Saiful Kantaprawira (Direktur Surapati Core)
Kemampuan berbisnis sejak usia dini bukanlah sebuah bakat. Karena, kemampuan berbisnis adalah sebuah pola pikir yang ditanamkan pemerintah kolonial Belanda. Namun, sudah berbisnis saat masih kecil akan membuat yang bersangkutan lebih jeli dalam menangkap dan mengolah peluang. Itu yang dilakukan Saiful terhadap Gagan, sang putra
e-preneur.co. Dalam berbisnis, seseorang selalu akan mundur teratur bila dihadapkan pada modal. Sehingga, peluang di depan mata pun lewat begitu saja.
Menurut Saiful Kantaprawira, salah seorang pemilik perusahaan properti Panorama Parahyangan, modal utama dalam berbisnis yakni percaya diri. Terutama, bagi mereka yang memulai bisnis di usia remaja.
Selanjutnya, bagaimana caranya menangkap dan mengolah peluang. Berikutnya, mengembangkan relasi.
Hal ini telah dibuktikan Gagan, putra sulungnya. Meski, ia dan sang istri tidak pernah secara sengaja mengajarkan kiat-kiat berbisnis tersebut kepadanya.
Kebetulan, setiap pekan, sekolah remaja berumur 12 tahun ini selalu mengadakan kegiatan berjualan. Dibagi dalam beberapa kelompok, setiap kelompok terdiri dari 10 murid. Dalam pembagian tugas, Gagan selalu memilih bagian marketing.
“Pertama kali berjualan, dia gagal. Karena, dia menjual roti lapis dengan tampilan ala kadarnya. Lalu, Ibunya yang sejak kecil juga sudah gemar ‘berbisnis’ menyarankan untuk berjualan ice lemon tea, yang kebetulan saat itu belum banyak yang menjualnya. Setelah dua pekan berjualan, terjadi perkembangan yang bagus. Setiap anak di kelompoknya meraup omset Rp30 ribu. Padahal, harga lemonnya Rp24 ribu/kg,” tutur Direktur Surapati Core ini.
Teman Gagan yang membantunya berjualan, sempat ragu-ragu. “Dengan diplomatis, saat itu Gagan menjawab jika kita berpikir bahwa jualan kita tidak laku, maka jualan ini tidak akan laku. Tapi, kalau kita yakin bahwa jualan kita akan terjual habis, pasti akan terjual habis,” lanjutnya.
Modal utama dalam berbisnis bagi mereka yang memulai bisnis di usia remaja yakni percaya diri
Akhirnya, mereka pun bersemangat menjual, meski tidak selalu laku. “Tapi, suatu ketika, saat snack time, jualan mereka laris manis hanya dalam waktu setengah jam. Besok-besoknya mereka melakukan hal yang sama dan terjual habis lagi,” kisah Saiful, yang sering mengajak sang putra mendiskusikan suatu usaha dan memintanya memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam usaha tersebut.
Dalam kesempatan lain, Gagan juga suka menukar kartu-kartu mainan yang tidak disukai atau yang tidak dimiliki teman-temannya kepada mereka, sama dengan harga koin untuk mendapatkan satu kartu. “Dia bujuk mereka agar mau membeli kartu-kartu itu hingga mereka terpengaruh dan membelinya. Kartu-kartu itu, tentu saja ia jual dengan harga lebih tinggi daripada harga aslinya. Sehingga, dia mendapat untung. Sikap mempengaruhi itu kan bagian dari marketing,” ucap pria, yang juga mengajarkan sang putra agar mengembalikan setiap modal yang dipinjam, sekali pun dipinjam dari orang tuanya.
Namun, meski bangga dengan kemampuan bisnis anaknya, lelaki yang belajar bisnis sejak umur delapan tahun ini menolak anggapan bahwa kemampuan berbisnis sejak usia dini adalah sebuah bakat. Menurutnya, kemampuan berbisnis adalah sebuah pola pikir yang sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda.
“Sebab, berbisnis saat masih kecil itu motivasinya hanya senang-senang. Apa lagi, mereka masih berada di usia labil dan belum fokus. Tapi, tetap ada sisi menguntungkannya yaitu nantinya lebih menghargai adanya peluang dan setelah ketemu relasi akan muncul kecenderungan untuk mencari apa yang dapat digali dari klien-kliennya,” tandasnya.