Serama
Kian mungil badannya, kian bagus kualitasnya. Semakin bagus kualitasnya, semakin mahal harganya yaitu mencapai Rp20 juta/ekor! Itulah Ayam Serama
e-preneur.co. Ayam Serama (baca: Serama, red.) memiliki ukuran badan hanya sebesar kepalan tangan pria dewasa. Selain itu, bobot tubuhnya tidak lebih dari 500 gr. Karena itu, ayam yang berasal dari Malaysia ini pun dikukuhkan sebagai ayam paling kecil di dunia.
Rudiasfie Sjofinal menjelaskan bahwa menurut Asosiasi (Ayam) Bantam Amerika dan Asosiasi (Ayam) Bantam Internasional, Serama merupakan ayam terkecil di kelas (Ayam) Bantam. Padahal, Bantam itu sendiri identik dengan ayam yang berukuran kecil atau mini.
“Dengan demikian, Serama diklaim sebagai ras ayam terkecil di muka bumi ini,” kata Sekretaris Jendral P2ASI (Persatuan Pelestari Ayam Serama Indonesia), sebuah wadah yang menampung para penggemar Ayam Serama.
Namun, ia melanjutkan, Serama berbeda dengan Ayam Kate (baca: Kate, red.). Sebab, Kate identik dengan ayam yang cebol atau cacat. Sedangkan Serama, bila dilihat secara keseluruhan, memiliki bentuk tubuh yang proporsional tapi serba kecil.
“Maklum, dilihat dari silsilahnya, Serama merupakan ayam hasil rekayasa genetika,” jelas pria, yang akrab disapa Rudi ini. Ya, dilihat dari cikal bakalnya, Serama merupakan unggas hasil kreativitas Wee Yean Een.
Pada tahun 1971, “penghulu” ayam dari negeri jiran itu menyilangkan Ayam Kapan (Kate Kaki Panjang) dengan Ayam Modern Game Bantam. Dua tahun kemudian, ia menyilangkan keturunan pertama ayam hasil silangan tersebut di atas dengan Ayam Sutera (Silkie Bantam).
Masih kurang puas, Wee Yean Een menyilangkan lagi keturunan kedua ayam persilangan tersebut dengan Kate Jepang. Akhirnya, pada tahun 1988, “mak comblang” ayam itu berhasil “menciptakan” Serama.
Ayam imut ini memiliki gaya dan penampilan gagah laiknya Sri Rama (superhero dalam kisah pewayangan Ramayana, red.). Tapi, karena lidah Wee Yean Een cadel, maka Sri Rama pun terdengar seperti Serama dan jadilah ia dikenal sebagai Ayam Serama.
Pada tahun 1990, ayam mini ini diperkenalkan ke publik melalui kontes pertama yang diselenggarakan di Perlis. Kontes sejenis, juga banyak digelar di Thailand.
Nah, melalui Negara Gajah Putih itulah, masyarakat Indonesia mengenal ayam yang suka petantang-petenteng dan berkokok lantang ini. Tepatnya, ketika dipertandingkan pada tahun 2004 di Ancol, Jakarta Utara.
Pasarnya sangat luas
Rudi memulai usaha Serama pada tahun 2002, sebagai broker. Dalam arti, mengambil ayam ini di Malaysia dan lalu menjualnya kembali ke Tanah Air. Dalam perkembangannya, ia pun menjadi penangkar.
“Saya pernah menjual Serama dari penangkaran saya seharga Rp15 juta/ekor. Padahal, saat itu ia belum maksimal. Sebenarnya, kalau lagi booming, yang belum maksimal pun bisa laku sampai Rp50 juta/ekor!” ungkap pemilik Rudi Pelung Farm, yang terletak di kawasan Pondok Bambu, Jakarta Timur, ini.
Sesuai dengan juklak (petunjuk pelaksanaan) dari Malaysia, ia melanjutkan, mahalnya harga itu terletak pada keindahan bentuk tubuh, bulu, dan ekor, serta warna bulu dan perawatannya. “Serama yang diternakkan harus memiliki dada bidang (lebar), pinggang ramping, komposisi sayap menjuntai tegak lurus, ekor pedang, dan dapat berdiri tegak,” jelas arsitek dari Universitas Pancasila, Jakarta, ini.
Selain itu, memiliki bobot tubuh tidak lebih dari 500 gr, tapi bukan karena didietkan. “Malahan, idealnya, Serama dewasa (umur 7 bulan–1 tahun) dan berada di kelas A, memiliki bobot hanya 250 gr,” tambahnya.
Dengan berbagai kelebihan itu, ia laku dijual hingga Rp20 juta/ekor. Bahkan, jika ia memenangkan lomba, harga jualnya mencapai Rp125 juta/ekor! Sedangkan anak-anak dari sang juara dapat dijual dengan harga Rp3 juta−Rp4 juta per ekor! Harga-harga yang terkesan tidak masuk akal.
“Tapi, Serama adalah seni, sekaligus hobi yang unik dan langka. Karena, memiliki tingkat kesulitan tinggi dan rentang waktu yang panjang dalam pembudidayaannya,” ucap pria, yang pernah menjual Serama-nya ke Medan, Palembang, Lampung, Surabaya, dan Bali.
Ya. Memang tidak mudah mengembangbiakkan ayam yang berciri khas show off dengan cara membusungkan dada dan menarik kepalanya ke belakang, hingga secara keseluruhan akan tampak seperti huruf S itu. Sebab, ia mempunyai pinggang ramping. Imbasnya, kantung telur si betina pun kecil.
Sehingga, pertama, kemungkinan mandul. Kedua, kemungkinan telur yang dihasilkannya sangat kecil (hanya sebesar kelereng, red.) dan dipastikan gagal menetas.
Ketiga, tidak mampu menghasilkan telur dalam jumlah banyak (maksimal 4−5 butir, red.). Keempat, setelah menetas, belum tentu anak-anak ayam itu memiliki bentuk tubuh seperti indukannya. Bahkan, mungkin justru cacat, misal pinggangnya melengkung.
“Solusinya, gunakan betina berukuran sedang. Konsekuensinya, ketika kuthuk-kuthuk (Jawa: anak ayam, red.) itu menetas, mereka harus diseleksi lagi. Yang bagus dijadikan indukan, yang tidak bagus langsung dijual,” katanya.
Serama betina, Rudi menambahkan, sudah siap dikawinkan pada umur enam bulan. Dia akan aktif berproduksi sampai berumur dua tahun.
“Jika di umur itu kondisinya masih bagus, ia masih bisa dilombakan. Jika sebaliknya ya dikoleksi saja. Ibarat mengoleksi lukisan kuno,” ujar mantan karyawan sebuah perusahaan kontraktor ini.
Prospeknya? “Sangat bagus! Karena, sangat langka. Saya pun kewalahan menerima permintaan. Maklum, meski unggas, Serama bukan cuma mainan khas kaum Bapak, melainkan juga para Ibu dan anak-anak. Sebab, saking mininya, ia bisa dikantongi dan dijadikan binatang peliharaan seperti kucing. Selain itu, juga sering dijadikan buah tangan untuk kolega. Singkat kata, pasarnya lebih luas,” pungkasnya.
Catatan
Ada tiga step yang harus dijalankan dalam pengembangbiakkan Ayam Serama:
- Menyediakan kandang untuk indukan
Jika memakai pola 1:3 (satu jantan, tiga betina), maka sebaiknya membuat kandang berukuran 60 cm atau 80 cm x 1,2 m.
- Menyediakan kandang untuk mengeram, yang sekaligus memisahkan betina yang sedang mengeram dengan si jantan.
- Menyediakan kandang untuk telur-telur yang telah menetas.
- Sedangkan untuk lahannya, minimal seluas 60 m x 60 m.
- Dalam satu periode perkawinan, dihasilkan 4–5 ekor Serama siap jual. Dalam setahun, terjadi minimal lima periode perkawinan. Sehingga, dihasilkan 25 ekor Serama siap jual. Dari lima periode perkawinan tersebut, kemungkinan munculnya beberapa Serama unggulan sangat besar yang notabene memiliki harga jual tinggi. Tapi, pada umumnya, peternak Serama tidak business oriented. Mereka akan menunggu hingga muncul penawaran tertinggi.
- Dalam pengembangbiakkan Serama, tidak perlu lagi investasi untuk indukan pada periode-periode perkawinan berikutnya. Sehingga, biaya produksi dapat dikurangi. Selain itu, pengembangbiakannya dapat ditangani sendiri.