Home / Kiat / Dari Useless Menjadi Usefull

Dari Useless Menjadi Usefull

Kain Tenun Toraja (Toraja Melo)

Untuk menyelamatkan Tenun Toraja yang hampir punah, Dinny menjalankan misi “menjual mimpi dan menjual cerita”. Selanjutnya, dengan kemahiran sang Adik, kain tenun itu didesain menjadi berbagai produk untuk wanita. Dan, berubahlah Tenun Toraja dari useless menjadi usefull. Hingga, masyarakat mancanegara juga meminati

e-preneur.co. Sebagai obyek wisata, Tana Toraja memang dikenal indah. Tapi, banyak turis lokal maupun mancanegara kebingungan ketika akan membawa oleh-oleh yang khas dari salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan itu.

Bukankah ada Kopi Toraja dan Tenun Toraja? Ternyata, bagi masyarakat Tana Toraja, kopi mereka tidak seenak kopi-kopi dari daerah lain. Sementara kain tenunnya, kalah pamor dengan kain tradisional dari Jawa atau Sumatra.

“Sebagai istri dari pria berdarah asli Toraja, saya berani mengatakan tidak ada yang menarik dari oleh-oleh khas Toraja,” kata Dinny Jusuf.

Dinny berani mengatakan begitu, lantaran pernah melihat langsung kondisi Tana Toraja saat pulang kampung pasca pensiun. Ia menemukan kondisi yang mengenaskan pada kain tenun khas Toraja di mana kain ini tidak dihargai oleh masyarakatnya.

Tergerak untuk membangkitkan kembali pamor tenunan Toraja yang hampir punah, ia berpikir bagaimana caranya memanfaatkan kain ini agar dapat dipergunakan dengan semestinya. Di sisi lain, ada semacam ketakutan dalam dirinya jika kain tenun ini punah lantaran tidak dilestarikan. Mengingat, para penenunnya adalah Ibu-ibu yang sudah sepuh.

“Mungkin 10 atau 20 tahun mendatang, generasi selanjutnya tidak akan pernah tahu kalau Tenun Toraja itu pernah ada. Karena itu, saya bersikeras menjalankan misi ‘menjual mimpi dan menjual cerita’ agar Tenun Toraja kembali ke permukaan,” ujarnya.

Misi itu disambut baik sang Adik, yang bersedia membuat produk dari kepiawaiannya mendesain. Dan, jadilah berbagai macam produk untuk wanita berbahan dasar Tenun Toraja, seperti tas, sepatu, sandal, dan aksesoris lainnya, yang kemudian disusul dengan busana.

“Bersama Adik yang saya tugaskan untuk membuat desain, jadilah Tenun Toraja ini yang tadinya useless menjadi usefull. Kini, produk-produk tersebut menjadi ikon Tana Toraja. Setidaknya, sekarang, sudah ada cinderamata khas Toraja,” ucapnya.

Misinya yang pelan namun pasti itu, selain mendatangkan keuntungan baginya, juga mampu mengangkat kesejahteraan para penenun senior yang selama ini kurang diperhatikan. Selanjutnya, bersama sang suami, ia membangun sebuah yayasan untuk komunitas penenun.

Di sini ada hubungan mutual simbiosis

Dengan hubungan yang bersifat mutual simbiosis antara Dinny dengan para penenun, Tenun Toraja kembali dikenal publik. Bahkan, lajunya sudah sedemikian cepat hingga mancanegara.

“Saya cukup bangga, meski masih banyak yang perlu dibenahi. Setidaknya, produk berbahan Tenun Toraja ini sudah sampai ke Jepang, Australia, Italia, dan Amerika Serikat. Padahal, dulu, jangankan ke luar negeri, di Jakarta saja tidak ada yang tahu,” ujar Dinny, yang membuka outlet-nya di kawasan Kemang Timur, Jakarta Selatan.

Dengan label Toraja Melo yang berarti Toraja yang indah, para karyawan Dinny memproduksi sedikitnya 30‒50 produk dalam sebulan yang langsung habis terjual. Harga per item-nya bervariasi, mulai dari ratusan ribu rupiah sampai jutaan rupiah.

Untuk itu, ia sengaja membidik pasar menengah ke atas. “Saya tidak bisa masuk ke pasar menengah ke bawah. Sebab, bahan bakunya sangat mahal dan tenaga pembuatnya sangat terbatas,” jelasnya.

Ya, tidak mudah bagi Dinny untuk mendapat pasokan kain secara rutin. Sekali pun, ia sudah merangkul para penenun lokal dan memberi kesejahteraan yang layak.

Sebab, para penenun masih beranggapan menenun tidak cukup mampu membiayai kebutuhan hidup mereka. Akhirnya, menenun hanya dijadikan kegiatan sampingan. Menenun cuma dikerjakan di sela-sela kegiatan sehari-hari, seperti mengurus anak atau cucu, mengurus ternak, dan kegiatan rumah tangga lainnya.

“Kendala utama saya yakni mengubah kebiasaan mereka yang sudah turun-temurun di mana menenun merupakan kegiatan sampingan. Kalau sudah sejauh ini kan otomatis saya butuh pasokan rutin. Di sinilah, letak dilemanya. Kembali lagi, saya mesti pintar mengatur ritme produksi,” paparnya.

Alhasil, agar produksinya berkesinambungan untuk memenuhi permintaan pasar yang cukup tinggi, Dinny rela jika tenunan mereka tidak utuh atau sedikit cacat di beberapa sudut. Untungnya, berkat keahliannya, sang Adik bisa mengakali kain tersebut hingga tetap menghasilkan produk berkualitas.

“Karena tidak selalu memperoleh pasokan kain yang utuh, saya dan Adik mengakalinya dengan menggunakan kain yang utuh untuk membuat tas dan produk-produk yang membutuhkan kain dalam jumlah banyak dan besar. Sementara sisanya, digunakan untuk membuat bagian dari sepatu atau sandal. Bisa juga, untuk aksesoris yang berukuran kecil,” pungkasnya.

Check Also

“Naik Kelas” dengan Mengganti Gerobak Dorong dengan Outlet Permanen Berkonsep Restoran

Bakmi Gila Usaha kakilima banyak diminati para pelaku usaha. Selain itu, konsep PKL mempunyai potensi …