Home / Agro Bisnis / Ada Barang, Ada Kualitas, Ada Harga

Ada Barang, Ada Kualitas, Ada Harga

Ikan Cupang

Dalam bisnis Cupang, berlaku “hukum” ada barang, ada kualitas, ada harga. Sebab, ikan yang digemari orang tanpa pandang bulu ini, memang memiliki harga jual lebih mahal dibandingkan ikan hias lain. Apalagi, yang sudah menang kontes

e-preneur.co. Ikan Cupang (baca: Cupang, red.) memiliki habitat asli di persawahan atau anak-anak sungai yang berair dangkal dan berhumus banyak. Sementara makanannya berupa jentik nyamuk. Untuk mengembangbiakkannya, cukup merogoh kocek Rp5.000,- atau Rp1.000,- untuk membeli sepasang indukannya.

Namun, ketika sudah dibisniskan, harga jualnya bisa mencapai Rp600.000/ekor! Bahkan, setiap bulan, Thailand pernah memasarkan 1.500.000 ekor satwa air ini ke seluruh dunia, dengan harga mencapai AS$50 per ekor!

Mengapa ikan alam ini bisa begitu hebat? Ternyata, dibandingkan ikan hias lain, ikan asli Indonesia (sumber lain menyebutkan, Cupang juga terdapat di seantero jagat, red.) yang banyak ditemui di Pulau Jawa, Kalimantan, Sumatra, dan Sulawesi ini, memiliki bentuk yang sangat bagus. Seperti, jenis halfmoon yang bentuk tubuhnya mirip bulan sabit.

Selain itu, ikan ini juga mudah dipelihara. Karena, ia hanya memerlukan sedikit oksigen.

Ikan yang bernama Latin Betta Sp ini simpel. Karena, sebagai pemakan daging, ia cukup diberi makan lima nyamuk mati dalam sehari, jentik, kutu air, cacing, atau bahkan seiris kecil daging ayam goreng atau rendang yang sedang kita santap.

Talking gourami atau croaking gourami, begitu orang bule menyebutnya, ini dapat ditaruh di mana pun. Sebab, panjang badannya hanya 7 cm–15 cm.

Ikan ini lebih kuat daripada ikan hias pada umumnya. Lantaran, ia mampu bertahan hidup selama dua tahun. Last but not least, sebagai sebuah produk bisnis, Cupang gampang pula dipasarkan.

“Cupang dapat pula dikembangbiakkan dengan menggunakan seleksi genetis. Sehingga, Cupang-cupang yang saya budidayakan dipastikan lebih bagus,” kata Doddy Ito, hobiis Ikan Cupang.

Dengan mengawinkan indukan Cupang dengan kualifikasi tertentu, ia menambahkan, akan diperoleh anak-anak Cupang yang lebih bagus. “Contoh, saya pernah mengawinkan sepasang Cupang Hitam. Hasilnya berupa Cupang Merah,” jelas Doddy, saat ditemui di rumahnya di kawasan Bambu Apus, Jakarta Timur.

Seleksi genetik ini, ia melanjutkan, bukan menciptakan genetika baru. “Miriplah dengan Hukum Mendel di mana terdapat sifat menurun dalam keturunan suatu organisme. Melalui seleksi genetik ini, juga dapat ditentukan bibit, bebet, dan bobot Cupang yang kita inginkan. Artinya, kalau ingin memiliki Cupang bagus, kita harus ‘mencetaknya’ dari indukan Cupang yang bagus pula,” ungkap konsultan manajemen ini.

Namun, ia hanya “menciptakan” Cupang-cupang yang benar-benar dibutuhkan pasar. Sementara Cupang yang bagus menurut pasar yaitu yang simetris atau proporsional antara kepala, buntut, dan bagian-bagian lain di tubuhnya.

“Kecuali untuk warna, saya masih dapat memainkannya,” ujarnya. Sekadar informasi, pasar cuma mau menerima tiga jenis Cupang untuk kontes yaitu halfmoon, serit (sisir), dan crowntail.

Seleksi genetik, alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Indonesia, Jakarta, ini menambahkan, juga tidak dapat dilakukan oleh semua pebisnis Cupang. Karena, pertama, memang harus bisa “bermain” di sini.

“Kedua, saya melakukannya tidak di parents stock (indukan awal), tapi mungkin di filial (keturunan) ke 1, 2, 3, dan seterusnya yang saya atur sedemikian rupa. Jadi, rencanakan dari awal, Cupang seperti apa yang kita inginkan,” kata pemilik 100.000 ekor Cupang ini.

Lantaran menggunakan seleksi genetik itu pula, ia tidak pernah menjual Cupang betinanya. Sebab, pria yang mulai berbisnis Cupang sekitar tahun 2006 ini membutuhkan waktu enam bulan untuk setiap keturunan Cupang.

Sedangkan untuk mendapatkan keturunan Cupang seperti yang ia inginkan, dibutuhkan waktu 60 bulan atau pada filial ke-10. “Jadi, Cupang betina itu lebih baik saya musnahkan daripada dilepas ke pasar,” tegasnya.

Kedua, untuk menghindari rusaknya harga pasar. Misal, ia “melepas” Cupang betinanya ke pasar. Lalu, oleh pembelinya dijadikan indukan. Selanjutnya, anak-anak yang “dilahirkan” bisa saja dijual dengan harga Rp1.000,-/ekor.

“Padahal, saya menjualnya dengan harga Rp15 ribu/ekor. Otomatis, bisnis Cupang saya pun mati. Walau, memang tidak semudah dan secepat itu si pembeli dapat ‘menciptakan’ anak-anak Cupang, seperti yang saya hasilkan,” lanjutnya.

Gampang dipasarkan

Ketiga, untuk menghindari persaingan. Cupang betina adalah kunci dari bisnis ini. Sebab, bila Induknya dijual akan terjadi adu keindahan dari anak-anak yang dihasilkannya, meski dimiliki oleh petani atau pedagang Cupang yang berbeda. Sebaliknya, jika sang Induk tetap disimpan, anak-anak Cupang yang ada di pasar akan berbeda satu sama lain.

Harga Cupang, ia menambahkan, ditentukan dengan ungkapan ada barang, ada kualitas, ada harga. Sebab, dibandingkan ikan hias lain, ikan yang digemari orang tanpa pandang bulu ini memang lebih mahal. Apalagi, yang sudah menang kontes.

Masalah harga, ia melanjutkan, sangat menentukan dalam bisnis Cupang. Karena, bila dijual dengan harga murah, Rp1.000,- misalnya, ikan ini akan segera ludes dibeli.

“Tapi, kalau dijual dengan harga Rp15 ribu misalnya, ikan-ikan ini akan terjual dengan lebih baik dan petani Cupang masih mempunyai sisa untuk dikembangbiakkan lagi,” pungkas Doddy, yang menetapkan harga Rp15 ribu–Rp100 ribu untuk setiap Cupangnya, sementara modal yang ditanamkan cuma Rp1.000,-!

Catatan

Bila Anda ingin membudidayakan Cupang:

  • Belajarlah terlebih dulu, bagaimana caranya mengawinkan Cupang hingga Cupang betina bertelur. Untuk itu, sebaiknya Anda membeli sepasang Cupang (sebagai indukan, red.).
  • Jika “perkawinan” mereka berhasil, akan dihasilkan maksimal 800 butir (rata-rata 100–200 butir) telur Cupang, yang nantinya semua akan menetas.
  • Cupang tidak memerlukan makanan dan tempat khusus, serta tidak memerlukan tenaga kerja.
  • Kembangkan lagi dengan cara mengawinkan anak-anak Cupang tersebut. Jadi, tidak perlu lagi membeli indukan.
  • Kendala yang biasa dihadapi yaitu masalah air, makanan, media (tempat), suhu, dan penyakit.
  • Bila gagal, jangan pernah kapok! Beli lagi! Cari tahu apa masalahnya dan perbaiki kesalahan-kesalahan tersebut!

Check Also

Menyehatkan Konsumennya, Menguntungkan Petaninya

Beras Hitam Organik Meski buruk rupa, tapi kaya manfaat kesehatan. Tidak mengherankan, bila peminat Beras …