Sofian Tjandera (Chief Executive Officer ILMCI)
Meski pernah berada di titik nadir karena pengkhiatan seorang teman dan mengalami berbagai kegagalan dalam bisnis, tapi hal itu tidak membuat Sofian menjadi pendendam atau terpuruk. Ia justru terlecut untuk bangkit. Sebab, ia sangat yakin kegagalan yang pernah dialami bukan indikasi akan mengalami kegagalan lagi

e-preneur.co. Kesuksesan adalah kegagalan yang tertunda. Bagi sebagian orang, ungkapan itu tak lebih daripada kalimat pelipur lara. Tapi, bagi sebagian yang lain, salah satunya Sofian Tjandera, ungkapan itu justru dianggap sebagai pemicu sekaligus pendorong untuk meraih sukses yang saat itu belum mampu digenggamnya.
Sekitar tahun 1986, Sofian memulai karirnya sebagai karyawan di bagian akunting Columbia Cash & Credit, Jakarta. Begitu jam kantor berakhir, statusnya berubah menjadi mahasiswa ekonomi manajemen di Universitas Kristen Indonesia, Jakarta.
Ketika gelar sarjana dan posisi sebagai manajer berhasil diraih, ia justru mengundurkan diri. Selanjutnya, ia berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain yang mayoritas bergerak di bidang saham.
“Saat saya bekerja di perusahaan sekuritas, saya juga merintis berbagai macam bisnis. Terhitung, 20 jenis bisnis pernah saya jalani mulai dari membuat dan menjual susu beraroma buah, menjual barang-barang berlistrik, hingga membangun garmen,” tuturnya.
Ya, ia mampu membangun pabrik garmen di atas lahan seluas 2.000 m², membeli ratusan mesin, serta merekrut dan menggaji ribuan karyawan. Bukan cuma itu, ia juga mampu membeli rumah toko (ruko) pada tahun 1992-an di kawasan Duri Kosambi, Jakarta Barat, yang kini ditempatinya, di samping enam ruko lain.
Maklum, kala itu, saham sedang booming. Sehingga, secara finansial, uangnya sangat banyak.
Namun, lantaran tidak terjun langsung dan tidak paham seluk beluk dunia garmen, pengelolaan bisnis itu ia serahkan kepada mantan teman SMA (Sekolah Menengah Atas). “Dia mendatangi saya untuk meminta bantuan,” kisah pria kelahiran Pontianak ini.
Tapi, sang teman kemudian menipunya. Barang-barang Sofian yang berkualitas ekspor tidak dapat diekspor. Selain itu, setiap kali perusahaan mendapat order, ternyata order itu dialihkan ke saudara si teman. “Imbasnya, secara finansial, saya habis-habisan,” lanjutnya.
Namun, pengkhianatan sang teman tidak membuatnya menaruh dendam sedikit pun. “Saya ikuti semua perkataan Confucius: ‘Bukalah pintu maafmu selapang-lapangnya. Jika kamu mengarahkan energimu untuk maju, maka kamu tidak akan berpikir untuk menghabiskan energimu untuk membalas dendam pada orang itu’,” paparnya.
Ia juga menyerahkan pembalasannya kepada Tuhan. Sebab, pembalasan Tuhan itu jauh lebih dahsyat. Di sisi lain, Tuhan selalu memberi jalan keluar atas segala permasalahan.
Thomas Alva Edison yang mengalami 10.000 kali gagal saja, tidak pernah merasa dirinya gagal
“Saya percaya itu. Segala sesuatu itu ada kalau kita percaya plus berpikirlah bahwa kita bisa. Itu pondasi hidup saya,” tegasnya. Meski, diakuinya, itu tidak mudah.
Menurutnya, hanya ada dua hal dalam hidup ini jika kita tidak mau gagal yaitu pertama, lupakan masa lalu dan membuka pintu maaf selebar-lebarnya. Kedua, jangan berpikir terlalu panjang atau jangan memprediksikan apa yang akan terjadi. Misalnya, belum tentu gagal, sudah berpikir akan gagal.

“Kalau kita sudah memiliki visi, kejar terus dengan konsisten, persisten, dan pantang mundur. Dijamin itu pasti akan berhasil,” ujarnya.
Tapi, tidak berarti kejadian itu tidak berdampak psikologis. Diakuinya bahwa ia sudah setengah gila. “Tapi, cukup tiga hari saja!” ucapnya. Setelah itu, pabrik garmen ditutup dan ditinggalkan.
Kebetulan, ia melanjutkan, saat berbisnis garmen, ia bertemu dengan “orang pintar” yang mengatakan bahwa ia lebih cocok bergerak di bidang sosial. Lantas, pria yang meraih gelar sarjana S-2 di IPWI (Institut Pengembangan Wiraswasta Indonesia), Jakarta, ini menjalin kerja sama dengan anak-anak jalanan. Konsepnya, produk apa pun yang mereka hasilkan, ia yang menjualnya.
Selain itu, ia juga ber-partner dengan seseorang―yang ditemuinya ketika masih bekerja di sekuritas―yang memiliki hubungan dengan I-Tutor. “Dia meminta saya ‘memegang’ I-Tutor. Dan, dari situlah, awal pertemuan saya dengan I-Tutor,” ucap Ph.D dalam tiga bidang ilmu yaitu finansial, psikologi industri, dan administrasi yang ditimbanya dari salah satu perguruan tinggi di Filipina.

Sekadar informasi: I-Tutor merupakan merek dagang yang bergerak di bidang pendidikan. Materi I-Tutor disusun berlandaskan silabus Menteri Pendidikan Singapura. Sementara sistem pengajarannya disampaikan melalui multimedia.
I-Tutor yang telah di-endorsed di negara-negara ASEAN plus Cina ini, dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan siswa dalam kemampuan berbahasa Inggris, matematika dalam Bahasa Inggris, Bahasa Mandarin, sains, dan pengetahuan teknologi informasi. Selanjutnya, kurikulum ini oleh Sofian dipadupadankan dengan kurikulum yang berlaku di Indonesia.
Di samping I-Tutor yang franchise-nya diambil dari Singapura, atas permintaan konsumen, Sofian juga menciptakan I-Solution pada tahun 2008. I-Solution merupakan bimbingan belajar yang berstandar pada kurikulum nasional, yang dikombinasikan dengan animasi. Metodologi baru dalam dunia pendidikan yang diciptakannya ini, dinamakan revolusi metodologi pembelajaran.
“Saya mengambil franchise I-Tutor, karena animasinya bagus, menarik, dan dapat diterima akal. Tapi, animasi hanya akan tinggal animasi, setiap orang mampu membuatnya. Agar berbeda, saya mengombinasikannya dengan revolusi metodologi pembelajaran yang saya ciptakan. Selanjutnya, revolusi metodologi pembelajaran itulah yang saya jual,” kata master franchise I-Tutor untuk seluruh dunia ini.

Sofian juga menciptakan website yang diberinya nama ILMCI, yang sekaligus menjadi payung bagi I-Tutor dan I-Solution ini. “Website ini merupakan mimpi besar saya. Karena, kalau nanti bisa menjadi seperti yahoo atau google, maka saya akan menjadi orang terkaya di Indonesia,” paparnya.
Namun, untuk mencapai kesuksesan seperti saat ini, Sofian juga tidak mendapatkannya semudah membalik telapak tangan. I-Tutor yang muncul tahun 2000, pada awalnya juga gagal dikelola karena perbedaan konsep (konsep franchisor tersebut juga gagal diterapkan di negara-negara ASEAN lain, red.).
Akhirnya, I-Tutor pun dikembalikan ke franchisor. Tapi, tahun 2007, franchisor mengembalikan lagi I-Tutor ke Sofian, dengan menggunakan konsep yang Sofian ciptakan.
“Namun, sampai sejauh ini saya tidak pernah berpikir mengapa saat itu saya gagal. Karena, saya tidak pernah merasa gagal. Thomas Alva Edison yang mengalami 10.000 kali gagal saja, tidak pernah merasa dirinya gagal. Mengapa saya yang cuma 20 kali gagal sudah merasa gagal?” ucapnya.
Yang jelas, ia menambahkan, ketika Anda terjatuh, segeralah bangkit dan jangan pernah menengok ke belakang. Jangan jadikan kegagalan yang pernah dialami sebagai indikasi akan gagal lagi.
“Bukalah pintu rezeki selebar mungkin. Yakinlah suatu saat rezeki itu akan datang. Dan, ketika kesuksesan sudah berada dalam genggaman, jangan terlena,” pungkas Chief Executive Officer ILMCI.