Kalajengking
Keberadaan kalajengking, ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi, ia dianggap berbahaya. Sementara di sisi lain, hewan ini ternyata menyimpan banyak manfaat. Imbasnya, uang yang banyak akan mendatangi mereka yang menternakkannya
e-preneur.co. Mendengar kata kalajengking saja, dipastikan banyak orang sudah merasa bergidik. Maklum, hewan yang mempunyai delapan kaki ini, diketahui memiliki bisa (racun) yang mematikan.
Ya, melalui bisanya, baik yang dikategorikan racun saraf (neurotoksin) maupun racun sel (sitotoksik), kalajengking mampu melumpuhkan atau bahkan membunuh korbannya. Sehingga, korban pun gampang dimangsa.
Namun, bisa kalajengking lebih banyak ditujukan bagi binatang-binatang sejenisnya (artropoda). Dengan kata lain, sebagian besar binatang yang berkerabat dengan ketonggeng, laba-laba, tungau, dan lain-lain ini tidak berbahaya bagi manusia. Bisa yang terdapat pada ekornya itu, jika disengatkan pada manusia hanya akan menghasilkan rasa sakit atau pembengkakan.
Prof. Gopalakrishnakone, PhD, DSc, dari Fakultas Kedokteran National University of Singapore mendukung pernyataan tersebut di atas. Menurutnya, bisa kalajengking tidak selamanya berbahaya, malah dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pengobatan. Di antaranya, sebagai penghilang rasa sakit, pereda ketegangan otot, antikanker, antimikroba, dan antikejang.
Bukan cuma itu, setelah diolah menjadi Minyak Kala, juga bagus untuk mengobati penyakit kulit dan alergi, serta untuk menumbuhkan rambut/bulu. Selain itu, binatang yang mempunyai nama lain scorpio ini, sejak beberapa waktu lalu juga menjadi incaran para pengoleksi hewan eksotis, untuk dimanfaatkan sebagai hewan penghias terrarium.
Kelebihan berikutnya dari hewan yang ekornya dapat dibengkokkan sampai di atas punggungnya ini yaitu mampu beradaptasi dengan cepat. Sehingga, untuk menternakkannya pun terbilang mudah.
“Untuk makanannya, di habitat aslinya, kalajengking cenderung memakan semua jenis serangga. Tapi, di ‘peternakan’, saya memberi mereka jangkrik atau cethul (Jawa: ikan-ikan kecil seukuran teri, red.),” kata Eliaz Majid, pemilik Roemahsatwa-online.
Sementara untuk kandangnya, pria yang akrab disapa Majid ini melanjutkan, cukup dengan menjaga kelembabannya dengan cara disemproti air biasa (seperti jika menyemprot burung, red.) seminggu sekali. Hal ini, dilakukan agar kandang terasa seperti habitat aslinya. Sesekali, kalajengkingnya dicelup-celupkan ke air (semacam dimandikan, red.), lalu dijemur selama 10 menit‒15 menit agar warna tubuhnya tetap kinclong.
Pangsa pasar kalajengking masih sangat luas
Sedangkan untuk membuat binatang yang muncul untuk pertama kalinya di muka bumi pada pertengahan masa paleozoikum atau kira-kira 400 juta tahun silam ini beranak pinak, cukup dengan mengawinkan si jantan dan betina pada umur lima bulan. Sekali pun, kalajengking merupakan hewan hermaprodit atau berkelamin ganda, sehingga dapat berkembang biak sendiri.
Selanjutnya, si betina akan bunting dan mengeluarkan 150 butir telur yang “dierami” di punggungnya. “Dalam kondisi sedang bertelur, induk kalajengking sebaiknya dipisahkan dari si jantan,” ujar Majid, yang membangun Roemahsatwa-online di kawasan Umbulharjo, Yogyakarta.
Singkat kata, dari proses kawin, bunting, hingga bertelur dibutuhkan waktu sekitar tiga bulan. Artinya, dalam setahun, kalajengking betina yang panjang tubuhnya dapat mencapai 15 cm itu akan bertelur hingga empat kali dan sesudahnya mati. Sekadar informasi, kalajengking jantan rata-rata mempunyai panjang tubuh 10 cm−13 cm.
Namun, sayang, dari 150 butir telur tersebut cuma 80% yang bertahan hidup hingga tiba saatnya untuk “dipanen”. “Kebanyakan mati lantaran semut atau saling menyerang,” imbuh Majid, yang per bulannya “memanen” sekitar 3.500 ekor bayi kalajengking.
Untuk membasmi semut-semut yang mengganggu tersebut, ia cukup menggunakan kapur antisemut. Sedangkan agar binatang yang masa hidupnya cuma sekitar dua tahun itu tidak saling menyerang dan memperoleh kelembaban yang sesuai, alumnus UPN Veteran Yogyakarta dan STIE YKPN Yogyakarta itu membuat 10 akuarium/kolam yang masing-masing seluas 50 cm x 35 cm di “peternakannya” yang dibangun di atas lahan seluas 4 m x 4 m.
Setelah berumur empat bulan, Majid melanjutkan, bayi-bayi kalajengking ini pun dijual sesuai dengan harga pasaran. Sedangkan untuk yang akan diolah menjadi Minyak Kala, dijual per karung.
“Tapi, saya biasa menjualnya ke penghobi/kolektor. Selain itu, juga ke mereka yang memanfaatkan hewan ini untuk pengobatan. Sementara bibitnya, saya jual dalam kondisi bunting,” ucap Majid, yang setiap bulannya membukukan omset jutaan rupiah.
Berkaitan dengan bibit, ia menambahkan, dapat dicari di hutan atau habitat aslinya. Misalnya, Kalajengking Merah biasanya dijumpai di dedaunan, Kalajengking Putih dapat ditemui di bebatuan atau di bawah lantai rumah.
“Kalau kalajengking jenis Asean Forest pada umumnya tinggal di dalam tanah. Karena, ia menyukai tempat yang lembab. Dan, jenis inilah yang saya ternakkan. Lantaran, ia tergolong paling tidak berbahaya (sengatannya tidak lebih daripada sengatan lebah madu, red.) dan manfaatnya sangat banyak. Imbasnya, banyak peminat dan permintaan dari pasar,” ungkap kelahiran Melbourne, Australia, 17 November 1988 ini.
Selain sudah mampu memenuhi pasar kalajengking di Yogyakarta, ia juga mampu memenuhi permintaan dari beberapa kota di Jawa dan Sumatra, serta toko-toko yang menjual Jamu Kalajengking. Tapi, hal itu, tetap tidak mampu memenuhi permintaan akan hewan yang mempunyai sekitar 2.000 jenis ini.
“Saya tidak tahu berapa kebutuhan pasar lokal. Yang jelas, para peternak kalajengking baru mampu memenuhi sekitar 50% dari total permintaan,” katanya. “Tapi, secara keseluruhan, prospek bisnis kalajengking itu bagus. Karena, tidak ribet dan pasarnya masih sangat luas,” tambahnya. “Menyengat”, bukan?