Ahyar Ma’as (President Director Mafati Group)
Banyak orang berpikir bahwa jika akan membangun bisnis, maka harus mempersiapkan materi dalam jumlah yang “wah”. Tapi, Ahyar mementalkan pola pikir itu dengan hanya bermodal nekad dan spirit “di mana ada masalah di situ ada peluang dan jalan keluar”. Hasilnya, Mafati Group pun menggurita dengan ratusan karyawan dan omset milyaran rupiah per bulan
e-preneur.co. Menjadi yatim piatu pada umur yang relatif muda, tidak ditinggali warisan, dan diasuh oleh saudara-saudara yang hidup pas-pasan akan membuat seorang anak tumbuh dengan berbagai karakter. Di antaranya, menjadi sangat nakal dan dan susah diatur.
Namun, seiring dengan bertambahnya usia, muncul kesadaran bahwa hidup harus terus berlanjut dan diperjuangkan. Dan, itulah yang terjadi pada Ahyar Ma’as, President Director Mafati Group.
Ahyar pun menyeberang lautan untuk menempuh ilmu hukum di Universitas Widya Mataram, Yogyakarta. Gelar sarjana hukum ia raih, meski hanya dengan indeks prestasi kumulatif 2,0.
Selanjutnya, dengan spirit bahwa di mana ada masalah di situ ada peluang dan jalan keluar, ia melangkahkan kakinya ke Jakarta. Ia bekerja serabutan mulai dari sebuah showroom mobil, berjualan buku, hingga bursa komoditi.
“Dalam jangka waktu tiga bulan, saya berganti lima pekerjaan. Dan, selama masa itu, saya belum pernah menerima gaji, sekadar uang transpor,” kisah pria, yang biasa disapa Pak Haji oleh para karyawannya ini.
Ahyar yang bekerja dari tahun 1992 sampai 1997 ini, mengakhiri “karirnya” sebagai karyawan di sebuah perusahaan produsen oli dari Australia. Konflik dengan sang atasan, membuatnya terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Padahal, kala itu ia akan berangkat haji.
Sepulang berhaji, krisis moneter melanda Indonesia dan seminggu kemudian mencapai klimaksnya dengan pembakaran dan penghancuran berbagai bangunan. “Tapi, saya berpikir bahwa saya harus terus hidup. Karena itu, saya terus-menerus berkeliling seperti orang gila untuk mencari tempat bagi bisnis saya nantinya,” tutur kelahiran Padang, 5 Maret 1965 ini.
Akhirnya, ia menemukan rumah toko (ruko) berukuran 5 m² x 7 m² di kawasan Pondok Cabe, Pamulang, Tangerang Selatan, yang sedang disewakan. “Saya langsung menghubungi pemiliknya, seorang haji keturunan Pakistan. Lantas, dengan bekal ilmu marketing yang telah saya pelajari dari pekerjaan-pekerjaan saya dulu, saya mengajak ngobrol hingga muncul klik di antara kami. Setelah itu, saya kemukakan keinginan saya untuk menyewa rukonya selama 1‒2 bulan tapi saya tidak memiliki uang. Ternyata, Pak Haji (begitu Ahyar memanggil sang pemilik ruko, red.) langsung memberikan ruko itu untuk saya tempati secara gratis,” katanya.
Modal awal dalam berbisnis bukanlah materi, melainkan kejujuran
Ruko tersebut, ia melanjutkan, ternyata ladang rezeki. Tak sampai enam bulan, usaha perdagangan oli yang dibangun Ahyar pada 1 September 1998 tersebut, berkembang pesat.
Ia pun berniat membayar uang sewanya, tapi si pemilik ruko justru ingin agar Ahyar membelinya. “Karena keuangan saya belum mencukupi, Pak Haji meminta saya membayarnya secara mencicil setiap bulan, semampu kondisi keuangan saya. Dan, enam bulan berikutnya, ruko itu lunas terbeli,” ujarnya.
Dalam perkembangan dan segala lika-liku permasalahannya, enam ruko milik Pak Haji yang berdiri di atas lahan seluas 700 m² itu pun menjadi milik Ahyar semuanya.
Ahyar memang tidak membangun bisnis olinya tanpa modal (uang) sama sekali. Kala itu, ia masih memiliki sisa uang dari berhaji sebanyak Rp2,7 juta. Tapi, uang itu tetap tidak cukup untuk membangun bisnis yang saat itu baru memiliki satu karyawan dan satu saluran telpon ini.
Untuk itu, ia “memanfaatkan” hubungan baik yang telah dibangun dan jaringan yang telah dihimpun sebelumnya guna “menyewa” produk mereka. Di samping itu, ia juga menggunakan giro mundur atau istilah awamnya bayar belakangan.
Selain itu, ia juga melakukan beberapa persiapan sebelum membangun bisnisnya. Sebab, pada mulanya, ia hanya menjual 1 lt oli, tapi ternyata pasar menanggapi dengan baik. Dan, ia pun melangkah ke industri.

“Untuk itu, saya bertindak sebagai seller, marketer, kurir, penagih, sekaligus direkturnya. Pokoknya, one man show-lah,” ucapnya. Dengan menjadi tukang antar barang (kurir), Ahyar pun mengetahui seluk beluk pergudangan. Sementara sebagai tukang tagih, ia mengetahui masalah akunting dalam perusahaan. Sedangkan sebagai marketer, ia mengetahui tetek bengek produksi dan berbagai masalah dalam permesinan.
“Namun, ilmu hukum saya justru baru terpakai ketika saya sudah terjun sepenuhnya ke dalam dunia bisnis. Saya menggunakannya sebagai ‘senjata’ untuk menghadapi berbagai permasalahan hukum dan perundang-undangan dalam bisnis ini. Walau, sebenarnya, saya lebih suka menyelesaikan masalah bisnis saya secara kekeluargaan. Sehingga, nantinya akan muncul repeat order,” kata pria, yang merekrut karyawan dari kalangan dhuafa, orang-orang yang sedang kesusahan, putus sekolah, pengangguran, yatim piatu, dan para janda ini.
Permasalahan dalam bisnisnya bukan hanya terjadi ketika Mafati Group sudah mencapai sukses, melainkan juga di awal perusahaan trading ini dibangun. “Saya harus jungkir balik dulu. Salah satu contohnya, ketika saya mendatangi pengusaha kayu dari Kalimantan yang membangun bisnisnya di Ciputat, Tangerang Selatan. Saya sama sekali tidak mengenalnya dan tidak mengetahui apa yang dia sukai atau butuhkan. Tapi, karena saya ingin berjualan, ya saya datangi saja dia,” ujar Ahyar, yang tidak pernah melakukan pemotongan gaji atau PHK terhadap para karyawannya, seburuk apa pun kondisi perusahaannya.
Waktu itu, ia memberi suvenir cutter. Tapi, dibuang oleh si pengusaha. Selain itu, ia juga dimaki dan diusir.
Ahyar tidak mundur. Bahkan, ia menganggap itu sebuah tantangan. Ia pun bolak-balik mendatangi sang pengusaha kayu tersebut sampai lima kali.
“Pada kedatangan yang kelima, saya membawakannya suvenir pulpen. Kebetulan, saat itu dia sedang menulis dan mencari-cari pulpen. Meski kaget, ia menerima pulpen saya. Selanjutnya, dia memberi saya minum, mengajak ngobrol, dan mendengarkan presentasi saya hingga membeli produk saya. Bagi orang lain, mungkin keberhasilan itu kebetulan semata. Tapi, bagi saya, hal ini sebuah keuletan,” imbuhnya.
Dalam perjalanannya, holding company yang membawahi, antara lain PT Nadifa Cabe Lestari, CV Naufal Prima Mandiri, PT Sundafa Indonesia, dan PT Lia Intas Artha ini terbilang telah mencapai kesuksesan. Bukan hanya mengacu kepada cabangnya yang tersebar di Semarang, Yogyakarta, Bandung, dan Padang, melainkan juga produk yang diperdagangkan dari semula hanya oli kemudian juga merambah ke solar, batubara, kargo, dan chemical.
“Dari sini, saya menarik pelajaran bahwa jika ingin cepat sampai ke sebuah pulau dengan berperahu, jangan bepergian atau mendayung sendiri. Pergilah beramai-ramai. Demikian pula, jika ingin membawa Mafati pada kesuksesan, harus didukung banyak orang plus satu visi yaitu kreatif, produktif, inovatif, dan terus berpikir untuk sukses. Konsep sukses ini, bagi saya, sama dengan jujur!” tegasnya.