Vanessa Evania
Bagi Vanessa menjadi entrepreneur itu sebuah anugerah. Karena, tidak semua orang seumuran dia bisa mendapatkan pengalaman dan network sebanyak dia. Sehingga, meski tetap sebagai remaja “berprinsip” YOLO (You Only Live Once), tapi dia sudah bisa mempersiapkan masa depannya
e-preneur.co. Remaja (setidaknya) terbagi menjadi dua tipe. Pertama, yang suka jalan-jalan dengan teman-teman sebayanya menyusuri mal yang satu ke mal yang lain. Kedua, yang lebih suka berdiam diri di rumah dan asyik dengan dirinya sendiri atau yang diistilahkan mager (malas gerak).
Vanessa Evania adalah remaja tipe kedua. Dia terlalu asyik dengan BlackBerry (BB)nya. Hingga, dia mengistilahkan sudah mirip (maaf) orang autis. “Aku terus-menerus main game atau BBMan (BlackBerry Messenger) sampai dimarahi orang tuaku,” tutur Vanessa.

Sampai, suatu ketika, dia merasa jenuh. Karena, apa yang dia lakukan tidak menghasilkan apa-apa. Lalu, terpikir untuk menggunakan BBnya sebagai media berjualan, setelah melihat sebuah online shop (olshop) di BBnya. “Sepertinya enak dan kelihatan sibuk,” lanjutnya.
Kebetulan, dia sedang ingin mempunyai uang jajan lebih. Akhirnya, dia memberanikan diri BBM orang tersebut dan menawarkan diri menjadi reseller. Ternyata, orang itu memperbolehkan dan lalu memberinya harga reseller. Tapi, menurutnya, harga produk yang diberikan orang itu terbilang tinggi.
Selanjutnya, kelahiran Jakarta, 14 April 1997 ini memulai “bisnisnya” pada tahun 2010 dan tanpa modal sama sekali. Kecuali, BB. Toko olshop-nya diberi nama VQueen FO.
Enam bulan pertama berjualan, produk yang dia tawarkan sama sekali tidak laku. Tapi, sekitar Oktober 2011, seseorang menghubungi untuk minta dicarikan baju couple untuk seluruh keluarga. “Hal ini, membuatku bersemangat. Aku mencarinya ke sana kemari hingga mendapatkannya dengan harga paling murah,” kisah Vanessa, yang dengan modal Rp100 ribu tapi menjual produk itu Rp135 ribu.
Mulai dari situ, dia terpacu. Hingga, mampu menjual 5‒6 potong baju dalam sebulan. “Keuntunganku Rp100 ribu‒Rp150 ribu dalam sebulan,” tambah Vanessa, yang sejak itu terus-menerus berjualan.
Online Shop akan bertahan lama. Karena, teknologi informasi semakin berkembang
Namun, sekitar April 2012, dia merasa jenuh lagi. Untuk mengatasinya, bersama dengan teman-temannya di BB, dia membuat group baju. “Awalnya, setiap bulan laku beberapa potong baju. Tapi, makin lama bukan semakin laku, malah banyak member yang left dari group,” ujarnya.
Di sisi lain, dia melihat teman-teman sekolahnya sudah mulai ganti handphone (hp). Ada dorongan dalam jiwa remajanya untuk juga memiliki hp baru. Tapi, dia tidak mungkin meminta kepada orang tuanya.
“Pada awalnya, Papa memiliki toko material yang cukup besar dan laku. Namun, kemudian, rekan bisnisnya dalam usaha toko material itu kabur dengan membawa sejumlah uang. Papa pun pailit sampai toko dijual untuk membayar hutang. Rumah juga dijual dan kami pindah ke kawasan pinggiran Jakarta Barat,” paparnya.
Namun, dia pantang putus asa. Dia terus berdoa dan mencari cara. Sampai, suatu ketika, kerabatnya BBM dan menawarkan penjualan cardigan.
Kerabat itu memintanya memasang foto cardigan tersebut di BBnya, sambil mengatakan kalau produk tersebut laris manis. Terbukti, dalam tempo tiga hari, dia sudah mampu menjual tiga lusin.
“Sebenarnya, aku malas banget, tapi akhirnya aku lakukan juga. Ternyata, dalam tempo lima menit setelah foto kupasang, lebih dari 30 orang menanyakan cardigan itu. Dari situ, semangatku muncul lagi,” ucapnya.
Tapi, Vanessa mengaku bukan tipe orang yang gampang puas. Waktu itu, cardigan itu dijual dengan harga Rp40 ribu. Dan, dia berpikir pasti ada yang harganya lebih murah.
Dia mencari informasi dari teman-teman Mamanya, yang kebanyakan bergerak dalam usaha konveksi. Dari situlah, dia mendapat cardigan dengan harga lebih murah 40%. Berikutnya, dia menawarkan cardigan itu ke kerabatnya tadi. “Akhirnya, gantian aku yang menjual produk ke dia,” katanya.
Dua minggu pertama, dia berhasil menjual cardigan itu hingga 2.500 potong. “Berkah banget buat aku. Akhirnya, aku bukan cuma bisa membeli BB baru, melainkan mempunyai uang tabungan. Bersyukur banget pokoknya,” ungkapnya.
Namun, kondisi ini justru membuat fokusnya berubah. Dia bukan lagi sekadar mencari income, melainkan bisa memiliki tabungan untuk masa depannya. Di samping itu, dia ingin melayani konsumen. Dalam arti, boleh mengambil untung banyak tapi dari barang yang berkualitas.
Dalam perjalanannya, Vanessa bertemu dengan banyak produk yang lain. Tapi, dia tidak sembarangan menerima produk. Setiap produk yang masuk ke olshop-nya harus mengikuti tahapan demi tahapan terlebih dulu.

Selain itu, dia juga mulai memiliki jaringan. Salah satunya yakni importir aksesori, yang menawari penjualan hair clip dari Korea. “Jadi, sejak itu, di samping cardigan, aku juga menjual hair clip,” kata Vanessa, yang setiap bulan mampu menjual rata-rata 1.000 pieces hair clip dan 4.000‒5.000 potong cardigan. Untuk itu, dia membukukan total omset Rp10 juta‒Rp30 juta.
“Menjadi entrepreneur itu bagiku anugerah banget. Sebab, tidak semua orang seumuran aku sudah mempunyai pengalaman dan network sebanyak aku. Di sisi lain, aku juga masih seperti remaja pada umumnya yang berpikir YOLO (You Only Live Once). Cuma, aku sudah mempersiapkan masa depanku, sedangkan teman-temanku masih jauh dari pikiran itu. Aku sudah mencuri start beberapa tahun dari mereka dan itu membuatku senang banget,” ungkap Vanessa, yang saat itu baru duduk di bangku kelas 2 IPS SMA Damai (Damai Entrepreneurship School), Jakarta.
Hal itu, tentu saja membuat Papanya yang dikenalnya sebagai sosok yang demokratis dan mendukung sepenuhnya, juga sangat bangga. “Mama juga mendukung aku, tapi Mama masih berpikir jika bisnis itu berisiko. Jadi, Mama ingin aku mempunyai ‘pegangan (ketrampilan)’ lain. Sehingga, kalau nanti bisnisku jatuh, aku masih bisa mulai lagi dari awal,” ujar Vanessa, yang dari kecil memang ingin menjadi pengusaha sukses.
Diakui Vanessa, usaha yang dijalankan tidak selalu berjalan mulus. Kendala selalu ada. Seperti, pembeli yang bisa dengan gampangnya kabur. Sementara barang yang dijual, tidak boleh lewat waktu. Jadi, harus segera dioper ke pihak lain dan hal ini mengacaukan pembukuan.
Di sisi lain, bisnis melalui media sosial sebenarnya kejam. Karena, pesaing bukan sekadar dijatuhkan, melainkan juga bisa dimatikan dengan cara di-hack atau black list. “Tapi, bagiku, itulah tantangannya,” ujar Vanessa, yang menyasar anak-anak dari usia Sekolah Dasar hingga Nenek-nenek untuk cardigan dan remaja sampai Ibu-ibu muda untuk hair clip.
Rencana ke depan? “Suatu saat, aku akan menjual produkku sendiri. Sekarang, membangun jaringan dulu,” ujarnya. Ya, memperbesar networking-lah yang menjadi tujuan berbisnis Vanessa saat ini, bukan mencari untung.
“Jadi, pelayanan kepada konsumen itu yang kuutamakan. Sehingga, mereka nyaman dan percaya. Karena, kalau sudah percaya, saat kita mempunyai produk baru, mereka tidak akan ragu-ragu lagi waktu akan membeli. Selain itu, kalau ada yang cacat pada produk yang dikirimkan, aku meminta untuk difoto, lalu produknya dikembalikan, selanjutnya aku proses. Barang yang di-retur, ongkos kirimnya aku yang tanggung,” tegasnya.
Prospeknya? “Sangat menjanjikan! Apa lagi, kalau kita bertemu dengan produk
yang tepat. Buktinya, omset dari berjualan secara online lebih besar daripada kalau kita membuka toko. Di sisi lain, olshop akan bertahan lama. Karena, teknologi informasi semakin berkembang,” pungkasnya.
Keberhasilan Vanessa, menarik perhatian Universitas Ciputra, Surabaya. Usai menyelesaikan pendidikan SMA-nya, dia direkrut universitas ini dengan beasiswa penuh. Kini, dia sudah menjadi sarjana dan membangun perusahaan sendiri di Kota Buaya itu.
Kiat
- Harus benar-benar ketemu dengan passion-nya.
- Harus benar-benar pantang menyerah.
- Dunia dagang by online membutuhkan mental baja. Yang sering terjadi, beberapa bulan pertama oshop akan ramai, beberapa bulan kemudian akan sepi, dan pada akhirnya akan tutup. Tapi, berbahagialah kalian yang waktu sepi itu bertahan. Karena, siklus ramai itu akan datang lagi.
- Harus jujur. Dalam arti, jangan menjual barang yang difoto seperti barang impor, tapi setelah sampai di tangan konsumen seperti “baju tisu”. Dengan cara seperti itu, kita pasti akan mendapat untung gede, namun hanya sekali. Sesudahnya, orang-orang tidak percaya lagi.