Home / Senggang / Resto Area / Simbol Perlawanan Wong Cilik

Simbol Perlawanan Wong Cilik

Sate Kere

(Sate Kere Yu Rebi)

 

Kehadirannya dilatarbelakangi oleh perlawanan masyarakat kalangan bawah akan getirnya hidup mereka. Dan, kini, Sate Kere tidak lagi dianggap kuliner murahan. Martabatnya telah terangkat dan sering dicari oleh para wisatawan

 

e-preneur.co. Bagi Wong (Jawa: orang, red.) Solo, jika berbicara tentang Sate Kere, maka yang terlintas dalam benak tentulah Sate Kere Yu Rebi yang berlokasi di Jalan Kebangkitan Nasional, Teposanan, Solo. Atau, lebih tepatnya di belakang bekas Stadion Sriwedari.

Padahal, selain di warung makan yang sudah hadir sejak tahun 1986 itu, Sate Kere dapat dijumpai di mana pun. Seperti, di teras jaringan mini market terkenal itu, berbagai mal, apotek, pusat-pusat jajanan Solo, dan sebagainya.

Bahkan, kadangkala, Mbok-mbok penjualnya―yang masih mengenakan jarik dan kebaya, serta rambul digulung mungil―ider (Jawa: berjualan secara berkeliling, red.) dari satu gang ke gang yang lain. Harga seporsinya pun lebih murah. Tapi, untuk soal mana yang lebih enak tergantung masing-masing pemilik lidah.

Sate Kere berbeda dengan sate pada umumnya. Sebab, pada mulanya, sate ini berbahan dasar Tempe Gembus. Dalam penyajiannya, setelah dibacem dan dibakar layaknya sate, lalu diguyur sambal kacang yang rasanya pedas dan manis. Sambalnya pun unik, kalau boleh dibilang begitu, karena diuleki singkong rebus agar kental.

Dalam perjalanannya, varian Sate Kere bertambah dengan hadirnya Jeroan Sapi, seperti iso (Usus Sapi), babat, paru (paru-paru), ati (hati), limpa, ginjal, kikil, dan sebagainya. Untuk melengkapi penyajian, Sate Kere dimakan dengan nasi atau potongan lontong plus irisan cabe rawit dan bawang merah.

Tempe Gembus dan Jeroan Sapi itulah yang menandai ke-kere-an sate ini. Sebab, pada zaman Pemerintahan Kolonial Belanda, Daging Sapi identik dengan bahan makanan yang mahal dan mewah. Karena itu, hanya kalangan menengah atas yang mampu membelinya. Ketika diolah menjadi sate, otomatis cuma mereka pula yang bisa menikmati.

Tempe Gembus dan Jeroan Sapi itulah yang menandai ke-kere-an sate ini

Kondisi ini, menimbulkan perlawanan dari masyarakat miskin atau yang biasa disebut kere, yang notabene membeli setusuk Sate Daging Sapi pun tidak mampu. Namun, mereka tidak melakukan demonstrasi, melainkan membuat sate versi lain yakni menggunakan Tempe Gembus atau tempe yang dibuat dari ampas tahu.

Selain itu, juga Jeroan Sapi yang merupakan produk buangan. Mengingat, para bule Belanda memang berpantang makan jeroan, yang mereka anggap akan mengganggu kesehatan. Dari sinilah, lahir istilah Sate Kere atau satenya orang miskin.

Tapi, dalam perkembangannya, harga Sate Kere tidak lagi mencerminkan makanan untuk kalangan bawah. Ketika e-preneur.co menyambangi Sate Kere Yu Rebi pada awal Januari lalu, warung ini mematok harga Rp37 ribu untuk seporsi Sate Kere Campur dan Rp20 ribu untuk Sate Kere Tempe Gembus. Meski begitu, Sate Kere tetap dicari oleh para pecinta kuliner yang sedang berkunjung ke Solo.

Sate Kere Yu Rebi buka setiap hari pada jam 10.00‒17.00. Pada malam hari, Sate Kere Yu Rebi buka lagi pada jam 18.00‒22.00, di warung yang berbeda atau sedikit bergeser ke arah Penumping.

Check Also

Ketika Para Perantau Kangen dengan Kampung Halamannya

Bubur Samin Bubur Samin bukanlah makanan tradisional Solo, tapi menjadi menu takjil yang ikonik di …