Mengkudu
Selama ini, pohon mengkudu hanya dianggap tanaman pinggir jalan, yang bila buahnya jatuh hanya membuat jalanan kotor dan berbau busuk. Padahal, setiap bagian “tubuhnya” dapat dimanfaatkan. Terutama buahnya, yang mempunyai nilai jual tidak murah. Sehingga, selalu diburu buyer
e-preneur.co. Ketika berkuasa di Bumi Nusantara, Pemerintah Kolonial Belanda terganggu oleh masalah mandi−cuci−kakus (MCK). Untuk menyerap bau tidak sedap yang menyeruak dari tempat-tempat itu, Pemerintah Kolonial Belanda menyuruh penduduk pribumi menanam pohon mengkudu di pinggir-pingir jalan.
Ternyata, buah dari tanaman keras yang berasal dari Asia Tenggara itu mampu menyerap polusi udara maupun bau. Mungkin, itu karena si buah yang memiliki nama sama dengan pohonnya tersebut, mempunyai bau yang jauh lebih tidak sedap ketimbang berbagai bau dari MCK.
Ya, setiap kali telah matang, mengkudu (Latin: morinda citrifolia red.) akan jatuh ke tanah dalam kondisi sudah busuk. Imbasnya, menyebarkan bau yang sangat tidak sedap.
Sehingga, kendati masalah MCK tidak ada lagi dan Pemerintah Kolonial Belanda sudah hengkang dari Bumi Nusantara, tapi tanaman ini masih dapat kita temui sampai sekarang di setiap wilayah di Jakarta, khususnya. Sayangnya, kalau boleh dibilang begitu, pohon-pohon mengkudu tersebut dibiarkan tumbuh, berbuah, dan jatuh buahnya di jalanan begitu saja.
Padahal, tanaman ini juga mempunyai manfaat yang luar biasa bagi kesehatan. Sebab, setiap bagian “tubuhnya” dapat difungsikan. Sehingga, tidak salah kalau dijuluki magical plant.
Contoh, daunnya bagus untuk dibuat teh (sumber lain: daun dan buah mengkudu juga dapat dimakan sebagai sayuran dan lalapan, red.). Nilai gizinya yang tinggi (lantaran banyak mengandung vitamin A, red.), membuatnya mampu menyembuhkan ambein.
Sementara akar dan kulit pohonnya dapat digunakan sebagai pewarna alami dan antikanker. Sedangkan bijinya, untuk minyak esensial.
Dan, lantaran masuk dalam keluarga kopi, ampas buahnya bisa dijadikan kopi. Di Bali, dikenal kopi mengkudu yaitu kopi yang berkhasiat mengobati hipertensi. Selain itu, ampas tersebut juga dapat digunakan untuk membuat tepung, shampoo, sekaligus cat rambut.
Bandel, tidak rewel, antihama, dan dapat dijadikan pestisida alami
Namun, ternyata, yang memiliki khasiat paling kuat yakni buahnya. Karena, bermanfaat untuk menanggulangi asam urat dan darah tinggi, menangkal radikal bebas, serta menghalau bahan-bahan asupan yang bersifat karsinogen (zat penyebab kanker, red.).
Imbasnya, buah yang berwarna putih kekuningan/kehijauan dan bertotol-totol ini menjadi “rebutan” banyak industry, baik dalam skala besar maupun rumah tangga. Untuk nantinya diolah menjadi dry chip coin.
“10 tahun lalu, berkembang hoax tentang Tahitian Noni yaitu buah mengkudu yang berasal dari Tahiti, Hawaii. Dikatakan bahwa inilah noni terbaik di dunia. Faktanya, menurut Profesor Toshiaki Nishigaki yang meneliti tentang noni, kandungan Tahitian Noni sama dengan mengkudu atau noni yang tumbuh di Indonesia,” ungkap Arif Munandar.
Sementara berbicara tentang pembudidayaannya, tanaman yang di Jawa lebih dikenal dengan istilah pace ini dikembangbiakkan dengan menggunakan teknik seedling (dengan biji). Namun, tidak pernah diketahui di mana bisa membeli bijinya. Sebab, kemungkinan besar, para petani langsung menggunakan biji dari buah mengkudu.
Buah mengkudu sudah dapat dipanen pada umur empat bulan. Tapi, kualitasnya belum maksimal. Sumber lain menyatakan bahwa setahun setelah biji ditanam, pohon mengkudu akan berbuah untuk pertama kalinya. Tapi, masih dalam tahap “belajar”.
Bahkan, meski pohon sudah berumur dua tahun, hasilnya cuma ½ kg. “Pohon pace itu sambil tumbuh, sambil berbuah. Begitu, menurut orang-orang ‘kampung’,” kata Ketua Komunitas Tjabe Poejang ini.
Pohon mengkudu termasuk tanaman yang bandel, tidak rewel, antihama, dan bahkan dapat dijadikan pestisida alami. Ia dapat tumbuh di mana pun dalam ketinggian 0−700 mdpl (sumber lain: 0‒1.500 mdpl, red.). “Dengan kata lain, dilihat dari karakter daunnya yang lebar, tebal, dan lemas, maka tanaman ini lebih cocok ditanam di udara yang berhawa panas dan mampu memberi sinar matahari intensif (setidaknya 6−7 jam),” lanjut sarjana ekonomi ini.
Pohon yang bisa tumbuh sangat besar dengan ketinggian mencapai 8 meter ini, termasuk tanaman perennial (berbuah terus-menerus, red.). Ia dapat dipanen dua kali seminggu di mana dalam kondisi puncak dapat dihasilkan 1,5−3 kg sekali petik. “Kalau menanam 1.000 pohon, maka kita akan memanen 3‒6 ton per minggu dengan bobot buah sekitar ½ kg,” jelasnya.
Mengkudu dalam bentuk dry chip coin dipasarkan melalui buyer di Surabaya dan Jakarta. Selanjutnya, dikirim ke Cina dan Hong Kong untuk dijadikan obat herbal.
Namun, kadangkala, entah dengan alasan “kejar tayang” entah ada unsur “nakal”, buyer membentuk keagenan. Selanjutnya, agen-agen itu menyebar ke berbagai pelosok. Imbasnya, pada satu sisi mereka mendapatkan mengkudu dalam jumlah banyak, tapi dari sisi lain kualitasnya tidak jelas.
“Buah mengkudu yang belum matang tapi sudah harus diproses, setelah dikeringkan tidak berwarna hitam, melainkan agak putih. Dan, ini terlihat jelas oleh mata telanjang,” ungkapnya.
Namun, dari sini, kita bisa mengetahui jika prospek bisnis tanaman yang mempunyai masa hidup lebih dari 10 tahun ini bagus. “Tiga tahun lalu, saya pernah datang ke suatu tempat di Bogor. Perusahaan yang saya datangi menjalin kerja sama dengan Profesor Toshiaki Nishigaki. Perusahaan itu melakukan penanaman mengkudu secara besar-besaran, dengan sistem pertanian moderen. Saya menarik kesimpulan, kerja sama ini akan jangka panjang dan dengan nilai yang sangat besar,” pungkasnya.