Kotoran Sapi dan Produk Olahannya (PT Faerumnesia 7G)
Kotoran sapi, ternyata mempunyai keunggulan lebih banyak ketimbang kotoran binatang-binatang memamah biak lainnya. Sehingga, produk olahannya pun memiliki nilai jual tinggi. Dan, menurut Syam, sang kreator, celah bisnisnya masih terbuka sangat lebar
e-preneur.co. Selama ini, kotoran sapi cuma diketahui sebagai kotoran yang menjijikan dan berbau menyengat. Kalau pun mempunyai manfaat, hanya sebagai pupuk kandang.
Namun, tak disangka dan tak dinyana, ternyata kotoran sapi mengandung silica hingga 9,5% setiap kilogramnya. Sekadar informasi, silica adalah sebuah senyawa yang berfungsi sebagai pengawet dan pengering yang biasanya diletakkan di dalam kemasan makanan, agar makanan terhindar dari kelembaban dan munculnya jamur.
Di sisi lain, kotoran sapi lebih halus, ringan, dan kuat dibandingkan kotoran-kotoran binatang memamah biak lainnya. Imbasnya, kotoran sapipun dapat dimuliakan dengan menjadikannya benda-benda bernilai jual terbilang tinggi.
Hal itu, baru disadari Syammahfuz Chazali ketika akan mengikuti kompetisi Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) di kampusnya, Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada tahun 2006. Awalnya, ia berpikir untuk memanfaatkan kotoran manusia yang diambil dari septic tank untuk membuat biotoilet.
“Tapi, karena banyak yang merasa jijik, maka saya dan teman-teman mencoba membuat sesuatu dari kotoran sapi,” kisah pria, yang mempunyai panggilan keren, Syam Chazali atau Syam, ini. Kemudian, dengan dibantu beberapa dosen mereka dan Purwanto (pengrajin gerabah dari Kasongan, red.), kotoran sapi itu pun diolah menjadi gerabah.
Selanjutnya, mereka melakukan penelitian lebih dalam terhadap kotoran yang dalam Bahasa Jawa disebut tlethong itu. Lalu, dengan bekal pengetahuan itu, Syam dan teman-temannya pun mengikuti PKM. Sayang, saat kompetisi itu diumumkan, 7 Februari 2007, mereka kalah.
“Namun, kami tidak menyerah dan terus mengadakan penelitian hingga keberhasilan yang kami capai saat ini,” kata sarjana peternakan ini. Keberhasilan yang dimaksud Syam berupa juara satu Social Venture Competition tingkat dunia di Universitas Berkeley, Amerika Serikat, tahun 2009. Untuk itu, ia menerima hadiah berupa uang sebesar AS$25.000.
Sementara di dalam negeri, setelah berkonsultasi dengan para dosennya dan pihak-pihak yang berkecimpung dalam dunia pengolahan limbah hewan, ia memantapkan menapaki dunia bisnis. Kendati, tidak sedikit yang meragukan keberhasilan bisnis berbasis tlethong di bawah bendera PT Faerumnesia 7G ini.
“Tanggapan masyarakat ada yang pro, ada pula yang kontra. Biasanya, mereka akan bertanya apakah produk ini halal atau haram. Mengingat, terbuat dari barang najis,” ucap Owner sekaligus Direktur Utama PT Faerumnesia 7G ini.
Berkaitan dengan hal itu, ia menanyakan ke MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan seorang kyai. Menurut mereka, bukan masalah lagi sepanjang produk itu sudah tidak berbau dan berasa, serta berubah warna.
“Namun, bila konsumen masih ragu, saya memberi mereka sample untuk dicium agar mereka mengetahui secara langsung apakah masih berbau atau tidak. Di sisi lain, produk saya lebih ringan, halus, dan kuat. Semuanya itulah, yang menjadikan produk saya lebih unggul dan unik,” lanjutnya.
Produk olahannya bernilai jual tinggi
Sekadar informasi, untuk menghilangkan bau tak sedap dan kemungkinan besar berbagai bakteri yang ada, kotoran sapi tersebut didekomposisikan terlebih dulu. Lalu dibentuk dan akhirnya dibakar dalam suhu 1.000°C.
Untuk satu kali produksi, yang dilakukan di sebuah home industry yang terletak di Godean, Yogyakarta, dibutuhkan 1−2 ton kotoran sapi. Lantas, dengan kotoran sapi sebanyak itu bisa dihasilkan batu bata sebanyak 800−900 buah, gerabah, dan kerajinan tangan seperti vas bunga, Lampu Aladin, dan lain-lain.
“Harga yang dipatok untuk gerabah dan barang-barang kerajinan tangan, berdasarkan bentuk, tingkat kesulitan, dan jumlah barang yang dipesan,” jelas kelahiran Medan, 5 November 1984 ini.
Ya. Produk-produk ini dibuat berdasarkan pesanan dan dipasarkan secara online. Imbasnya, tidak hanya mengisi pasar Jakarta, tapi hingga ke Belanda.
Namun, layaknya bisnis, tidak ada yang berjalan mulus. Semuanya membutuhkan proses. Demikian pula, dengan produk-produk berbahan dasar utama kotoran sapi ini.
Sebab, dengan bahan dasar yang gampang diperoleh dan dengan harga murah, tak ayal banyak pihak, terutama dari pengrajin batu bata dan gerabah skala industri kecil menengah, yang mengikuti jejaknya. Sekali pun, Syam telah mempatenkan hasil karyanya.
Alih-alih melaporkan mereka ke pihak yang berwajib, Syam yang membangun perusahaannya dengan modal awal Rp4,5 juta ini memilih untuk mewakafkan bisnisnya ke masyarakat luas. Dengan demikian, masyarakat tinggal membeli formulanya (faerumnesia bioaktivator, red.) ke perusahaannya, sekaligus memperoleh pelajaran tentang cara pembuatannya.
Ke depannya, ia ingin mengajari masyarakat peternakan agar mengolah kotoran sapi menjadi barang yang berguna. Apalagi, tanah semakin sulit diperoleh. Sehingga, kotoran sapi pun bisa dijadikan alternatif bahan dasar semua produk yang berbahan dasar tanah. Terutama, gerabah dan batu bata.
“Singkat kata, celah bisnis berbahan dasar utama kotoran sapi masih terbuka sangat lebar!” pungkasnya.