<\/p>\n
<\/a>Manusia tidak pernah tahu ke mana Sang Khalik akan mengarahkan hidupnya. Demikian pula dengan Ani. Tanpa latar belakang dunia medis sama sekali dan hanya dengan tawakal, pada akhirnya ia bisa mendirikan Rumah Sakit Ichsan Medical Center seluas 2 ha. Meski begitu, ia tidak melupakan kodratnya sebagi perempuan, istri, dan Ibu<\/em><\/p>\n <\/p>\n [su_pullquote]Dalam berbisnis, kita juga berurusan dengan Tuhan. Tidak ada Tuhan, tidak ada amanah, maka tidak akan bisa[\/su_pullquote]<\/strong><\/p>\n e-preneur.co.<\/strong> Dimulai dari keinginan ingin lebih melayani Tuhan sebagai nazar jika sang suami, Peters M. Simanjuntak (mantan President Director<\/em> Komet Konsorsium), sembuh dari sakitnya tapi juga tidak mengabaikan pengasuhan terhadap anak-anaknya yang waktu itu masih kecil, Ani Yuliani pun membangun Rumah Sakit bersalin (RSB). Namun, siapa yang menyangka jika RSB ini kemudian berkembang menjadi Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA). Bahkan, Rumah Sakit Umum (RSU) yang diberinya nama Ichsan Medical Center (IMC), dalam waktu terbilang singkat.<\/p>\n Berikut, bagaimana kiat Ibu dari Patrick Saimartua Simanjuntak, Jonathan Ichsan Simanjuntak, dan Kevin Pardomuan Simanjutak ini dalam membangun rumah sakit yang membawahi sekitar 200 karyawan, baik di bidang medis maupun non medis kepada e-preneur.co.<\/strong><\/p>\n Pada awalnya, IMC adalah sebuah RSB yang saya dirikan pada tahun 2003 sebagai nazar kalau suami sembuh dari sakitnya. Akhirnya, memang suami sembuh, dalam arti, kondisinya stabil.<\/p>\n Tapi, saya tidak pernah berangan-angan membangun rumah sakit. Apalagi, RSU seperti saat ini. Karena, saya bukan dokter atau pun perawat. Saya hanya ingin lebih melayani Tuhan, seperti nazar saya.<\/p>\n Namun, entah mengapa, saat itu saya seperti diarahkannNya ke sana. Di sisi lain, suami menyarankan untuk membangun RSB pas di dekat rumah kami ada lahan seluas 5.000 m\u00b2 sedang dijual. \u201cBuatlah kegiatan yang enak-enak saja,\u201d kata suami saya.<\/p>\n Karena, dalam RSB memang hanya dibutuhkan bidan dan dokter. Selain itu, nantinya, saya akan melihat bayi-bayi sehat yang dilahirkan. Tentu, sangat menyenangkan dan membahagiakan.<\/p>\n Akhirnya, lahan yang waktu itu masih berupa kandang ayam pun saya beli dan bangun dengan modal seadanya. Mengingat, suami belum terlalu percaya, lantaran saya bukan dokter. Jadi, tidak masuk akal jika membangun rumah sakit.<\/p>\n Ya. Saya memang alumnus sebuah sekolah sekretaris. Tapi, kreativitas saya selangkah lebih maju ketimbang teman-teman sekretaris saya. Saya selalu mengatakan kepada mereka, \u201cI don\u2019t want only to be as a secretary. I want to be as a manager\u201d<\/em>.<\/p>\n Setelah akhirnya saya menjadi manager<\/em>, \u201cI don\u2019t want only to be as a manager. I want to be as a director\u201d<\/em>. Dan, setelah menjadi direktur, \u201cI don\u2019t want only to be as a director. I want to be as an owner\u201d<\/em>.<\/p>\n Energi saya terus-menerus meningkat. Hal itu, membuat mereka yang notabene<\/em> masih menjadi sekretaris, bingung. Mengapa saya bisa menciptakan suatu produk?<\/p>\n Mungkin ini, pertama, saya bergaul dengan teman-teman pengusaha. Termasuk suami, yang entrepreneur<\/em> sejati. Kedua, saya adalah pribadi yang tidak bisa diam. Sebenarnya, dari awal, saya sudah terlibat dalam bisnis suami yaitu PT Padi Mekatel.<\/p>\n Saya juga tidak mau menerima begitu saja pemberian suami, lalu hidup foya-foya. Saya sering membantu anak-anak kampung supaya bisa bersekolah, membantu orang-orang sekitar yang sedang sakit, hingga akhirnya terbetik keinginan untuk membangun RSB.<\/p>\n Seiring berjalannya waktu, sambil tetap mengurus anak-anak yang waktu itu masih kecil, RSB saya ternyata terus berkembang. Lantas, muncul permintaan akan operasi, sementara rumah sakit bersalin tidak mempunyai fasilitas operasi, hanya melayani kelahiran normal. Sehingga, jika ada yang harus menjalani operasi caesar, maka harus dirujuk ke rumah sakit lain.<\/p>\n Sekitar tahun 2006\u20132007, RSB saya berubah menjadi RSIA. Dengan menjadi RSIA, maka di sana tersedia ruang operasi.<\/p>\n Selanjutnya, muncul lagi permintaan dari masyarakat di mana para pria pun ingin dilayani. Dari sini, saya berpikir lagi, harusnya ada pengembangan. Untuk itu, saya harus mencari lahan lagi.<\/p>\n Kebetulan, ada lahan seluas 1,5 ha di sebelah RSIA saya yang akan dijual. Saya pun berinisiatif mengambilnya, meski harus \u201cberantem\u201d dulu dengan suami. Sebelumnya, saya mengurus perizinan untuk RSU. Selanjutnya, RSIA saya pun berubah menjadi RSU.<\/p>\n Hal ini, membuat suami mulai terkaget-kaget. Suami yang pada mulanya tidak melihat terlalu dalam, pada akhirnya mulai melirik. Eh<\/em> bisa gede juga nih? Kok<\/em> bisa ya? Lalu, seiring berjalannya waktu, suami pun melibatkan diri ke dalamnya.<\/p>\n Pada saat RSIA, jiwa entrepreneur<\/em> saya muncul, selain ditulari suami. Suami meminta saya untuk membuat sesuatu yang lain lagi. Suami menanyakan, kalau usaha ini bangkrut akan membuat apa lagi. Saya meminta tenaga kerja, karena mencari perawat dan bidan itu susah banget<\/em>.<\/p>\n Suami mengusulkan membangun sekolah kebidanan dan keperawatan. Tapi, kami afiliasi dulu. Sebab, saya buta sama sekali dalam bidang ini, termasuk perizinan. Akhirnya, bergaullah saya dengan para dokter, lalu saya jalani bagaimana membuat izin sekolah tinggi ilmu kesehatan (STIKES) dengan program studi D-3 kebidanan dan S-1 keperawatan.<\/p>\n Perizinan ini, saya jalani sampai \u201cbabak belur\u201d. Lantaran, lebih sulit daripada mengurus izin rumah sakit.<\/p>\n Tapi, mungkin ini sudah ada amanah dari Allah. Semua saya lakukan dan semua tepat pada waktunya. Karena, ternyata, STIKES saya menjadi yang termuda yang diizinkan. Sesudah itu, di Indonesia, tidak ada lagi izin membuka sekolah kebidanan.<\/p>\n Sekarang, STIKES saya telah memasuki tahun kesembilan dan setiap tahun meluluskan 100 sarjana kebidanan dan keperawatan. Mereka sudah tersebar ke mana-mana, sebagian di antaranya membuka klinik kebidanan sendiri di kampung-kampung.<\/p>\n <\/p>\n Perjuangannya luar biasa. Saya ceritakan dengan sejujurnya. Pada saat izin RSIA mau keluar, saya sudah give up<\/em>. Bukan karena saya harus menghadapi ketidakmampuan diri saya, melainkan marah kepada para \u201csejawat\u201d yang dalam frame<\/em> saya mempunyai tugas mulia, tapi ternyata kalau sudah mencari nafkah di rumah sakit, mereka lebih kemaruk dari pemilik rumah sakit. Saya tidak menyukai hal ini.<\/p>\n Saya mendirikan IMC Lillahi Ta\u2019ala<\/em>. Di sisi lain, saya mendirikan rumah sakit ini dengan ichsan (dari kata ihsan, red<\/em>.) yang bisa diartikan cantik di luar, cantik di dalam.<\/p>\n Apa yang mereka lakukan memang menjadi duit untuk rumah sakit saya (di samping meningkatkan share<\/em> mereka), tapi saya tidak suka. Akhirnya, saya kembalikan semuanya kepada Allah.<\/p>\n Believe it or not<\/em>, terjadilah seleksi alam. Satu per satu, mereka keluar dari rumah sakit saya. Dalam berbisnis, kita juga berurusan dengan Tuhan. Tidak ada Tuhan, tidak ada amanah, maka tidak akan bisa. Bagaimana saya menghadapi para assessor<\/em> yang notabene<\/em> para profesor ketika saya mengakreditasikan D-3 kebidanan dan S-1 keperawatan. Padahal, saya bukan siapa-siapa. Kalau bukan karena kuasa Tuhan, saya tidak akan bisa. Di sini, ada amanah untuk saya.<\/p>\n <\/p>\n Sangat banyak. Suami mengajarkan membuat hal-hal yang efisien. Umpamanya, bagaimana mengefisiensikan operational cost<\/em>, membuat profit<\/em>, apa itu bisnis, bagaimana bersikap tegas, dan sebagainya.<\/p>\n Tapi, kami berdua berbeda. Perbedaan itu lebih menyangkut misi dan visi.<\/p>\n Kalau kami melakukannya secara profesional saja. Biasanya, suami akan melihat datanya dulu. Jika harus mengeluarkan modal dari holding<\/em>, sarana dan prasarananya memenuhi, akan kembali menjadi profit<\/em> dalam sekian waktu, dan sebagainya suami akan oke. Karena, dalam bisnis itu \u2018kan ada hitung-hitungannya. Kalau suami berpikir ini tidak masuk akal, sebagai yang lebih paham dalam hal ini, beliau akan protes.<\/p>\n Di sisi lain, saya tidak mau ada dualisme di holding<\/em> maupun di bisnis saya. Saya selalu mengatakan bahwa suami sayalah pemiliknya dan saya founder<\/em>-nya IMC. Penempatan jabatan ini lebih kepada kodrat saya sebagai perempuan, yang harus mengalah pada pria. Terutama, jika ia seorang pimpinan sekaligus suami.<\/p>\n Meski, bisa saja saya sombong. Sebab, saya yang banyak bergerak di sini. Sayalah yang diketahui banyak pejabat yang datang ke IMC. Tapi, dalam berbagai momen atau event<\/em>, saya selalu minta suami untuk datang ke rumah sakit dan saya perkenalkan kepada mereka sebagai pemiliknya. Toh tidak ada yang berkurang dari situ. Saya justru dianggap sebagai orang yang menghormati suami. Demikian pula dengan di holding<\/em>.<\/p>\n<\/h5>\n
Apa itu IMC?<\/strong><\/h5>\n
Sepertinya semuanya berjalan dengan mulus ya?<\/strong><\/h5>\n
Sejauh mana peran suami?<\/strong><\/h5>\n
<\/h5>\n
<\/a>Ada suatu pendapat\/keyakinan bahwa jika kita akan membangun bisnis, maka kita harus meminta izin pada pasangan. Kalau pasangan tidak mengizinkan, sebaiknya tidak dilakukan. Karena, kalau tetap dilakukan pasti akan ada sesuatu di belakang hari. Menurut Anda?<\/strong><\/h5>\n