Barber Shop (Lanang Barber Shop)
Hadir dengan beberapa kelebihan dibandingkan barber shop pada umumnya. Imbasnya, Lanang Barber Shop menarik perhatian bukan hanya para pria di Jabodetabek, melainkan juga para calon mitra. Dan, dalam waktu relatif singkat, Lanang Barber Shop pun menggurita
e-preneur.co. Sebagian besar pria, pada umumnya datang ke salon sekadar untuk potong rambut. Karena itu, sebenarnya, mereka dapat mendatangi tukang pangkas rambut atau yang dikenal dengan istilah keren barber shop.
Namun, biasanya, barber shop kurang menjaga kebersihannya. Sehingga, kadang membuat tidak nyaman.
Kondisi itu, juga dialami Jakub Nurtjahjono. Hingga, akhirnya, ia berinisiatif membuka barber shop sendiri.
Sebelum itu, selama dua minggu, ia mengamat-amati para mahasiswa yang kuliah di Universitas Bina Nusantara, Kemanggisan, Jakarta Barat. “Ternyata, model rambut mereka tidak jauh berbeda dengan model rambut saya,” tuturnya.
Selanjutnya, ia memberanikan diri menyewa tempat dan membuka barber shop yang dinamainya Lanang Barber Shop (baca: Lanang, red.), pada Desember 2007 di Meruya, Jakarta Barat. “Saya hanya berpikir bahwa usaha ini akan menjadi kebutuhan banyak orang,” imbuhnya.
Tidak ingin Lanang seperti barber shop pada umumnya, sarjana teknik kimia dari Institut Tekonologi Indonesia, Tangerang, ini sangat menekankan, pertama, masalah kebersihan. Kedua, simple. Ketiga, prosesnya cepat.
“Biasanya, setelah dipotong, rambut dibersihkan dengan dikramasi. Tapi, di Lanang, rambut dibersihkan dengan disedot menggunakan vacuum cleaner hingga tidak ada lagi sisa-sisa potongan rambut,” jelasnya.
Dengan kelebihan-kelebihan itu, usaha yang dibangun dengan modal awal Rp60 juta−Rp 70 juta itu tak pelak diminati banyak investor. Terbukti, empat bulan setelah dibuka untuk pertama kalinya, Lanang membuka cabang di Jelambar, yang disusul dengan tiga cabang lagi yang semuanya tersebar di Jakarta Barat.
Sebuah peluang bisnis prospektif yang belum disentuh secara profesional
Setelah membuka cabang kelima (sekitar tahun 2010), Lanang pun menawarkan kemitraan. “Saya ingin Lanang terus berkembang. Tapi, hal itu tidak mungkin terjadi kalau modalnya hanya dari saya. Di sisi lain, bisnis berkonsep kemitraan lebih cepat berkembang,” ujarnya.
Kemitraan ini menjanjikan Break Even Point terjadi pada bulan ke 12−14 dengan pertimbangan setiap outlet mampu “memotong” rata-rata 670 kepala/bulan, jika ongkos potongnya Rp15 ribu/kepala. Sekadar informasi, selain tarif Rp15 ribu/kepala, Lanang juga mempunyai tarif Rp20 ribu/kepala dan Rp25 ribu/kepala. Perbedaan tarif ini, mengacu pada di mana Lanang berada.
Contoh, untuk Lanang cabang Meruya dibebankan tarif Rp15 ribu/kepala, tapi untuk Lanang cabang Plasa Cinere sebesar Rp25 ribu. Dan, perlu diketahui pula, semua angka yang tercantum bisa berubah sewaktu-waktu sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.
Menurut kelahiran Kudus, 7 Januari 1968 ini, keuntungan menjadi mitra Lanang yaitu pertama, risikonya kecil (low risk). Dalam arti, bila hari ini sepi, kemungkinan besar besok ramai. Selain itu, juga low waste atau tidak ada investasi yang terbuang, kecuali biaya sewa tempat dan itu pun kalau tempatnya masih menyewa.
Kedua, sistemnya simple. “Karena, kami membuatnya agar kedua belah pihak merasa senang. Termasuk, stylish,” katanya.
Ketiga, otopilot. Dalam arti, mitra harus mempercayakan seluruh usaha ini ke Lanang. Dengan demikian, untuk maintenance setiap harinya dilakukan oleh manajemen Lanang, di samping para stylish.
Sehingga, jika mitra tidak memiliki waktu untuk menjalankan atau mengawasi usaha ini, tidak masalah. “Nantinya, kami tinggal memberi laporan perkembangan usaha kepada mitra,” ucapnya.
Keempat, mitra boleh memberi masukan-masukan asalkan tidak keluar dari koridor style-nya Lanang. Sementara untuk outlet-nya, Lanang mensyaratkan lokasi yang padat penduduk dan seluas 4 m² x 4 m².
Prospeknya? “Sangat prospektif. Mengingat, ini sebuah peluang bisnis yang belum disentuh secara profesional,” pungkasnya.