Home / Celah / Tepung Bergizi Tinggi yang Belum Dilirik Pelaku Usaha

Tepung Bergizi Tinggi yang Belum Dilirik Pelaku Usaha

Jalejo

 

Dunia tepung-tepungan kini bertambah satu lagi, dengan hadirnya jalejo. Sayang, tepung yang bernilai gizi sangat tinggi dan berharga jual relatif mahal ini, belum diproduksi secara masal. Karena, terbentur masalah dana

 

e-preneur.co. Anda tentu sudah mengenal tepung tapioka (berbahan dasar singkong), tepung maizena (jagung), tepung terigu (gandum), tepung beras, tepung sagu, tepung ketan, dan sebagainya. Tapi, bagaimana dengan tepung jalejo?

Mungkin, sebagian besar dari Anda mendengarnya pun baru sekarang. Padahal, tepung yang terbuat dari campuran tepung jagung, tepung kedelai, dan tepung kacang hijau dengan komposisi 2:1:1 ini, sudah ditemukan sejak tahun 2007 oleh Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta.

Setahun kemudian, pihak dinas mengembangkan tepung ini dan melakukan outsource dengan para pakar gizi dari Institut Pertanian Bogor, guna mengetahui kandungan gizinya. Bukan cuma itu, pihak dinas juga menjalin kerja sama dengan pakar tataboga, Deddy Rustandi, untuk mengetahui dapat diolah menjadi apa sajakah tepung ini.

“Dari hasil penelitian diketahui bahwa untuk setiap 100 gram jalejo terkandung 397 gr kalori; 18,9 gr protein; 6,9 gr lemak; 94 gr kalsium; 4,9 mg zat besi; dan 322 SI vitamin A. Selain itu, tepung ini mampu bertahan selama 72 minggu dalam suhu kamar. Sementara, untuk olahannya, jalejo dapat diolah menjadi berbagai menu makanan yang biasanya ditemui di berbagai hotel, resto, atau kafe menengah ke atas,” ungkap Siti Halimah, yang saat itu masih menjabat sebagai Kepala Seksi Mutu dan Keamanan Pangan, Bidang Paska Panen, Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta.

Dengan demikian, jalejo memiliki nilai gizi jauh lebih tinggi dibandingkan berbagai tepung yang sudah kita kenal dan tidak sekadar mengenyangkan. Berkaitan dengan itu, tepung yang dapat diolah menjadi makanan pendamping ASI (Air Susu Ibu), mie, kue, dan berbagai makanan lain ini cenderung “dipasarkan” di daerah-daerah rawan pangan/gizi.

“Di samping itu, kehadiran jalejo juga untuk mengatasi ketergantungan masyarakat kita akan terigu, yang hingga saat ini baru bisa dipenuhi dengan cara mengimpor. Jalejo juga hadir sebagai diversifikasi olahan makanan. Mengingat, jalejo dapat dicampur dengan tepung-tepung lain,” tutur perempuan yang akrab disapa Halimah ini.

Sayangnya, sampai sejauh ini, jalejo baru diproduksi oleh Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta yang berkantor di kawasan Gunung Sahari, Jakarta Pusat. Meski, pihak dinas tidak lelah melakukan outsource dan menjual hasilnya ke masyarakat. Selain itu, juga memberi berbagai pelatihan kepada kader-kader Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu), dengan harapan nantinya melalui mereka akan disosialisasikan ke masyarakat.

“Kami juga pernah mengajarkan bagaimana caranya membuat jalejo dan olahannya ke masyarakat. Tapi, mereka tidak menyambutnya dengan baik dan memilih untuk membeli yang sudah jadi,” kata insinyur pertanian dari Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”, Yogyakarta ini.

Jalejo memiliki nilai gizi yang jauh lebih tinggi dibandingkan berbagai tepung yang sudah kita kenal dan tidak sekadar mengenyangkan

Di sisi lain, Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta melalui unit processing-nya yang berlokasi di kawasan Klender, Jakarta Timur, cuma mampu berproduksi untuk memenuhi persediaan dan permintaan masyarakat. Sehingga, tepung yang sudah dilirik oleh seorang pengusaha pizza dan diminati pengusaha kafe ini, belum dapat dipasarkan secara umum. Dalam arti, melalui supermarket.

“Pada umumnya, supermarket menginginkan pasokan rutin dan dalam jumlah relatif banyak. Sementara, kami belum mampu melakukan itu karena keterbatasan dana,” jelasnya.

Meski begitu, persediaan sebanyak 20 kg−30 kg yang diproduksi setiap bulannya oleh pihak dinas, selalu laris manis diserap pasar. Terutama, bila sedang diperkenalkan di berbagai pameran. “Dalam suatu pameran yang kami ikuti, jalejo kami tandas hanya dalam tempo tiga hari,” ungkap kelahiran Rembang, 19 Desember 1968 ini.

Untuk mengatasi hal ini, ia menambahkan, pihak dinas memutuskan untuk menunggu saja kehadiran para investor (pihak swasta). Sehingga, jalejo dapat diproduksi secara masal.

Sebab, dengan itu, biaya produksi dan harga jualnya dapat ditekan. “Pihak KADIN (Kamar Dagang dan Industri) sudah bersedia mencarikan kami investor,” pungkasnya.

Dalam membangun bisnis, seringkali dikatakan bahwa modal bukanlah faktor utama. Tapi, tidak dalam “kasus” jalejo.

Sebab, pertama, jalejo mudah dalam ketersediaan bahan baku. Dalam arti, jalejo tidak harus dibuat dari jagung, kedelai, dan kacang hijau unggulan. Ketiga biji-bijian ini dapat dibeli di pasar. Yang penting, terbebas dari segala macam kotoran atau bersih.

Kedua, jalejo mudah dalam proses pembuatan. Dalam hal ini, pihak dinas mengizinkan siapa pun menggunakan unit processing-nya, gratis. Ketiga, jalejo mudah dalam pemasarannya. Boleh dibilang, jalejo lancar pemasarannya. Pihak Posyandu sebagai target market jalejo, selalu siap menampungnya.

Meski begitu, jika dana yang tersedia sangat terbatas, maka produk itu pun akan mentok. Tidakkah Anda ingin menjadi investor produk unggulan DKI ini? Atau, justru menjadikannya sebagai peluang bisnis?

 

Catatan:
  • Pihak dinas menjual jalejo kepada masyarakat dengan harga yang berbeda untuk yang akan dikonsumsi sendiri dengan untuk yang dijual lagi.
  • Proses pembuatan jalejo dengan menggunakan mesin penepung milik Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta, hanya boleh dilakukan oleh kelompok-kelompok tani yang sudah pernah memperoleh pelatihan dari dinas. Tujuannya, untuk menambah penghasilan mereka.
  • Sementara untuk umum, masih dalam pembicaraan. Tapi, tidak berarti masyarakat umum tidak dapat membuat jalejo sendiri. Karena, mereka bisa membeli mesin penepungnya. Sehingga, biaya produksi (ongkos giling) dapat ditiadakan.

 

Check Also

Banyak Peminatnya

Rental Portable Toilet Kehadiran toilet umum—terutama yang bersih, nyaman, wangi, dan sehat—menjadi salah satu kebutuhan …