini tidak bangkrut. Sebab, bila negara ini bangkrut, maka instansi-instansi itu tidak lagi mempunyai biaya untuk mengadakan kegiatan. Di sisi lain, saya harus bisa memperbaiki rantai bisnis, lalu memperbaiki yang lain-lain,” ujarnya.

Sementara untuk target, Yogi ingin bisa membuat target tahunan. Misalnya, usahanya bisa mencapai omset tertentu. Sehingga, ia terpacu. “Saya juga ingin mempunyai produk sendiri. Itu dream saya!” pungkasnya.

Check Also

“Naik Kelas” dengan Mengganti Gerobak Dorong dengan Outlet Permanen Berkonsep Restoran

Bakmi Gila Usaha kakilima banyak diminati para pelaku usaha. Selain itu, konsep PKL mempunyai potensi …