Oleh: Made Teddy Artiana
e-preneur.co. Forrest Gump, novel karya Winston Groom ini sukses besar setelah diangkat ke layar lebar. Film buatan tahun 1994 itu berhasil menggondol
enam penghargaan di ajang Academy Award.
Padahal, sepintas lalu, kesan yang saya tangkap ketika pertama kali menonton film ini yaitu aneh, lucu, ngawur. Dan, memang benar adanya.
Film ini bercerita tentang seorang pemuda idiot bernama Forrest Gump (diperankan oleh Tom Hanks, red.), yang akhirnya memperoleh
keberuntungan-keberuntungan hidup yang luar biasa justru karena
keidiotannya. “Kebodohan” Forrest begitu tampak tidak hanya dari mimik wajah, melainkan juga bahasa tubuh dan kejadian-kejadian konyol dalam hidupnya.
Tidak hanya itu, Robert Zemeckiz, sang sutradara, juga merasa perlu menyisipkan sebuah dialog unik yang selalu berulang.
“Are you stupid or something?”
Pertanyaan itu yang sering dilontarkan lawan bicara Forrest, tentu
lengkap dengan ekspresi sinis, kening berkerut, atau aneh. Untungnya,
Forrest yang memiliki Ibu yang begitu luar biasa, telah dilengkapi dengan
sebuah jawaban pamungkas yang besar kemungkinan sebenarnya juga tidak
dimengerti olehnya.
“Stupid is as stupid does”.
“Kebodohan” itu tergantung perbuatannya, kira-kira begitu maksudnya.
Herannya, meski sangat (maaf) tolol, ia selalu beruntung. Hidup Forrest
seakan sebuah mata uang alias memiliki dua sisi yang berlainan. “Kebodohan” di sisi yang satu dan “keajaiban” di sisi yang lain.
“Miracle happens everyday,” kata Ibunya.
***
Waktu kecil, Forrest yang sebenarnya memiki kelainan di kedua kakinya,
harus menggunakan sebuah alat bantu berjalan yang membuat Forrest seolah
sebuah robot aneh. Suatu saat, beberapa anak nakal melempari Forrest dengan
batu sambil meneriakinya, “Bodoh!”
Jenny, sahabat Forrest, menyuruhnya berlari, “Run…Forrest…ruuuuuuunnnnn!!!!” Forrest menurut. Dengan susah
payah, ia berusaha berlari.
Dan “keajaiban” pun terjadi. Alat bantu berjalan berupa besi yang melingkari kedua kakinya terlepas dan hancur berkeping-keping.
Forrest berlari, tanpa tersusul oleh ketiga lawannya meski mereka bersepeda. Sejak saat itu, Forrest tidak hanya dapat berjalan normal, tapi juga berlari secepat angin.
Kejadian yang sama terjadi ketika Forrest dewasa. Tiga pemuda
melemparinya dengan batu dan meneriakinya bodoh. “Run…Forrest…ruuuunnn!”
Adegan berulang. Hanya, sekarang, Forrest lari tunggang-langgang bukan
dikejar sepeda, tapi mobil!
Tiba-tiba, ia berbelok dan melintasi sebuah lapangan yang di dalamnya tengah berlangsung American Football. Forrest berlari di sela-sela pemain, bahkan melewati seorang pemain yang tengah berlari memegang bola.
Semua orang tercengang. Bukan hanya karena kecepatannya berlari, melainkan lebih karena “kebodohannya”. Baru kali ini seseorang berlari demikian tidak peduli, melintasi suatu pertandingan.
“Keajaiban” terjadi kembali. Salah seorang pelatih merekrut Forrest menjadi pemain. Forrest menjadi bintang lapangan. Bintang lapangan yang aneh. Ia terus berlari tidak terkendali dan tanpa pernah tahu di mana harus berhenti.
Forrest mendapat beasiswa dan menamatkan college hanya dengan cara sesederhana itu.
Forrest kemudian memutuskan untuk mengikuti wamil (wajib militer). Menjadi tentara. Ia dan Bubba, sahabatnya, dikirim berperang ke Vietnam.
Pada suatu saat, pasukan mereka disergap oleh tentara Vietkong. Tiba-tiba seseorang berteriak, “Ruuuunnnn!” Forrest berlari tanpa memperdulikan sekitar. Hanya berlari.
Ternyata sebagian besar dari mereka tewas, sedangkan Forrest hanya tertembak pantatnya. “Keajaiban” terjadi lagi. Ia berhasil menyelamatkan
beberapa rekannya…termasuk Leutenant, yang akhirnya menjadi partner
bisnisnya di kemudian hari.
Untuk itu, negara menganugerahinya penghargaan.
Begitu seterusnya. “Kebodohan” dan “keajaiban” itu selalu berpasangan hingga akhirnya Forrest memiliki perusahaan besar, menikah dengan Jenny, bahkan memiliki anak yang cerdas. Tidak sama dengan Ayahnya.
***
Mungkin film ini terlalu menyederhanakan sesuatu dan melebih-lebihkan yang lain. Namun, terus terang, Forrest Gump begitu membekas di hati saya. Saya, mungkin tidak “sebodoh” Forrest, tapi menghadapi hidup yang misterius membuat saya sering tersesat di suatu sisi dan tersadar telah melakukan kebodohan.
Strategi basi. Mengambil tikungan yang ternyata buntu. Mengantri di barisan
yang keliru. Dan, itu terus terulang. Untunglah, di setiap kebodohan saya ada mata
uang lain bernama keajaiban yang selalu menolong hidup saya. Mengangkat saya dari labirin, Menjadi jembatan di sebuah jalan yang terputus.
Entah apa jadinya jika TUHAN mendesain hidup ini tanpa sentuhan keajaiban.
Saya merasa kehidupan saya di mata TUHAN tidak jauh berbeda dengan Forrest Gump. Sama-sama bodoh. Sama-sama tidak mengerti. Hanya, ada sebuah perbedaan besar di sini. Forrest tidak pernah mengklaim karena “saya”, malah ia selalu menggunakan kata “and just like that…” atau dengan kata lain
“bukan saya”, tapi sesuatu di luar sana. Sesuatu yang berada jauh mengatasi
logika.
Saya…ehmmm sebaliknya. Saya begitu sering menampilkan
seolah-olah semua keberhasilan ini karena otak saya. Karena kecerdasan saya,
karena banyaknya buku yang saya baca, karena strategi-strategi jitu yang sudah
saya rancang. Ini adalah kesuksesan saya!!!
Tanpa menyisakan syukur terhadap semua keajaiban yang selalu menopang saya. Tidak ada ruang untuk berterima kasih. Bagaikan membusungkan dada yang keropos oleh TBC.
Benar-benar memalukan.
Saya merasa mereka, orang-orang pintar itu, juga mengalami hal yang sama. Hidup menyembunyikan petunjuk, kemudian rencana-rencana mereka mempermainkan diri mereka sendiri.
Sebagian dari mereka menyembunyikan semua itu laksana aib. Tapi, yang lain, setelah mereka sukses, kaya, dan makmur mempertontonkan semua itu sebagai bahan pelajaran buat yang lain. Seolah-olah mereka berhasil mengatasi semua itu dengan kekuatan mereka sendiri.
Dan, peramal-peramal itu tidak jauh berbeda. Mereka hanya bisa menerawang, berkicau tentang hidup orang lain. Si J akan meninggal. Bencana begini akan terjadi. Musibah itu akan terjadi. Kamu cocoknya di air. Kamu di udara, dan seterusnya.
Namun, cobalah bertanya tentang apa yang akan terjadi pada hidup mereka sendiri. Tentulah, mereka hanya bisa diam membisu. Karena, semua itu tersembunyi bagi mata mereka.
***
Ah…hidup memang menjadi demikian memusingkan, terutama jika saya membiasakan diri menghadapinya hanya dengan otak semata-mata. Untunglah, TUHAN memberikan sebuah senjata lain yang jauh lebih dahsyat yaitu hati.
Dengan hati, saya tahu bahwa saya tidak akan pernah berjalan seorang diri. Dengan hati, hidup terasa begitu indah. Dengan hati pulalah, hidup menghadirkan sentuhan-sentuhan penuh keajaiban.
Terima kasih “keajaiban”…terima kasih sudah menutupi “kebodohan” saya
sedemikian lama.
Sumber: Entrepreneur Camp