Kemukus
Lantaran di habitat aslinya saja tidak dikenal, maka para petani kita tidak mau menanamnya. Padahal, permintaan dari mancanegara tahun demi tahun semakin banyak, yang berimbas pada meningkatnya harga jual. Itulah, nasib kemukus
e-preneur.co. Kemukus (Latin: piper cubeba, red.) adalah salah satu jenis rempah-rempah, yang masuk dalam keluarga sirih-sirihan. Tanaman merambat ini, memiliki hubungan saudara dengan Cabe Jawa.
Sama halnya dengan Cabe Jawa yang masih berkerabat dengan merica, kemukus juga berbentuk panjang. Sehingga, masyarakat mancanegara lebih mengenalnya dengan istilah tailed pepper atau cubeb. Sementara rasanya, tentu saja pedas.
Namun, meski termasuk rempah-rempah, kemukus tidak masuk dalam daftar penguat rasa dalam masakan Indonesia. Tanaman ini, di Jawa khususnya, cenderung lebih banyak digunakan sebagai pilis dan tapel yakni ramuan tradisional yang digunakan setelah melahirkan dan berada dalam masa nifas. Atau, untuk ngrambang (Jawa: mencuci mata, red.).
Sumber lain menyatakan, kemukus juga digunakan sebagai penguat rasa pada rokok, bahan farmakope (buku resmi yang dikeluarkan pemerintah yang berisi standarisasi, panduan, dan pengujian sediaan obat, red.), dan sumber minyak atsiri. Sementara di mancanegara, dimanfaatkan sebagai penguat rasa pada wine dan whisky.
“Uniknya, komoditas ini belum pernah turun harganya. Saya ‘bermain’ di sini dari harga Rp48 ribu/kg hingga sekarang harganya Rp180 ribu/kg. Permintaan dari tahun ke tahun juga terus bertambah,” kata Arif Munandar.
Padahal, Ketua Komunitas Tjabe Poejang ini melanjutkan, belum banyak orang yang mengetahui tentang kemukus. Hingga, layak dimasukkan dalam kategori komoditas yang “misterius”.
Ya, kemukus masih langka. Karena, belum banyak yang menanam. Atau, lebih tepatnya, merasa ragu untuk menanamnya. Sebab, beranggapan kekayaan nuftah Nusantara yang telah ada sejak ribuan tahun silam ini tanaman baru.
Harga di pasar ekspor mencapai Rp250 ribu/kg!
Karena itu, tanaman ini cenderung lebih banyak ditemukan di Jawa, khususnya Jawa Tengah. Meski, tumbuhan yang habitat aslinya di Tanah Jawa ini juga bisa ditanam di Bireuen (Aceh), Tanah Grogot (Kalimantan Timur), Kendari (Sulawesi Tenggara), dan Luwu (Sulawesi Selatan).
Sistem penanaman Kemukus sama dengan Cabe Jawa yakni ditanam dengan sistem stek, dengan menggunakan pohon bibit berumur 1,5 bulan. Namun, berbeda dengan Cabe Jawa yang sudah dapat dipanen pada usia 7−8 bulan setelah ditanam, kemukus baru dapat dipanen secara maksimal pada umur 1,5 tahun setelah ditanam.
Buahnya berbentuk gerombolan, yang dipetik dengan tangkainya dalam kondisi setengah matang. Untuk melepas butiran-butiran buahnya, ada dua cara yaitu pertama, dilorot (Jawa: ditarik ke bawah, red.), lalu disiram air panas, dan selanjutnya dikeringkan. Kedua, dilorot dan kemudian langsung dikeringkan.
“Penyiraman dengan air panas, dimaksudkan agar setengah matang. Sehingga, akan mempercepat proses pengeringan. Saat sudah kering, daya higroskopi (kemampuan menyerap air, red.)nya sudah turun,” jelasnya.
Perbedaan lainnya, jika Cabe Jawa merupakan tanaman yang berbuah terus-menerus, maka kemukus hanya berbuah dua kali setahun. Selain itu, Cabe Jawa produktif pada umur 2−2,5 tahun di mana dari satu pohon dapat dipanen 2−3 ons/minggu dalam kondisi basah. Sementara pada kemukus, di usia yang moncer (2,5−3 tahun) dapat dipanen 5−6 kg/pohon dalam kondisi basah.
Cabe Jawa cukup tahan dengan paparan langsung sinar matahari. Sedangkan kemukus, agak aleman (Jawa: kolokan, red.). Tanaman ini, membutuhkan kondisi yang redup atau teduh dalam penanamannya.
Pada masa awal tanam, kita juga harus waspada terhadap hama nematoda (cacing gilig) dan uret (larva wangwung/kumbang tanduk). Sebab, uret yang memakan akar akan berakibat kemukus langsung layu dan akhirnya mati.
“Karena itu, kepada petani dampingan, kami mensyaratkan agar lubang tanah dan pupuk kandang yang digunakan difermentasi dulu dengan jamur metharhizium dan beauveria bassiana untuk mengendalikan kehadiran uret,” paparnya.
Metharizzium, ia melanjutkan, kontak langsung dengan lambung. Jadi, jika termakan, uret akan langsung mati. Sedangkan beauveria bassiana, jika menempel pada larva tersebut, ia akan terus-menerus tumbuh. Hingga, akhirnya, uret akan mati terselubungi mirip mumi.
Untuk penyiraman, dalam kondisi kemarau lakukan seminggu dua kali. Untuk pemupukan, pada awal tanam lakukan dua minggu sekali. Selanjutnya, cukup sebulan sekali dengan menggunakan pupuk semi organik. Dalam arti, pupuk dasarnya berupa pupuk organik, kemudian ditambahkan pupuk kompos yang tidak mengandung/meninggalkan residu, tidak bersifat polutan, atau 100% larut dalam air dan non klorin.
Penanaman untuk skala bisnis, membutuhkan luas lahan minimal 1.400 meter persegi. Sementara jumlah pohon bibit yang harus ditanam, sebanyak 300−500 batang.
Masyarakat India, Jepang, dan Prancis sangat berminat dengan kemukus, tapi sebaliknya dengan habitat aslinya. Karena dianggap tanaman baru, para petani kita ragu menanamnya dan juga belum mengetahui cara menanamnya.
Di samping itu, ada yang belum bisa membedakannya dengan karuk (sumber lain menyebutnya karok atau kaduk, red.), yang juga berasal dari keluarga sirih-sirihan. Sehingga, sering disebut Sirih Tanah.
Imbasnya, permintaan yang sangat banyak itu tidak terpenuhi. “Padahal, di pasar ekspor, harganya bisa mencapai Rp250 ribu/kg!” pungkasnya.