Home / Inovasi / Tidak Terburu-buru Lagi Menyantap Gudeg

Tidak Terburu-buru Lagi Menyantap Gudeg

Gudeg Kalengan (Kusuma Wicitra)

Tinggal di luar negeri, tapi kangen gudeg? Bukan masalah lagi. Sejak beberapa tahun lalu, gudeg sudah dapat ditemui dalam bentuk kalengan seperti kornet. Sehingga, masa kadaluarsanya relatif sangat lama. Imbasnya, gudeg kalengan pun lebih leluasa merambah mancanegara

e-preneur.co. Belum merasa afdal, bila belum menyantap gudeg. Begitulah, yang dirasakan para turis yang berkunjung ke Yogyakarta. Ya, Yogyakarta memang identik dengan masakan yang berasa manis ini. Sekali pun, gudeg juga masakan khas dari Solo.

Sayangnya, meski sudah mengalami proses pemanasan berulang-ulang, bahkan hingga dikeringkan, masakan siap saji ini hanya mampu bertahan 2‒3 hari setelah diangkat dari kompor untuk pertama kalinya. Sehingga, ketimbang tidak makan sama sekali atau menyantap yang sudah dihangatkan berkali-kali, mereka “terpaksa” makan di tempat.

Namun, hal ini, tentu saja tidak dapat dilakukan oleh Orang-orang Jawa di mancanegara yang kangen dengan masakan ini. Kecuali, masakan berbahan dasar buah nangka muda ini dikalengkan, seperti kornet.

Karena, dengan dikalengkan, maka masa kadaluarsa gudeg dapat diperpanjang hingga satu tahun atau bahkan lebih. Sementara dari sisi bisnis, gudeg pun dapat merambah mancanegara.

Masa kadaluarsa yang begitu lama, dapat terjadi karena dalam proses memasak gudeg menggunakan bahan baku yang benar-benar segar. Lalu, dalam tempo kurang dari 12 jam setelah masakan matang, segera dimasukkan ke dalam kaleng untuk menghindari hilangnya kesegaran bahan baku.

Kemudian, sebelum kaleng ditutup, udara di dalam kaleng dikeluarkan dengan suatu teknologi. Selanjutnya, gudeg yang telah berada di dalam kaleng dimasukkan ke dalam mesin sterilisasi bersuhu 120° C dan dengan tekanan 45 bar. Sehingga, bakteri-bakteri di dalam kaleng akan mati.

Sebelum dipasarkan, gudeg akan dikarantina selama dua minggu untuk mengetahui ada tidaknya perubahan pada kaleng. “Semacam quality control. Sebab, ini produk makanan. Jadi, sangat sensitif,” jelas Agus Sularso.

Hal ini, kreator gudeg kalengan ini menambahkan, sudah diperhitungkan secara matang oleh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) sebagai lembaga penelitian, dalam hal ini pangan. Seperti, ketika lembaga ini mengalengkan Ikan Tuna.

Ya. Untuk mengalengkan gudeg, Kelompok Tani Kusuma Wicitra, sebagai pihak pembuat gudeg, menjalin kerja sama dengan LIPI Yogyakarta.

Masa kadaluarsa dapat diperpanjang hingga satu tahun lebih

“Awal kerja sama ini dimulai, ketika mesin pengalengan Ikan Tuna yang dimiliki LIPI Lampung menganggur. Imbas dari berkurangnya tangkapan ikan oleh nelayan,” kisahnya.

Lalu, ia melanjutkan, mesin tersebut ditarik ke LIPI Yogyakarta dan dialihfungsikan sebagai mesin pengalengan makanan. “Untuk itu, harus dilakukan perubahan di sana-sini atau di-setting ulang. Apalagi, mesin itu juga sudah terlalu lama tidak dipakai,” ujarnya. 

Kebetulan, Agus menambahkan, LIPI Yogyakarta mengenalnya saat masih bekerja di PT United Can, sebuah perusahaan pengalengan yang berkantor pusat di Kalideres, Jakarta Barat. “Waktu itu, saya ditempatkan di cabang Yogyakarta. Setelah saya pensiun, LIPI Yogyakarta menghubungi saya untuk membantu mereka membuat atau lebih tepatnya, membetulkan mesin pengalengan tersebut,” tutur alumnus ATMI (Akademi Tehnik Mesin Industri) Surakarta ini.

Selanjutnya, LIPI Yogyakarta memberi peluang kepada Agus untuk memasukkan produknya dengan sistem pengalengan. Agus pun teringat pada Kelompok Tani Kusuma Wicitra di mana sang istri menjadi salah satu anggotanya.

Kelompok tani yang berlokasi di kawasan Giwangan, Yogyakarta, ini sering mengadakan rapat dan masak-memasak di rumahnya. Termasuk, memasak gudeg. “Lalu, saya menawarkan kepada mereka untuk mengalengkan gudeg yang biasa mereka masak. Mereka setuju,” ucapnya.

Tahun 2006, setelah mengalami proses pengalengan seperti tersebut di atas, gudeg kalengan (yang di dalamnya juga terdapat telur puyuh dan sambal goreng krecek) dipasarkan untuk pertama kalinya. Jumlahnya hanya 250 kaleng yang masing-masing berbobot 250 gr. Disusul dengan pemasaran puyuh bacem kalengan sebanyak 100 kaleng dengan bobot yang sama.

Namun, dalam pemasarannya, Kusuma Wicitra, begitu gudeg kalengan ini dinamai, yang sudah mengantongi izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan sertifikat halal dari MUI (Majelis Ulama Indonesia), terbentur pada Sertifikat Produk Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT) dari dinas kesehatan. Sehingga, belum bisa masuk ke pasar umum (supermarket atau pusat oleh-oleh), cuma bisa dipasarkan secara gethok tular (Jawa: dari mulut ke mulut, red.).

Ironisnya, kalau boleh dibilang begitu, belum ada pembelian dari luar kota, tapi banyak pemesanan dari luar negeri meski belum rutin. Seperti, pesanan dari Lebanon sebanyak 500 kaleng untuk ransum para prajuritnya, dari Kanada sebanyak 250 kaleng, dan dari Belanda sebanyak 150 kaleng.

Untuk mengatasi pemasaran dalam negeri, pada pertengahan tahun 2008, Agus menjalin kerja sama dengan Contama (Conrad Niaga Tama) Group. Perusahaan yang berlokasi di Jalan Bausasran, Yogyakarta, ini merupakan distributor beberapa produk oleh-oleh baru.

Pada awalnya, Contama Group yang melayani pembelian by online ini hanya sebagai penghubung dengan pembeli ritel. Dalam perkembangannya, ketika jumlah pembeli semakin banyak yaitu dari sekitar 30–75 kaleng per minggu menjadi 100–150 kaleng per minggu, sementara kapasitas produksi cuma 150–200 kaleng, maka perusahaan ini pun menjadi distributor tunggalnya. Di samping itu, Contama Group tidak lagi melayani permintaan ritel, tapi menggunakan sistem booking atau pemesanan.

“Melalui beberapa event yang pernah kami ikuti, tanggapan masyarakat cukup bagus dan mereka menginginkan agar lebih variatif. Bertolak dari hal ini, kami berharap ke depannya produk ini akan menjadi produk unggulan di tingkat nasional. Bahkan, hingga tingkat dunia,” ujar Yozie Widya, Chief Executive Officer Contama Group.

Bukan tidak mungkin harapan ini akan terwujud. Sebab, selain sangat diminati oleh mereka yang tinggal di Jakarta, Surabaya, Malang, dan Palembang, masakan yang bisa langsung disantap setelah tutup kalengnya dibuka atau terlebih dulu dikukus beserta kalengnya (kalau ingin menyantapnya dalam kondisi hangat) ini juga dikirimkan ke Timur Tengah, Belanda, dan beberapa negara di Asia Tenggara.

Check Also

Cucian Bersih, Ekosistem Terjaga

Deterjen Minim Busa Isu ramah lingkungan membuat para pelaku usaha terus menggali ide untuk menciptakan …