Kopi Gemplong
Kembali ke alam, saat ini bukan sekadar tren melainkan sudah menjadi gaya hidup. Di sisi lain, orang-orang juga semakin peduli dengan kesehatan mereka. Kondisi ini, ditangkap dengan manis oleh Komunitas Subileng dengan menghadirkan Kopi Gemplong, yang proses penanaman kopinya organik dan biji kopinya diproses secara tradisional alami
e-preneur.co. Nggemplong (berasal dari kata dasar gemplong, red.) dalam bahasa ngapak atau Banyumasan berarti menumbuk sampai halus, dengan menggunakan alat penumbuk berupa pasangan alu (terbuat dari kayu besar, bulat, dan panjang, red.) dan lumpang (sejenis lesung, red.). Nggemplong yang konon sudah ada sejak manusia pertama menempati Desa Giritirto, Kecamatan Karanggayam, Kebumen, ini merupakan bagian dari pekerjaan rumah tangga.
Karena itu, yang melakukannya para Ibu rumah tangga. Dan, biasanya, nggemplong ini dilakukan ketika mereka akan membuat oyek (nasi yang terbuat dari singkong, red.). Dalam perkembangannya, nggemplong juga mereka lakukan terhadap biji kopi kering, setelah sebelumnya disangan (disangrai) dengan bahan bakar kayu.
Adalah Komunitas Subileng (Sinau Ngobati Telenging Ati), yang berkutat tentang hal-hal yang berkaitan dengan budaya para leluhur. Sebulan sekali, mereka bertemu dan berdiskusi tentang budaya leluhur yang mana yang masih bisa dipertahankan atau dijalankan, agar diketahui maksud dan tujuannya.
“Tapi, suguhannya selalu kopi sachet. Sampai, akhirnya, muncul pertanyaan mengapa kami minum kopi sachet, sedangkan Ibu-ibu yang membuat suguhan justru minum kopi gemplong? Mengapa tidak minum kopi itu saja?” kisah Teguh Prasetyo.
Dalam perjalanannya, Teguh melanjutkan, pertanyaan melebar menjadi mengapa kopi gemplong tidak dikemas saja, lalu dijadikan bisnis. Sehingga, bisa membantu Ibu-ibu rumah tangga tersebut memperoleh penghasilan.
“Kami memang melihat banyak Ibu rumah tangga di desa itu, yang tidak mempunyai kemampuan untuk menambah penghasilan. Jadi, pekerjaan dari nyangan (menyangrai), nggemplong, hingga menyaring bubuk kopi bisa menjadi peluang bagi mereka. Apalagi, mereka sudah melakukannya secara turun-temurun,” tutur mantan Lurah Giritirto ini.
Proses pembuatannya alami, tidak ada campuran apa pun
Akhirnya, komunitas ini memberi 20 kg biji Kopi Kebumen yang notabene berasal dari varietas robusta kepada kelompok Ibu-ibu rumah tangga tersebut. Kelompok-kelompok itu, terdiri dari tiga orang, dua orang, bahkan satu orang dengan rentang usia 45 tahun‒60 tahun.
Dari setiap 5 kg biji kopi kering, setelah digemplong dan disaring tinggal 3 kg kopi bubuk. “Untuk setiap kegiatan nyangan, nggemplong, hingga menyaring, mereka mendapatkan ‘upah’ Rp20 ribu/kg,” lanjutnya.
Dengan proses pembuatan yang alami, tidak ada campuran apa pun, Komunitas Subileng yakin ke depannya produk yang kemudian dinamai Kopi Gemplong ini akan banyak yang mencari. Karena, orang-orang semakin lama semakin peduli dengan kesehatan mereka.
“Apalagi, tempat-tempat produksi kami telah mendapat izin PIRT (Produk Industri Rumah tangga) dari kabupaten. Sehingga, tempat-tempat itu pun higienis,” tambahnya.
Kopi Gemplong dijual dalam kemasan berbobot 200 gr, dengan harga Rp45 ribu. Sudah dapat ditemui di berbagai tempat makan di Kebumen, seperti di Angkringan Mukti, Hotel Mexolie, dan Rumah Makan Seafood Lik Siti, serta dapat dipesan melalui facebook.
Namun, Teguh mengakui jika penjualan kopi yang menyasar orang-orang yang ingin hidup sehat ini masih berkutat di Kebumen. Mengingat, terbentur pada promosinya yang masih sebatas dari mulut ke mulut. “Sebagai orang desa, kami terbentur pada konsep teknologi informasi, selain itu kami juga tidak mau dengan konsep titip jual,” ungkapnya.
Meski begitu, Komunitas Subileng sanggup memenuhi pesanan melebihi kapasitas yang ada yakni 2‒3 kuintal per bulan. Karena, bahan bakunya siap, sumber daya manusianya ada.
Dan, untuk lebih mensosialisasikan Kopi Gemplong, komunitas ini mengadakan wisata edukasi ke Kampung Gemplong. Di sini, pengunjung akan diberi tahu bagaimana proses pembuatan Kopi Gemplong.
Karena, komunitas yang telah mengelola pembuatan Kopi Gemplong sejak tahun 2016 ini melihat prospek yang bagus pada kopi ini. “Semakin tahun, semakin maju. Sehingga, meningkatkan gairah Ibu-ibu untuk memperoleh penghasilan lebih banyak,” pungkasnya.