Home / Celah / Sandal Unik dari Limbah Karpet

Sandal Unik dari Limbah Karpet

Sandal Karpet WEA

 

Limbah karpet dari plastik, layaknya limbah, hanya akan dibuang atau dibakar oleh produsennya. Tapi, kejelian Khairul membuatnya berubah menjadi sandal yang unik dan nyaman dipakai. Lebih daripada itu, memberinya pemasukan yang menjanjikan

 

e-preneur.co. Banting kemudi, melakukan inovasi produk, dan jemput bola merupakan tiga di antara sekian strategi yang biasanya dijalankan oleh para pelaku usaha, agar usaha mereka dapat terus bertahan di tengah berbagai gempuran. Hal ini pulalah yang dijalankan Khairul, pemilik tiga toko sepatu di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Usaha yang ia jalankan selama 17 tahun itu, terlindas oleh kehadiran berbagai mal yang bertebaran di seantero Kota Metropolitan ini. Imbasnya, pemasukan yang diterimanya setiap bulan tidak lagi mampu menutup biaya sewa toko.

Maret 2006, Khairul berburu limbah karpet yang terbuat dari karet sintetis ke seluruh Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Lalu, mengolah limbah karpet itu menjadi sandal.

“Modalnya Rp250 ribu dan hasilnya 30–40 pasang sandal jepit perempuan, yang lantas saya edarkan sendiri. Sandal-sandal itu baru habis terjual, setelah saya mengedarkannya selama seminggu,” tutur pria asal Silungkang, Sumatra Barat ini.

Kondisi ini, membuatnya berpikir untuk beralih menerima pesanan daripada menjualnya sendiri. “Kalau jualan sendiri, cuma 5–10 pasang yang terjual setiap harinya. Padahal, kalau hanya berproduksi atau menerima pesanan, 50–100 pasang pasti tandas diambil pemesan,” ujarnya.

Perkiraan Khairul tidak meleset. Sejak beberapa waktu lalu, ia rutin menerima pesanan sebanyak 200 pasang sandal per minggu dari sebuah toko di Cempaka Mas, Jakarta Timur.

Sandal-sandal ini unik, enteng, hangat di kaki, mudah kering, dan sebagainya

Selain itu, ia juga secara teratur memenuhi pesanan dari berbagai bazar selama dua tahun berturut-turut sebanyak 100–200 pasang, dengan sistem beli putus. Secara online, ia juga rutin menerima pesanan dari Batam (yang dalam pemasarannya menembus Singapura, red.), Medan, Lampung, Balikpapan, Pekanbaru, dan Semarang.

Sandal-sandal yang unik, enteng, hangat di kaki, mudah kering, dan talinya dapat ditarik agar terasa lebih longgar, tidak menyerap air, tidak licin, serta mudah dibersihkan ini, ditawarkan dengan ukuran 25–40. “Kami cenderung melayani pemesanan untuk nantinya dijual lagi. Sebab, sangat jarang yang memesan untuk dipakai sendiri,” ucap Darni, istri Khairul.

Namun, tidak berarti pasangan suami istri ini menolak mereka yang membeli hanya sepasang atau untuk dipakai sendiri. “Bahkan, kami juga menerima pemesanan sandal laki-laki dari bahan yang sama,” lanjutnya.

Mengapa sandal? “Awalnya, saya hanya ingin mengeluarkan modal sekecil mungkin, tapi menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Lalu, saya   memanfaatkan limbah karpet yang selama ini cuma dibakar oleh produsennya dan mengolahnya menjadi sandal,” kisah Khairul.

Sebab, menurutnya, selama ini bentuk sandal hanya seperti itu. Demikian pula, dengan warnanya. “Tapi, dengan padu padan warna kontras yang saya buat, sandal-sandal saya pun terlihat warna-warni, tampak unik,” ujar Khairul, yang memberi “merek” WEA pada sandal-sandalnya.

Namun, kemudian, masalah pun muncul. Mengingat limbah karpet tersebut ternyata masih dapat dimanfaatkan, maka peminatnya semakin banyak. Imbasnya, limbah karpet itu mulai susah diperoleh dan harganya menjadi mahal.

Khairul yang biasanya membeli dengan harga Rp5 ribu–Rp10 ribu untuk setiap kilonya, harus bersaing dengan peminat lain limbah karpet itu. Di samping itu, kadangkala, ia tidak mendapatkan warna-warna yang diinginkan.

“Jadi, sesedikit mungkin tetap harus saya ambil. Saya juga harus memanfaatkan limbah itu sampai potongan terakhir. Di sisi lain, pihak produsen selalu menjanjikan saya akan mendapat bagian limbah karpet dalam waktu tertentu, bila saat itu saya tidak kebagian,” ucapnya.

Sementara kendala lain yang kadang-kadang muncul yakni sandal-sandal ini dibuat secara manual oleh Khairul, Darni, dan para karyawannya yang dibayar per hari. Sehingga, beberapa kali terjadi perbedaan hasil antara tangan yang satu dengan yang lain.

“Namun, lantaran kami yang membuat polanya, termasuk padu padan warnanya, maka kami segera mengetahui kalau ada ketidakrapian hasil. Selanjutnya, kami lakukan kontrol dan finishing dengan memperbaikinya satu demi satu sebelum diambil pemesan,” kata Darni, yang bersama para karyawannya, setiap hari mampu membuat 70–80 pasang sandal.

Kini, boleh dikata, Khairul dan Darni telah berhasil membangun kembali usaha mereka. Tapi, mereka tetap tidak ingin menjual sendiri produk mereka.

“Saya tidak ingin punya toko lagi. Karena, sistemnya ‘kan cuma menunggu pembeli. Sedangkan dengan menjadi produsen, kami dapat terus berproduksi. Apalagi, konsumen kami sekarang sudah jelas dan pasti. Selain itu, harga sewa toko sekarang di pasar tradisional maupun mal semakin mahal,” pungkas Khairul, yang sekarang menjadikan mal sebagai target market sandal-sandalnya.

Check Also

Permintaan Terus Ada

Genteng Tanah Liat Meski konvensional, genteng dari tanah liat relatif lebih aman, sehat, dan awet, …