Garam Krosok
Acapkali, garam dipandang sebelah mata. Demikian pula, dengan petaninya. Padahal, meski dikerjakan secara sederhana (baca: tradisional, red.), usaha pembuatan garam juga menguntungkan. Seperti yang diungkapkan Mukibin, yang menjadi petani garam sejak berumur 20an tahun dan mampu membukukan omset Rp100 juta/bulan
e-preneur.co. Ingat Madura, ingat garam. Karena itulah, pulau yang berada di tengah-tengah laut itu dikenal dengan julukan Pulau Garam.
Padahal, bukan hanya Madura yang menghasilkan garam, melainkan juga Desa Kedungmalang, Jepara, Jawa Tengah, di mana hampir semua penduduknya mencari nafkah dengan menjadi petani garam dan penambak. Selain itu, garam yang dihasilkan memiliki kandungan kalium klorida lebih tinggi ketimbang Garam Madura.
“Sehingga, ketika dipakai untuk memasak, lebih cepat merasuk,” kata Mukibin, yang menjadi petani garam sejak berumur 23 tahun. Hal ini, menurutnya, dipengaruhi oleh unsur air dan tanah.
Meski begitu, Garam Demak, begitu istilahnya, tidak seterkenal Garam Madura. Menurut Mukibin, karena Madura memiliki lahan lebih luas. Boleh dikata, separuh dari luas wilayah Madura digunakan untuk menghasilkan garam.
“Sementara pengelolaan lahan dipegang oleh perusahaan, bukan perseorangan seperti di sini. Sehingga, pengeluaran ditanggung oleh perusahaan dan pembuatan garam, boleh dikata, dikerjakan secara moderen. Sedangkan di sini masih manual, apa adanya, tradisional,” lanjutnya.
Dalam pembuatan Garam Demak, ia memaparkan, pertama-tama yaitu mengeringkan lahan. Lalu, meratakan dan memadatkan lahan menggunakan slender. Selanjutnya, mengolah atau mengalirkan air dari laut ke sungai, lantas menuangkannya ke dalam lahan yang telah dibentuk menjadi kotak-kotak penampungan.
Kedua, mengolah air dari yang diistilahkan air muda menjadi air tua. Untuk itu, lahan dikeringkan lagi untuk memaksimalkan kadar air muda menjadi air tua, lalu menjadi air garam. “Untuk menjadi air garam, air muda itu harus sudah memiliki kadar 10, sementara untuk menjadi air tua harus sudah berkadar minimal 20 atau 23,” ungkapnya.
Ketiga, memaksimalkan air tua menjadi air garam. “Kalau airnya sudah berkadar 20‒23, mejanan atau lahan ditata dengan menutupinya dengan plastik geomembran. Jika lahan sudah siap, air tua pun dituangkan. Tiga hingga lima hari kemudian sudah dapat ‘panen’,” tambahnya.
Namun, dalam praktiknya, tidak selalu seperti itu. Sebab, proses penyiapan lahan hingga panen sangat tergantung pada cuaca. Jika cuaca panas terus-menerus, membutuhkan waktu minimal 15 hari. Sebaliknya, kalau sesekali ada mendung atau bahkan hujan rintik-rintik sekali pun, dibutuhkan waktu 20 hari sampai dua bulan.
Usaha pembuatan garam itu menguntungkan
Selain itu, jika cuaca panas terus-menerus, hasil panen dipastikan bagus. Karena, proses pengkristalan membutuhkan sinar matahari langsung dan penuh. Berbeda, jika proses pengkristalan sudah jadi tapi mendadak turun hujan, maka prosesnya melambat.
“Karena, terjadi pencairan kembali. Imbasnya, kualitas agak berkurang yang ditandai dengan warna garam merah kekuningan dan kurang mengkristal. Tapi, dari sisi rasa dan pemanfaatan tetap,” ujarnya.
Selain cuaca, air rob juga menjadi kendala dalam pembuatan garam krosok, begitu istilahnya, ini. Sebab, air rob dapat mengurangi kadar air tua. Contoh, ketika air tua sudah berkadar 20, lalu kemasukan air rob, maka otomatis kadar air akan berkurang hingga 10‒5. Dampaknya, proses pembuatan menjadi semakin lama, meski tetap tidak mengurangi kualitas garam.
Sementara tentang berapa banyak garam yang dapat “dipanen” untuk setiap kotaknya, menurut Mukibin yang memiliki lahan pribadi seluas 17.500 m² dan terbagi menjadi empat kotak ini, sangat tergantung pada kedalaman air dan pengisian. “Tapi, panen pertama rata-rata sebanyak 10‒15 tombong (semacam keranjang, red.) per kotak. Lantas, dua hingga tiga berikutnya, dari kotak yang lain juga sudah dapat dipanen,” kata Mukibin, yang “panen” 10‒15 kali dalam sebulan.
Sekadar informasi, luas lahan sangat menentukan banyak sedikitnya hasil “panen”. Untuk lahan yang lebih luas, dapat “dipanen” 15‒20 tombong per kotak,
Selanjutnya, tengkulak akan menampung hasil “panen” ini dengan harga petani yang saat wawancara ini dilakukan sebesar Rp100 ribu/kwintal. Kemudian, para tengkulak memasoknya ke gudang-gudang garam milik sebuah koperasi. Dari koperasi tersebut, lantas disalurkan ke berbagai pabrik pengolahan garam. Dari sana, lalu “dilempar” ke pasar dengan merek Lumba-Lumba (Dolpin) dan Cumi-Cumi.
Menurut Mukibin yang meneruskan usaha Ayahnya yang dirintis sekitar tahun 1990an ini, usaha pembuatan garam ini menguntungkan dan menjadi ekonomi unggulan di Jepara. Karena itu, jika Anda berminat, mantan Tenaga Kerja Indonesia di Arab Saudi ini memberi saran. Pertama, siapkan modal sebesar Rp25 juta‒Rp30 juta untuk menyewa lahan seluas 1 ha.
Sementara untuk peralatan, cukup menggunakan peralatan sederhana. Sedangkan untuk bahan baku utama yakni air laut, alam sudah menyediakan secara gratis. “Kedua, memperkerjakan cukup dua orang saja saat memulai usaha,” pungkas Mukibin, yang membukukan omset kotor rata-rata per bulan Rp100 juta.