Home / Senggang / Resto Area / Sensasi di Balik Racikan Kopi

Sensasi di Balik Racikan Kopi

Kopitiam Oey

Hadir Untuk Mengajari Cara Menyeduh Kopi Tubruk

Jika Anda mampu membuat espresso, latte, dan cappuccino, maka seharusnya Anda juga mengetahui cara menyeduh kopi tubruk yang benar. Jika tidak, Anda bisa belajar di Kopitiam Oey atau sekadar merasakan nikmatnya menyeruput Kopi tubruk ala Vietnam

e-preneur.co. Kopi. Dilihat dari cara membuat atau menyeduhnya, sebenarnya hanya ada kopi hitam (black coffee) atau yang di negara kita lebih ngetop disebut kopi tubruk.

Jika kemudian kita menjumpai espresso, cappuccino, latte, dan lain-lain, itu berkat campur tangan orang-orang Amerika yang menambahi berbagai unsur (gula, susu, krim, dan sebagainya) ke dalam kopi hitam tersebut.

Namun, ternyata, di luar itu ada cara menyeduh yang lain yang dikenal sebagai kopi ala Vietnam. Cara minum kopi semacam itu dapat kita jumpai di Kopitiam Oey.

Di kedai kopi (Hokkian: tiam = kedai atau warung, red.) yang terletak di ujung Jalan Sabang, Jakarta Pusat, itu kopi dihidangkan dengan meletakkan bubuk kopi yang digiling kasar ke dalam semacam saringan. Lalu, diletakkan di atas gelas yang telah diberi susu cair. Selanjutnya, dituangi air panas. Sehingga, air kopi yang telah tersaring itu akan mengalir ke dalam gelas dan bercampur dengan susu. Terakhir, aduk dan nikmati.

Menurut Wasis Gunarto, dilihat dari sejarahnya, ada dua versi tentang cara menyajikan kopi semacam ini. Pertama, versi Aceh di mana masyarakat di sana mengklaim bahwa pada awalnya kopi itu disaring dengan kaus kaki, sebelum nantinya diseruput. Sementara, orang-orang Hokkian juga mengaku jika cara menyaring kopi semacam itu berasal dari budaya mereka.

KopiVietnam sebenarnya juga kopi tubruk, tapi tentu saja berbeda dengan kopi tubruk ala warung kopi pinggir jalan

“Tapi, apa pun itu, sebenarnya Kopitiam Oey hadir (pada tahun 2009) untuk mengedukasi masyarakat tentang bagaimana caranya menyeduh kopi,” ungkap General Manager Kopitiam Oey ini.

Sebab, ia melanjutkan, sebagai salah satu pengekspor kopi terbesar di dunia, budaya minum kopi di Indonesia cuma begitu saja alias secara kopi tubruk. Jadi, bila masyarakat dunia sudah sangat mengenal cara menyeduh kopi seperti espresso, latte, dan cappuccino, maka seharusnya mereka pun mengenal cara menyeduh kopi ala kopi tubruk.

“Namun, faktanya tidak seperti itu. Karena, kondisinya memang belum memungkinkan. Untuk itu, kami menggunakan minum kopi ala masyarakat Indocina, tepatnya Vietnam, yang sebenarnya juga kopi tubruk tapi tentu saja berbeda dengan kopi tubruk ala warung kopi pinggir jalan,” ujarnya.

Untuk menyempurnakan cara penyajian kopi ala Vietnam itu, interior warung kopi milik Bondan “Mak Nyus” Winarno ini pun ditata ala rumah-rumah peranakan zaman dulu. Lengkap dengan warna merah ngejreng di sana-sini atau tepatnya warna uang, yang berarti mulia atau warna yang paling tinggi dalam dunia bisnis. “Penantaan interior semacam ini juga dijumpai di kopitiam-koptiam lain, agar sesuai dengan sejarah awalnya,” ungkapnya.

Tempat bersantai yang mengusung slogan “Koffie Mantap Harganja Djoedjoer” ini, juga menghiasi langit-langitnya yang cukup tinggi dengan lampu-lampu bohlam yang dikurung dalam sangkar burung mungil, yang ditutup dengan sehelai kain berwarna merah. Sehingga, pancaran cahaya yang muncul terkesan agak redup.

Dinding-dindingnya pun tidak dibiarkan kosong. Di sana, dapat dijumpai berbagai papan reklame (minuman) tempo dulu yang masih menggunakan ejaan lama. Sementara di salah satu sudutnya, terdapat lemari kecil yang penuh dengan botol-botol kecap yang zaman dulu pernah dipasarkan.

Bagi para pengunjung yang sudah bisa datang mulai pukul 07.00, dipersilahkan duduk di kursi kayu dengan model klasik. Di sini, tersedia 10 meja (masing-masing diisi empat kursi) yang terbuat dari kayu dan dialasi marmer kuno.

Selanjutnya, mereka tinggal memesan minuman dan makanan yang diinginkan. Karena, meski coffee shop, tempat ini tidak cuma menyediakan (minuman) kopi yang bahan dasar kopinya dipasok oleh Aroma, sebuah pabrikan kopi legendaris.

Di tempat kongko-kongko seluas 80 m² x 120 m² ini, juga tersedia 31 jenis minuman lain seperti wedang uwuh, teh blonthang, hot mint tea, dan ice lime tea. Untuk makanannya, ditawarkan 30 jenis makanan plus kudapan, dengan makanan favorit sego ireng (nasi yang diolah dengan bumbu keluwek, red.).

Sebelum pademi, tempat makan yang pada hari Senin–Rabu tutup jam 22.00, Kamis dan Minggu sampai jam 23.00, serta Jumat dan Sabtu hingga jam 24.00 ini, selalu dipadati tamu yang mayoritas kaum hawa dan mereka yang sebenarnya bukan penggemar kopi. “Rata-rata, kami dikunjungi 100 orang/hari,” ucapnya.

Namun, tidak perlu kuatir, karena Kopitiam Oey juga dapat ditemui di Jakarta, Palembang, Surabaya, Lampung, Makassar, Solo, Bogor, Bekasi, Jambi, Pekanbaru, Sentul City, Cibubur, dan Yogyakarta. Dan, direncanakan, setiap tahun, Kopitiam Oey membuka 2–3 cabang. Termasuk, cabang di mancanegara.

Check Also

Ketika Para Perantau Kangen dengan Kampung Halamannya

Bubur Samin Bubur Samin bukanlah makanan tradisional Solo, tapi menjadi menu takjil yang ikonik di …