Pasar Gede Hardjonagoro
Berbeda dengan pasar pada umumnya yang hanya difungsikan untuk tempat berjual beli, Pasar Gede yang menyimpan banyak kisah bersejarah ini juga menjadi simbol sosial budaya dan tempat wisata. Kurang afdal, jika berkunjung ke Solo tidak mengunjungi pasar yang memang gede ini
e-preneur.co. Pasar Gede merupakan pasar terbesar di Kota Solo. Tapi, pada masa penjajahan Belanda, pasar ini masih berupa pasar kecil yang berdiri di atas lahan seluas 10.421 m² dan berlokasi di persimpangan jalan kantor gubernur yang sekarang berubah fungsi menjadi Balaikota Solo.
Sar Gede, begitu orang-orang Solo menyebutnya, dirancang oleh Thomas Karsten, seorang arsitek Belanda. Sehingga, tidak mengherankan bila arsitekturnya perpaduan gaya Belanda dengan Jawa.
Sementara pembangunannya berlangsung dari tahun 1927 sampai tahun 1930 dan lantas diberi nama Pasar Gedhe Hardjonagoro. Penamaan Pasar Gede mengacu kepada atapnya yang besar. Dan, dalam perkembangannya, pasar ini memang menjadi pasar paling gede di Solo.
Sedangkan Hardjonagoro mengacu kepada Budayawan Solo, Go Tik Swan, yang diangkat menjadi bangsawan oleh mendiang Ingkang Sinuhun Pakubuwono XII. Raja Kasunanan Surakarta itu menganugerahi sang budayawan dengan gelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Hardjonagoro. Secara kebetulan, kakek dari KRT Hardjonagoro merupakan Kepala Pasar Gede yang pertama.
Tahun 1947, Pasar Gede mengalami kerusakan karena Agresi Militer Belanda. Lalu, pada tahun 1949, setelah berhasil mengambil alih pemerintahan di Surakarta, Pemerintah Republik Indonesia melakukan renovasi. Juga, mengganti atapnya dengan atap dari kayu. Perbaikan atap ini selesai pada tahun 1981.
Pasar Gede juga sempat menjadi “korban” amuk massa pada Peristiwa Mei 1998. Tapi, renovasi dengan mempertahankan arsitektur asli berjalan dengan cepat. Sehingga, pada penghujung tahun 2001, pasar sudah bisa digunakan lagi.
Bisa berbelanja sekaligus berwisata kuliner dan budaya
Selain melewati tiga masa pemerintahan yakni masa kerajaan, masa pasca kolonialisme, dan masa kemerdekaan hingga dimasukkan dalam daftar cagar budaya Indonesia, Pasar Gede juga menjadi simbol sosial budaya. Sebab, tidak jauh dari pasar ini terdapat pemukiman warga Tionghoa dan Kelenteng Tien Kok Sie.
Tidak mengherankan, bila setiap menjelang perayaan Imlek, kawasan Pasar Gede dipenuhi oleh lampion dengan warnanya yang khas. Hal ini, menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang berkunjung ke Solo.
Daya tarik lainnya tentu saja kuliner tradisional khas Solo yang terbilang sangat lengkap, seperti nasi liwet, timlo, gempol pleret, lenjongan, cabuk rambak, dawet, dan sebagainya. Citarasa makanan-makanan itu dijamin enak dan khas. Apa lagi, beberapa pedagangnya mendapatkan resepnya secara turun-temurun (dari berbagai sumber).