Sacha Inchi
Kaya akan Omega-3, Omega-6, dan Omega-9. Imbasnya, Kacang Sacha Inchi dan turunannya memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Sayang, di Indonesia, belum populer dan baru segelintir orang yang membudidayakannya
e-preneur.co. Sacha Inchi (Latin: Plukenetia volubilis, red.) merupakan kacang yang berasal dari Hutan Tropis Amazon. Dikenal pula dengan nama Kacang Inca, karena konon telah digunakan untuk pengobatan sejak zaman peradaban Suku Indian Inca.
Dalam perjalanannya, Kacang Gunung, begitu namanya yang lain lagi, menyebar atau dibudidayakan di Cina, Vietnam, Malaysia, Thailand, dan (baru-baru ini) Indonesia. Di negara kita, kacang ini disebut Kacang Bintang karena memiliki bentuk mirip bintang.
Menurut Soewondo, Sacha Inchi dapat dibudidayakan dengan mudah. Ia mendapatkan 1 kg bibitnya dari temannya yang tinggal di Malang agar disemaikan atau dibudidayakan di Kebumen.
“Pertama-tama, saya merendam biji-biji kacang itu hingga berkecambah. Berikutnya, saya memindahkannya ke polybag. Sebulan di polybag, saya pindahkan ke lahan tanam. Tiga hingga empat bulan kemudian, bunganya mulai muncul,” kata Sekretaris Desa Glontor, Karanggayam, Kebumen, ini.
Selanjutnya, dari bunga, buah, buah kering, hingga siap panen dibutuhkan waktu tujuh hingga delapan bulan. Lama? Memang, tapi, setelah itu, setiap 15 hari dapat dipanen. “Tanaman merambat ini akan terus berbunga dan berbuah. Kacangnya tidak pernah habis,” lanjutnya.
Sacha Inchi sangat baik ditanam di lahan yang tidak banyak pohon naungan. Seperti, di sawah yang telah dikeringkan. Sebab, tanaman ini membutuhkan sinar matahari penuh.
“Tanaman ini dapat ditanam dan tumbuh di lahan sekering apa pun di Kebumen. Bahkan, di musim kemarau seekstrim apa pun,” ujarnya. Sementara untuk luar Kebumen, tanaman ini juga baik ditanam di Wonosobo.
Namun, tidak berarti tidak ada kendala. Kendala yang dimaksud yakni munculnya hama semut saat tanaman masih di polybag. Kemudian, ketika tanaman dipindahkan ke lahan tanam akan muncul jangkrik yang memakan daun-daunnya. “Tapi, setelah tanaman menjalar atau merambat, hama akan menghilang dengan sendirinya,” kata Soewondo, yang mengajurkan memusnahkan hama-hama tersebut dengan cukup membuang sarang mereka.
Minyak Sacha Inchi dipatok dengan harga Rp527 ribu per setengah liter!
Keunikan atau lebih tepatnya keunggulan tanaman ini yakni setiap bagian “tubuhnya” dapat dimanfaatkan. Seperti, daunnya yang mengandung antioksidan dan kulit cangkangnya dapat diolah menjadi minuman semacam teh, bijinya dapat dibuat minyak, ampas dari biji yang dibuat minyak dapat dibuat butter atau selai. “Saya sendiri mengolah daun dan kulit cangkangnya menjadi minuman semacam teh, yang akan saya pasarkan akhir tahun ini atau awal tahun depan,” ucapnya.
Sementara untuk kacangnya saja (belum dikupas), Soewondo menjualnya dengan harga Rp30 ribu/kg. “Kacang ini memiliki cangkang berlapis-lapis dan setiap cangkang dapat diolah. Salah satunya, untuk briket,” lanjutnya.
Namun, yang utama dari tanaman ini yakni bijinya, yang kemudian diolah menjadi minyak. Sebab, di dalam biji kacang itu terkandung lemak tak jenuh dengan kadar Omega-3 mencapai 47%‒51%, Omega-6 (34%‒37%), dan Omega-9, serta berbagai vitamin pendukung. Sementara Minyak Zaitun hanya memiliki kandungan Omega-3 sebesar 1% dan Omega-9 sebesar 9%.
Minyak Sacha Inchi, begitu istilahnya, bermanfaat untuk menurunkan kolesterol dan asam urat, meningkatkan kecerdasan, mengurangi risiko pembengkakan jantung dan stroke, menurunkan aktivitas tumor dan radang sendi pada dengkul, meningkatkan penglihatan, serta menurunkan kesemutan. “Informasi terakhir yang saya peroleh, harga minyak ini Rp527 ribu per setengah liter. Bahkan, yang kualitas super bisa dihargai hingga Rp6 juta,” ungkapnya.
Tapi, Soewondo dan rekan-rekannya—yang tergabung dalam Asosiasi Kacang Sacha Inchi Kebumen—belum fokus pada penjualan, melainkan lebih kepada perluasan lahan. “Dari 2 kwintal yang kami panen setiap bulan, kami menyebarkannya lagi ke para petani agar diperbanyak. Karena, kami ingin Karanggayam menjadi sentra Kacang Sacha Inchi. Bahkan, kami menargetkan memiliki 1.000 ha lahan. Sementara ini, kami baru memiliki 6 ha lahan,” ujarnya.
Selain itu, perkumpulan ini juga fokus pada pembuatan dan penjualan pohon bibit. Untuk itu, mereka mempersiapkannya ibarat fresh from the oven di mana pohon bibit diambil dari biji yang baru dipetik. Mengingat, daya tumbuh tanaman ini sangat cepat. Sebab, jika tidak, daya berproduksi tanaman ini akan berkurang hingga 50%.
“Yang pernah kami coba yaitu usai dipetik, kami jemur sebentar untuk sekadar memecahkan kulitnya, lantas kami semai, dan dua hari kemudian tunasnya sudah mulai tumbuh,” ucap Soewondo, yang menjual pohon bibit berumur 1,5 bulan dengan harga Rp5 ribu. Sejauh ini, permintaan terhadap pohon bibit datang dari Magelang dan Blora.
Prospek bisnisnya? “Sangat bagus. Tapi, orang-orang mengira itu lantaran sedang booming. Padahal, bukan masalah booming, melainkan memang prospektif. Ada pasarnya, bahkan pasarnya eksklusif,” katanya.
Terbukti, Taiwan dan Malaysia sudah minta. “Namun, kami masih terkendala oleh kuantitas. Bahkan, pasar domestik pun, kami belum mampu memenuhi,” pungkasnya.