Kelom
(D & A Artshoes)
Kelom, sebenarnya, hanyalah bentuk lain dari bakiak. Tapi, sandal kayu itu berubah menjadi aksesori yang mampu memperindah kaki di tangan Ade Eva. Selain itu, dengan bahan baku ramah lingkungan, konsumen macanegara pun menerimanya dengan tangan terbuka. Imbasnya, D & A Artshoes pun cukup mudah memasarkannya
e-preneur.co.. Masalah Pemanasan Global (Global Warming) membuat masyarakat ingin ikut berpartisipasi mengatasinya. Salah satunya yaitu dengan memproduksi atau menggunakan berbagai produk yang ramah lingkungan(eco friendly). Misalnya, produk-produk berbahan baku kayu.
Di sisi lain, masyarakat mancanegara, terutama Eropa dan Amerika Serikat, boleh dikata masyarakat yang paling getol dengan tren produk-produk natural. Terbukti, sejak beberapa waktu lalu, mereka menyukai model-model sepatu atau sandal kayu yang menggunakan tumit (mirip kelom, red.).
Kondisi ini ditangkap dengan manis oleh Ade Eva, yang sudah berkutat dengan bisnis sepatu sejak tahun 2000-an. “Sebenarnya, saya sudah membuat ‘kelom’ sejak tahun 2006. Bahkan, saya sudah mengekspornya. Tapi, baru booming ketika isu Global Warming sedang gencar-gencarnya,” kisah Ade.
Namun, “kelom” buatan Ade berbeda dengan kelom pada umumnya, terutama bagian upper-nya. Selain itu, menggunakan kulit sapi dan kambing jenis suede, serta kayu mahoni dan albasia.
“Kayu mahoni memiliki kualitas yang bagus dan lebih kuat, walau agak berat. Sedangkan kayu albasia, lebih ringan tapi ringkih. Kayu-kayu ini, tidak digunakan para pengrajin kelom yang lain,” jelas pemilik dan Managing Director D & A Artshoes ini.
Di samping itu, “kelom” yang pengerjaannya dilakukan oleh para pengrajin kelom di Tasikmalaya itu juga berbeda dalam teknik pengecatan, pengukiran, dan pembakaran. Sehingga, hasilnya terlihat berbeda total dengan kelom-kelom lain. Imbasnya, “kelom” yang tidak bersifat pasaran ini, dipatok dengan harga terbilang mahal.

“Di sisi lain, saya ingin mengangkat pamor kelom. Apalagi konsumen, terutama konsumen dari mancanegara, mau menerimanya. Jadi, saya bisa sedikit lebih mudah mengekspornya,” ujar sarjana ekonomi dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, ini.
Ya, “kelom” berukuran 35–45 ini sangat disukai konsumen dari Jepang. Karena, mirip dengan geta atau sandal kayu ala Jepang. Selain itu, juga disukai Orang-orang Hawaii. Imbasnya, mantan karyawati BAPPENAS ini setiap bulan secara rutin mengirimkan sekitar 1.500 pasang “kelom” ke kedua negara tersebut. Sementara pengiriman tidak rutin dilakukan untuk Malaysia dan Jerman.
Sedangkan konsumen lokal yang awalnya menanggapi dengan adem ayem, pada akhirnya juga tertarik untuk membeli “kelom-kelom” yang dibuat dalam jumlah terbatas (limited edition) di mana untuk setiap modelnya hanya dibuat 50 pasang ini. Pasar lokal menyerap sekitar 600–800 pasang. “Khusus untuk pasar lokal, ‘kelom’ saya juga disebarluaskan oleh sebuah perusahaan di Jakarta yang berfungsi sebagai wholesaler,” kata kelahiran Balikpapan, Kalimantan Timur, ini.
Untuk memperluas pemasaran, ia juga aktif mengikuti berbagai promosi ekspor impor yang bersifat gratis, tentunya. Selain itu, ia juga menyarankan bahwa pertama, jika ingin fokus di bisnis sepatu, maka ikutilah pameran-pameran yang berkaitan dengan sepatu.
Sepatu berbahan baku kayu sangat diterima di dunia internasional
Sebab, kebanyakan pengunjung ke pameran-pameran tersebut, memang datang untuk mencari dan melihat langsung apakah sepatu-sepatu yang dipamerkan itu, sesuai dengan keinginan mereka. Termasuk, kualitas dan materialnya. Kedua, ikuti trennya.
“Dengan mengikuti berbagai pameran, kita tidak cuma mempromosikan produk. Tapi, juga memperoleh tambahan pengetahuan bahwa sebenarnya produk kita tidak kalah dengan produk luar, hanya belum banyak yang branded,” ujar perempuan, yang produk-produknya sering dibeli konsumen dari mancanegara untuk kemudian dijual lagi baik dengan mencantumkan maupun menanggalkan merek D & A Artshoes ini.
Kiat yang lain yaitu bila memiliki dana masuklah ke dalam stan produk-produk branded. Perlu diketahui bahwa saat pameran di luar negeri, sepatu-sepatu itu dikelompok-kelompokkan ke dalam stan produk branded, produk Eropa, dan produk Asia.
Dengan masuk ke stan produk branded, setidaknya, pengunjung sudah berpikir bahwa produk tersebut bagus atau sudah punya nama. Meski, tidak menutup kemungkinan pengunjung tetap akan memilih partner dari stan yang lain.
Selanjutnya, carilah support dari lembaga atau instansi tertentu, seperti Asosiasi Persepatuan Indonesia, Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi & UKM, dan lain-lain mengingat pameran ke luar negeri itu mahal.

Untuk produknya, ia melanjutkan, harus terus melakukan inovasi. “Untuk kelom, misalnya, agar tetap eksis, kita harus kreatif dengan terus menghasilkan banyak desain dan model. Contoh, membuat kelom ber-high heel. Dengan bahan baku kayu, ia tidak akan sekuat jika menggunakan bahan-bahan lain. Nah, agar kuat harus dikombinasikan dengan besi,” ungkapnya.
Yang penting, ia menambahkan, bentuk dasarnya tetap kelom, sedangkan modelnya dapat dimodifikasikan. Bahan bakunya juga harus tetap kayu. Karena, sepatu berbahan baku kayu sangat diterima di dunia internasional. “Intinya, untuk menembus pasar mancanegara, gunakan bahan baku yang ramah lingkungan!” tegas peraih penghargaan The Indonesian Best Professional of The Year (2006).