Home / Waralaba / Franchise Tidak Selalu Berbuah Manis

Franchise Tidak Selalu Berbuah Manis

Pecel Lele Joyoboyo

 

Bila ingin mengembangkan usaha dengan sedikit modal atau bahkan tanpa modal, maka franchise merupakan konsep bisnis yang paling tepat untuk digunakan. Tapi, tanpa disadari, sebenarnya banyak pemilik usaha yang masih gagap dalam membuat konsep kerja sama ini dan menerapkannya. Imbasnya, banyak kejadian yang tidak mengenakan baik bagi franchisor maupun franchisee. Seperti, yang pernah terjadi di Pecel Lele Joyoboyo

 

e-preneur.co. Sudah bukan rahasia lagi jika franchise telah menjadi model bisnis yang diidam-idamkan banyak pengusaha. Alasannya, tanpa perlu keluar banyak modal seorang pengusaha bisa memiliki banyak cabang dan menancapkan brand-nya di masyarakat.

Imbasnya, tidak mengherankan kalau kemudian muncul kesan “latah”. Dalam arti, banyak pengusaha berlomba-lomba menawarkan konsep franchise, kendati usahanya baru seumur jagung.

Sejatinya, untuk bisa sampai ke tahap franchise, sebuah usaha harus melewati berbagai persyaratan yang ketat. Dalam berbagai literatur disebutkan sejumlah persyaratan itu, antara lain usaha itu sudah berjalan selama lima tahun, kondisi keuangannya stabil (mampu meraup laba), memiliki cabang yang dijadikan pilot project, dan lain-lain.

Namun, sederet persyaratan itu menjadi tidak terlalu penting bagi pengusaha yang ngebet menjajal konsep franchise. Padahal, banyak kejadian yang tidak mengenakkan―baik bagi franchisor maupun franchisee―sebagai akibat dari sikap yang terlalu terburu-buru itu.

Permasalahan mulai muncul, biasanya justru ketika ada pihak yang tertarik bekerja sama atau membeli franchise yang ditawarkan. “Kami akan merasa tersanjung, saat ada orang yang tertarik dengan usaha kami. Sehingga, selain belum berani memungut franchise fee yang tinggi, kontrak kerja sama (memorandum of understanding/MoU) pun tidak begitu ketat,” ujar Bambang Priyambodo.

Padahal, pemilik Pecel Lele Joyoboyo ini melanjutkan, sikap itu justru bisa menjadi bumerang. Karena, memunculkan celah yang bisa dimanfaatkan masing-masing pihak.

Selain itu, rendahnya komitmen franchisee menjalankan MoU yang telah disepakati juga menjadi persoalan tersendiri. Bambang menceritakan pengalamannya, ketika membuka cabang yang ketiga yang berlokasi di kawasan Tebet, Jakarta Selatan.

Awalnya, jumlah pengunjung yang bersantap di sini membludak. Hingga, omset yang diperoleh lebih besar dari warung pusat. Banyaknya pengunjung, juga berimbas pada meningkatnya permintaan bahan baku. Tapi, ternyata, kondisi ini tidak berlangsung lama.

Sebelum memutuskan kerja sama (melalui sistem franchise), semua pihak harus mengetahui risikonya

Masalah mulai muncul, ketika ada kecurigaan franchisee mulai mangkir dari MoU yang disepakati. “Dalam kontrak disebutkan: franchisee wajib mengambil bahan baku (ayam, lele, bebek) dari kami. Tapi, kami curiga, di saat pembeli meningkat, jumlah pemesanan bahan baku justru terus menurun,” kisahnya.

Kecurigaan Bambang terbukti, ketika ia mendapati stok bahan baku melimpah, tapi bukan dipesan dari franchisor. Ia juga baru mengetahui, jika franchisee telah membajak salah seorang mantan karyawannya sebagai juru masak.

Cara-cara seperti ini, menurut Bambang, dianggap sudah keluar dari kontrak yang disepakati. Karena tidak terjadi titik temu, akhirnya Bambang memutuskan mengakhiri kerja sama tersebut. “Saya turunkan papan nama dan atribut yang berkaitan dengan brand kami,” ucapnya.

Bagi sebuah usaha yang dikembangkan dengan franchise, brand memegang peran sangat penting. Tanpa brand yang kuat dan sudah menancap di benak masyarakat, maka seorang pengusaha seperti sedang merintis bisnisnya dari nol. Dan, itulah yang terjadi di cabang Tebet tersebut.

“Saya perhatikan pengunjungnya mengalami penurunan. Karena, konsumen pasti bisa merasakan perbedaan rasanya. Meski, juru masaknya pernah bekerja di tempat kami,” katanya.

Selain masalah kurangnya komitmen, masalah lain yang timbul dari sistem franchise yaitu ketidaksesuaian antara target yang diasumsikan dengan kenyataan di lapangan. Hal ini, hampir dialami oleh sebagian pengusaha yang menerapkan konsep franchise.

Dalam bisnis, selain product dan price, faktor lain yang berperan dalam menentukan keberhasilan yakni place dan promotion. Nah, seringkali kegagalan suatu bisnis juga dipengaruhi oleh pemilihan lokasi.

Berkaitan dengan hal ini, Bambang berbagi lagi kisah kegagalan cabang pertamanya yang terletak di Pondok Gede, Bekasi. “Lokasi usaha yang dipilih franchisee kurang strategis. Sehingga, setelah berjalan sekian waktu, omsetnya tidak kunjung meningkat. Padahal, biaya operasional dan gaji karyawan mesti dikeluarkan. Akhirnya, setelah berjalan satu tahun, franchisee memutuskan untuk tutup,” tuturnya.

Namun, yang mengagetkan, franchisee menuntut pengembalian dana yang telah dikeluarkan atau refund. Bambang kembali menegaskan bahwa dalam klausul perjanjian franchise tidak pernah tercantum istilah refund.

“Semua bisnis pasti memiliki risiko. Karena itu, sebelum memutuskan kerja sama, semua pihak harus mengetahui risiko tersebut. Itu sebabnya, franchisee juga harus serius ketika menjalankan bisnisnya,” tegasnya.

Bambang merujuk pada banyaknya franchisee, yang tidak terlalu peduli dengan bisnisnya. “Mereka lebih banyak bergantung pada franchisor. Padahal, peran franchisee justru sangat penting, khususnya dalam hal pelayanan, mengetahui karakteristik konsumen, hingga pengembangan usaha,” lanjutnya.

Dengan banyaknya kejadian yang tidak mengenakan tersebut, Bambang wanti-wanti agar para pengusaha mempersiapkan terlebih dulu segala sesuatunya secara matang. Mulai dari infrastruktur, SOP (standar operating procedure), sampai SDM (sumber daya manusia, termasuk pengetahuan tentang franchise).

“Tidak ada salahnya, jika kita bertanya langsung kepada pengusaha yang terlebih dulu sukses. Kita bisa meminjam draft perjanjian kerja sama franchise mereka. Tapi, tentunya, disesuaikan dengan bisnis kita,” ujarnya.

Tidak ingin kejadian yang lalu terulang lagi, Bambang pun membenahi bisnisnya. Untuk itu, ia lebih selektif dalam memilih franchisee. “Sudah ada lagi yang mengajak kerja sama. Tapi, dengan pengalaman tersebut, saya lebih berhati-hati,” pungkasnya.

Check Also

Kemitraan yang Low Risk & Low Waste

Lanang Barber Shop   Diperkirakan lebih dari 6 juta penduduk Jabodetabek adalah para pria. Jika …