e-preneur.co. Seekor Burung Gereja menemukan pohon yang sarat dengan buah-buahan mungil dan berwarna merah hati. Beberapa buah yang sudah matang jatuh dan pecah di bebatuan dekat akar pohon itu. Tampaklah daging buah yang berair dan berbau harum.
Burung itu mematuk buah yang sudah ranum. Ia teringat telur-telurnya yang baru menetas tadi malam. Tentulah, anak-anaknya sangat kelaparan. Burung itu membawa beberapa buah yang matang sebagai makan siang bagi anak-anaknya.
Tidak mudah bagi seekor burung untuk terbang sambil membawa buah-buahan di mulutnya. Maka, jatuhlah sebutir buah dari mulutnya dan jatuh di permukaan tanah yang lembab di tepi jalan. Buah itu pecah dan biji-bijinya yang berwarna kuning keemasan sehalus pasir berserakkan di atas tanah.
Tanah hitam yang subur dengan senang hati menerima biji-biji itu. Biji-biji itu mendapatkan air dan makanan dari dalam tanah. Namun, hanya sebutir biji yang berhasil tumbuh menjadi tanaman kecil.
Mula-mula, ia tampak seperti tumbuhan liar yang lemah. Lama-kelamaan, ia tumbuh tegak, batangnya berkayu, dan daun-daunnya yang kasar tumbuh satu per satu.
Pohon kecil itu tidak mempunyai kawan. Siang dan malam, ia tumbuh sendirian. Ia hanya bisa melihat anak-anak bermain layang-layang di lapangan. Ia ingin mempunyai teman seperti pepohonan lainnya.
Dari jauh, dilihatnya serumpun Pohon Bambu yang berkumpul, tumbuh bersama-sama, berbisik, dan bercerita seiring angin yang berhembus. Kawanan Pohon Pisang dengan tunas-tunas kecilnya tampak gembira, bercanda tawa. Ia ingin seperti mereka.
Siang itu, seekor burung hinggap di batangnya yang rapuh. “Burung yang cantik, maukah kau menjadi kawanku? Kau bisa membuat sarangmu di dahanku sehingga kita dapat bercakap-cakap setiap hari?” sapanya, lembut. “Tidak, dahanmu terlalu kecil dan rapuh. Kau tidak akan kuat menopang sarangku,” jawab si burung, sambil beranjak pergi. Pohon itu sedih sekali mendengarnya.
Pada suatu malam yang dingin, ia melihat sebuah bayangan berkelebat di sekitar tubuhnya. Ia agak gemetar, entah karena takut, entah kedinginan.
Ternyata, bayangan itu adalah seekor kelelawar. Ia memberanikan diri menyapanya, “Tuan Kelelawar yang baik, maukah kau menjadi temanku? Kau bisa tidur di dahanku di siang hari dan memakan daun-daunku di malam hari”.
“Tidak! Dedaunan bukanlah makananku. Aku makan buah-buahan yang manis dan berair,” katanya, dengan tegas.
Ketika embun sejuk mulai menguap terkena sinar matahari, seekor kucing mengeong lembut di dekat akar pohon kecil itu. Pohon kecil ingin sekali berteman dengan kucing berbulu halus itu. “Kucing kecil yang lucu, maukah kau berteman denganku? Kau bisa tidur di bawah naunganku waktu matahari tepat berada di atas kepalamu,” ajaknya.
“Maaf pohon kecil, daun-daunmu tidak akan mampu memberi keteduhan. Mereka tidak cukup rapat untuk memayungiku,” jawabnya, dengan sopan. Pohon kecil itu tertunduk lesu.
Namun, pohon kecil itu tidak putus asa. Bahkan, ia berusaha untuk tumbuh lebih kuat, besar, dan berbuah banyak. Dihirupnya udara sebanyak-banyaknya, dihisapnya air dengan akar-akarnya, dan dibiarkannya matahari menyinari dedaunanya. Akhirnya, ia tumbuh besar dan tinggi.
Di suatu pagi yang cerah, muncullah bunga-bunga cantik berkelopak halus berwarna putih di sela-sela daun-daunnya. Pohon kecil girang bukan kepalang.
Datanglah kumbang dan kupu-kupu menyapanya. Kaki-kaki kumbang dan kupu-kupu yang mungil membawa serbuk sari berwarna kekuningan ke kepala putik. Ketika angin bertiup kencang, serbuk sari melayang-layang di udara membawa bau harum mengundang makin banyak serangga datang.
Serbuk sari membuahi kepala putik. Dalam beberapa hari, bunga-bunga putih berubah menjadi buah muda berwarna hijau. Semakin lama, buah hijau membesar dan berubah warna dari hijau menjadi kekuningan, merah muda, dan akhirnya menjadi merah hati.
Pohon yang dulu kecil telah berubah menjadi besar dengan cabang-cabang yang kuat dan lebar. Daun-daunnya berjajar rapat, memberi keteduhan bagi siapa saja yang bernaung di bawahnya.
Ketika ia sedang tertidur lelap, ia merasakan ada cakar-cakar kecil mencengkeram rantingnya. Ternyata, Tuan Kelelawar sedang memakan buah-buah merah hatinya. “Ehm, selamat malam Tuan Kelelawar,” katanya, pelan-pelan. “Uh, oh, selamat malam, eh, nyam…nyam!” jawab Tuan Kelelawar dengan mulut penuh.
“Bolehkah aku menumpang tidur di cabangmu malam ini? Buah-buahmu sangat lezat. Aku tidak bisa berhenti memakannya,” lanjutnya. “Oh, tentu saja, Tuan Kelelawar. Bahkan, aku berterima kasih kau mau menemaniku sepanjang malam”.
Sejak itu, Tuan Kelelawar terus mengunjunginya sepanjang tahun. Karena, pohon itu tidak pernah berhenti berbuah. Burung-burung juga mulai berdatangan membawa ranting-ranting, jerami kering, lalu membangun sarang yang nyaman di dahannya. Karena, dahan pohon itu berkembang menjadi dahan yang kokoh untuk menopang sarang-sarang burung.
“Pohon yang kuat, bolehkah aku membangun sarang di dahanmu? Sebentar lagi waktunya bertelur. Aku harus menyiapkan tempat yang hangat untuk telur-telurku,” kata seekor Burung Gereja. “Tentu saja kau boleh tinggal di sini. Bahkan, kau pun boleh memakan buah-buahku kalau kau mau,” jawab pohon itu.
Di siang hari yang terik, datanglah binatang-binatang lainnya. Seekor kucing, seekor kadal berekor panjang, dan barisan semut-semut kecil berwarna hitam beristirahat di bawah keteduhan daun-daunnya yang rimbun. Bahkan, anak-anak kecil yang sudah lelah bermain mulai berteduh dan berusaha meraih buah-buahnya yang manis menyegarkan.
Tidak ada yang lebih membuat pohon itu bahagia, selain mendapatkan banyak teman dan menolong mereka. Malam ini, ia tidur dengan nyenyak dan bahagia.
Top of Form