Home / Senggang / Resto Area / Memadukan yang Jadul dengan yang Kekinian

Memadukan yang Jadul dengan yang Kekinian

Angkringan Mukti

 

Dengan keinginan merambah konsumen di semua kalangan, Angkringan Mukti bukan hanya menawarkan makanan dan harganya dengan konsep angkringan, melainkan juga bangunan luas dan bercahaya cukup terang seperti resto. Selain itu, juga memadukan segala yang jadul dengan yang kekinian  

 

e-preneur.co. Bersama dengan Dewi Purnamasari, pemilik usaha Madu Klanceng, e-preneur.co menghabiskan malam itu dengan nongkrong di Angkringan Mukti. Berlokasi di Jalan Pahlawan, Prumpung, Bumirejo, Kebumen, angkringan ini mempunyai bentuk bangunan yang lebih mirip resto dengan konsep klasik ketimbang angkringan.

Berdiri di atas lahan seluas sekitar 200 m², begitu masuk ke dalam ruangan yang bercahaya redup itu dijumpai berbagai meja dan kursi yang berbeda satu sama lain. Uniknya, kalau boleh dibilang begitu, setiap meja memiliki nama. Seperti, Risban Anyar, Risban Bodol, Risban Endep, Risban Duwur, Meja Glondongane, dan sebagainya.

“Meja-meja yang ada di sini tidak kami beli atau pesan dari perusahaan furniture, tapi kami beli dari pemiliknya―yang notabene orang-orang zaman dulu―yang kebetulan sudah tidak dipakai lagi. Karena itu, berbeda satu sama lain,” jelas Barkah Suko Nugroho, sang pengelola.

Risban, Barkah melanjutkan, dalam bahasa ngapak atau Banyumasan berarti kursi panjang yang terbuat dari kayu atau bambu dan biasanya digunakan untuk bersantai di teras atau ruang tamu. Atau, secara umum, kita kenal dengan istilah balai-balai.

“Jadi Risban Anyar berarti risban baru, Risban Bodol (risban rusak/lama), Risban Endep (risban pendek), dan Risban Duwur (risban tinggi). Sementara Glondhongane, berarti kepala dusun. Sehingga, Meja Glondhongane berarti meja milik kepala dusun,” lanjutnya.

Di sini, juga terpajang dokar (delman, red.) yang diberi nama Dokar Warisane Mbah Hardjo. Mengingat, dulu, Mbah Hardjolah pemiliknya. Selain itu, juga ada kentongan, alu (alat penumbuk yang terbuat dari kayu bulat dan panjang, red.), lumpang (sejenis lesung, red.), dan sebagainya.

Pemberian nama dan kehadiran benda-benda tersebut, bukan tanpa maksud. “Kami berusaha menarik perhatian dengan membangkitkan kenangan para pelanggan yang sudah berumur, terhadap benda-benda yang pernah mereka pakai atau kenal di masa lalu. Sementara bagi kaum milenial, untuk memancing keingintahuan atau memberi tahu mereka bahwa di masa lalu ada lho benda-benda ini,” ungkap sarjana pertanian dari Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah, itu.

Harga menunya Rp1.000,- sampai Rp9.000 saja

Selain menonjolkan konsep interiornya yang tradisional/klasik dipadukan dengan semi moderen dan suasana yang nyaman, Angkringan Mukti, laiknya sebuah tempat makan juga menonjolkan makanannya. Di sini, tersedia makanan yang sama dengan angkringan pada umumnya. Seperti, segala macam sate, nasi kucing, wedang jahe, teh manis, dan sebagainya.

Demikian pula, dengan harganya. Bahkan, beberapa di antaranya mempunyai harga yang lebih murah, tanpa mengurangi citarasanya. Ya, angkringan yang menu best seller-nya berupa nasi bakar, bakso bakar, wedang jahe susu, dan wedang uwuh ini, membandrol makanan dan minumannya dengan harga Rp1.000,- sampai Rp9.000 saja.

Selain itu, di sini juga ada menu Kopi Gemplong yang diracik sendiri oleh Barkah menjadi kopi tubruk, kopi saring, es kopi gula aren, dan es kopi matcha (teh hijau bubuk, red.). Sementara untuk anak-anak muda zaman now yang pada umumnya menyukai kekinian, disediakan salah satunya Thai Tea.

“Kami ingin merambah semua kalangan. Karena itu, di samping makanan angkringan pada umumnya yang biasanya menyasar masyarakat kalangan bawah, kami juga menyediakan beberapa makanan yang diharapkan menarik minat masyarakat kalangan menengah atas atau anak-anak muda yang sedang menyukai kekinian,” ungkap kelahiran 31 Agustus 1987 ini.

Namun, semua makanan dan minuman di angkringan yang baru hadir dua bulan lalu ini tidak ada yang instan. Contoh, untuk gorengan, tidak dihangatkan, tapi begitu dipesan langsung digorengkan. Untuk minuman herbal (kunir asam, jahe, kencur, dan sebagainya), bahan bakunya asli (bukan sirup). Sehingga, untuk membuatnya diproses dulu.

Imbasnya, dibutuhkan waktu hingga makanan dihidangkan. “Pada satu sisi, kami kewalahan menghadapi pengunjung yang tidak terbiasa dengan konsep penyajian angkringan semacam ini. Di sisi lain, hal ini, kami lakukan agar rasa tetap sama dan menghindari complaint dari konsumen yang menemukan rasa yang berbeda dari sebelumnya,” ujarnya.

Masalah berikutnya yang dihadapi angkringan yang menggunakan sistem pemesanan seperti resto atau dengan menggunakan buku/daftar menu ini yakni saat sepi pengungunjung. Sebab, omset rata-rata per hari yang sebesar Rp3 juta itu bisa merosot hingga 22%. Untuk itu, Barkah mencoba mengatasinya dengan menyajikan live music dengan berbagai tema, dengan memberdayakan group musik setempat. Selain itu, sesekali mengadakan program diskon.

“Namun, saat sedangan ramai (dari Jumat malam hingga Senin malam), omset kami melonjak hingga 50%. Sehingga, kami mampu membukukan omset Rp4,5 juta‒Rp5 juta per malam,” kata pria, yang “mengasuh” ke-13 karyawannya itu.

Tertarik untuk nongkrong di Angkringan Mukti? Datang saja pada jam operasionalnya yakni jam 11.00 hingga 24.00, setiap hari. Tempat makan yang menyediakan 36 meja (1 meja = 2‒4 kursi, red.) ini, juga dapat di-booking untuk berbagai acara. “Tapi, meski sudah di-booking, konsumen tetap bisa datang kok. Karena, biasanya, hanya sebagian tempat yang digunakan,” pungkasnya.

Check Also

Ketika Para Perantau Kangen dengan Kampung Halamannya

Bubur Samin Bubur Samin bukanlah makanan tradisional Solo, tapi menjadi menu takjil yang ikonik di …