Home / Celah / Pasarnya Masih Terbuka Sangat Lebar

Pasarnya Masih Terbuka Sangat Lebar

Biola Ukir

Indonesia memiliki jenis kayu 10 kali lipat lebih banyak ketimbang negara-negara pengekspor biola. Tapi, kebutuhan pasar biola di Jabodetabek 100% dipenuhi oleh produk impor. Nur Amin pun bereksperimen membuat biola sendiri dengan menggunakan berbagai macam kayu. Hasilnya, bukan hanya sound yang lebih baik, melainkan juga adanya ornamen ukiran dari berbagai daerah

e-preneur.co. Muhammad Nur Amin melakukan penelisikan tentang kebutuhan pasar terhadap biola di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Hasilnya, ternyata sebanyak lima ribu unit setiap bulannya dan itu 100% dipenuhi oleh produk impor.

Ia prihatin dengan kondisi ini. Mengingat, Indonesia memiliki enam ribu jenis kayu atau 10 kali lipat lebih banyak ketimbang negara-negara pengekspor biola.

Apalagi, kayu-kayu yang menjadi bahan baku utama pembuatan biola itu terbilang murah harganya, gampang dibudidayakan, dan cukup berkualitas. Di sisi lain, sebagai pemilik dan pengajar biola di sekolah musik Madani Violin Institute, ia melihat bahwa para muridnya sering terkendala oleh ketersediaan biola.

Dengan latar belakang itulah, ia bereksperimen membuat biola sendiri dengan menggunakan berbagai macam kayu. Hal itu, juga menggiringnya untuk melakukan eksperimen tentang sound of wood bekerja sama dengan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB).

“Akhirnya, ketemulah saya dengan kayu-kayu yang berpotensi menjadi biola. Dan, setelah ditelusuri, ternyata kayu-kayu itu terdapat di hutan-hutan milik pemerintah atau sudah dibudidayakan. Salah satunya yakni Kayu Agathis, yang saya temui di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi,” tutur Nur Amin, sapaan akrabnya.

Pohon-pohon Agathis di sana, sarjana S-2 di bidang perikanan dan ilmu kelautan (PIK) IPB ini melanjutkan, sudah tumbuh besar dengan diameter lebih dari 40 cm. Menurut fenomena, pohon ini sering atau gampang roboh secara alamiah. Mengingat, akarnya rapuh.

“Hal ini, menimbulkan inspirasi akan misi konservasi sekaligus pemuliaan. Sehingga, akan diperoleh added value yang luar biasa. Sebab, jika dijual, harga per kubiknya hanya sekitar Rp1,5 juta. Sedangkan jika dibikin biola, akan menghasilkan 500 unit dengan harga rata-rata Rp2 juta. Hasil akhirnya yaitu Rp1 milyar!” ungkapnya.

Di sisi lain, meski biola-biola yang dibuat Nur Amin ini terbuat dari pohon yang tumbang, tapi secara sound justru lebih baik daripada biola-biola yang dibuat dari pohon-pohon yang ditebang. Di samping itu, alat musik gesek ini bukan sekadar biola.

Dikatakan begitu, sebab, staf pengajar di Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK-IPB ini membubuhi biolanya dengan ornamen ukiran dari berbagai daerah, seperti Jawa, Bali, dan Kalimantan. Bukan cuma itu, ia juga melapisi hard case (tempat biola)nya dengan kain-kain Nusantara, misalnya ulos, batik, tapis, dan lain-lain agar semakin berbeda dengan biola pada umumnya.

Biola-biola yang diberi “merek” Madani Handmade Violin (Madani Violin) ini, dibaginya menjadi tiga klasifikasi yaitu untuk pemula/beginner class, professional class, dan collection class. Harganya? Jauh lebih murah ketimbang biola handmade pada umumnya.

Konservasi, pemuliaan tanaman, dan peluang usaha yang menjanjikan

Produk ini juga bersifat custom. Tapi, untuk klasifikasi beginner juga dibuat secara masal, guna persediaan dan memenuhi permintaan pasar yang masih sebatas di sekolah-sekolah baik sekolah umum maupun sekolah musik, dari teman-teman sesama musisi, kalangan akademisi, dan para tamunya yang mayoritas berasal dari Jakarta dan Bogor.

“Pemasaran memang masih saya batasi. Karena, pertama, produk ini sensitif. Bila konsumen melihat ada sesuatu yang tidak layak dalam produk ini, maka ia akan ditinggalkan selamanya,” kata Nur Amin, yang membangun usahanya dengan modal bertahap sebesar Rp50 juta−Rp80 juta.

Kedua, ongkos produksinya terbilang besar. “Sehingga, saya belum sanggup mass production. Setiap bulan, kami rata-rata memproduksi 30 unit saja di mana 25 unitnya diserap pasar,” lanjutnya.

Namun, sebaliknya dengan ketersediaan bahan baku. Sebab, dengan menjalin kerja sama dengan Fakultas Kehutanan IPB dan Hutan Pendidikan Gunung Walat, pria yang membangun workshop-nya di Desa Ciomas Rahayu, Ciomas, Bogor, pada tahun 2007 (mulai berproduksi tahun 2008, red.) ini telah membentuk departemen yang bertugas mengelola dan mengolah sedemikian rupa agar Kayu Agathis, khususnya, selalu tersedia.

Di samping itu, dengan menjadi ikon konservasi kayu dan marketing untuk be wise terhadap hutan yang diwujudkan melalui biola ukirnya, kelahiran Pati, 30 Mei 1984 ini juga dapat memperoleh kayu-kayu yang dapat pula dibentuk menjadi woodcraft ini secara gratis. “Lebih dari itu semua, pasar biola lokal masih terbuka sangat lebar. Apalagi, kini, biola telah menjadi alat musik yang common,” pungkasnya.

Check Also

Banyak Peminatnya

Rental Portable Toilet Kehadiran toilet umum—terutama yang bersih, nyaman, wangi, dan sehat—menjadi salah satu kebutuhan …